CATATAN POLITIK

'Putusan Sah dan Legal, Anwar Usman Jadikan MK Bak Toilet Umum'

DEMOCRAZY.ID
April 27, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Putusan Sah dan Legal, Anwar Usman Jadikan MK Bak Toilet Umum'
'Putusan Sah dan Legal, Anwar Usman Jadikan MK Bak Toilet Umum'


'Putusan Sah dan Legal, Anwar Usman Jadikan MK Bak Toilet Umum'


Lagi, Putusan MK No. 90 tentang penambahan norma menjadi poin utama dari tulisan ini, serta kritik terhadap rendahnya pemahaman hukum para ahli sehingga menambah kusamnya hukum dan matinya keadilan di Indonesia.


Kata ‘sah’ dan ‘legal’ adalah dua kata yang hampir setiap hari dituturkan oleh sarjana hukum, terlebih paska Putusan MK No. 90 tentang penambahan norma hukum akan batasan usia Capres/Cawapres.


Namun apakah dua kata tersebut memiliki makna yang sama atau sebaliknya? Dan apakah putusan tersebut dapat dikatakan sah atau sekedar legal dan bagaimana dampaknya?


Putusan SAH berdasarkan doktrin


Dalam istilah hukum pidana ada dua model pembunuhan yang berkaitan dengan kata diatas, yaitu pembunuhan yang SAH ”D’l homicide legal”dan pembunuhan yang legal “D’l homicide legitime” (M. Chevau & Christine Hellie, 1875).


Aturan pidana tersebut selain berlaku secara universal, juga digunakan pada KUHP Indonesia Pasal 48, 49 Ayat (1), (2) dan Pasal 50 peninggalan Prancis Pasal 64 CP, dimana pasal 48 sejak Indonesia merdeka belum pernah digunakan sebab tak satupun buku hukum yang mampu menjabarkan dengan benar secara doktrinal.


Pasal 50 KUHP adalah bentuk pembunuhan yang tidak sah namun legal (berikutnya akan penulis ulas lebih jauh secara doktrin berkaitan dengan pembantaian kasus KM 50 secara doktrinal).


Suatu norma hukum, kata Hans Kelsen hanya ada dan diakui bila norma itu sah, dimana sah berarti subjeknya juga harus mematuhi.


A legal norm exists if it is valid, where valid means its subjects ought to conform to it.


Bila ingin melahirkan satu kontruksi hukum dalam kontruksi sosial maka proses hukum yang dibuat harus tunduk pada konstruksi yang berlaku. Demikian pula pada putusan MK, prosesnya harus tunduk pada aturan-aturan teknis yang mengatur.


Pandangan Hans Kelsen tersebut merujuk pada pandangan pendahulunya David Hume, Immanuel Kant, ditegaskan pula oleh H.L.A. Hart dalam Concept of Law.


Sebuah proposal Constitutional Review yang diajukan oleh Almas memiliki argumen yang rapuh, selain dari tidak dapatnya pemohon menunjukkan kerugian konstitusionalnya atas berlakunya satu aturan, sesuai peraturan PMK.


Juga, penerimaan perbaikan dihari libur oleh hakim adalah pelanggaran moral positif (aturan teknis) Usman adalah bentuk korup dan pembangkangan terhadap konstitusi yang sangat mengotori hukum (baca tulisan lainnya oleh penulis).


Tentunya, tak satupun kantor kelurahan yang dapat menerima proposal perbaikan KTP oleh masyarakat dihari libur, terlebih lembaga negara sebesar MK, kecuali MK telah berubah menjadi toilet umum.


Seperti dalam istilah pidana yang dijabarkan sebelumnya, dalam istilah putusan hakim dikenal juga putusan sah “legitimus” dan legal “Legime” (Lois Michael Saidman, On Constitutional Disobedience).


Suatu putusan yang sah “legitimus” lahir dari ketaatan terhadap aturan-aturan teknis, sedangkan putusan yang bersifat legal “Legime” semata tak tunduk pada aturan-aturan yang berlaku. L.M Saidman menyebutnya “sebagai pembangkangan terhadap konstitusi dan hal ini adalah kejahatan (tirani)”.


Putusan yang lahir dari sekedar legal semata, tentunya akan menjadi aturan pembenaran hukum, disebut legal karena dikeluarkan oleh lembaga negara yang sah.


Putusan legal No. 90, tak obahnya kondisi hukum era Romawi, dimana Lembaga negara mengekeluarkan sebuah aturan hukum yang membolehkan bahwa setiap istri dapat ditiduri oleh laki-laki lain.


Masyarakat menolak sebab bertolak belakang dengan prinsip kebenaran hukum dan kemanusiaan, namun bagi orang-orang yang bejat, hal itu disenangi (legal namun tidak sah).


Suatu putusan yang lahir dari perbuatan korup (korup dalam arti luas) dan manipulasi akan terus menerus membekas dan objeknya akan mendapat penolakan dari masyarakat, kecuali yang tidak memahami. Selain itu, putusan tersebut tidak dapat dijadikan yurisprudensi.


Syarat suatu yurisprudensi harus menjadi kebenaran hukum (putusan murni) dan dapat diterima sebagai ilmu pengetahuan hukum.


Kebenaran hukum terdiri dari “jurispruntie naturalis” dan “jurisprudenti positive”, mayoritas proses putusan MK No. 90 bertolak belakang dari konsep-konsep hukum, dan doktrin hukum, sehingga bertolak belakang secara rasionalitas hukum.


Tindak Lanjut  Putusan MK


Pada awal sidang sengketa Pilpres 2024, ketua majelis Suhartoyo telah secara jelas mengatakan bahwa putusan No. 90 adalah inter partes, bukan erga omnes.


Putusan TERSEBUT hanya berlaku bagi para pihak yang terkait dengan permohonan semata, ini menunjukkan terlarangnya pihak terkait (KPU) untuk menidak lanjuti secara langsung “non direct execution” melainkan koordinasi dengan DPR.


Perberbedaan sangat mendasar dengan putusan MK yang berkaitan dengan Pilkada beberapa tahun sebelumnya, yang bersifat erga omnes, mengutamakan kepentingan umum masyarakat.


Baik proses dan putusan MK No 90 hanyalah sebagai perbuatan yang legal semata (pembenaran hukum), bukan suatu produk hukum yang sah.


Usman terima revisi dihadiri libur telah membuat MK tak berbeda dengan toilet umum. Konsekwensinya dalah penolakan masyarakat akan hasilnya yaitu Gibran. ***

Penulis blog