KRIMINAL POLITIK

PPATK Temukan Rp 1 Triliun Hasil Kejahatan Mengalir ke Politisi, Pakar: 'Bahaya Sekali!'

DEMOCRAZY.ID
Maret 12, 2024
0 Komentar
Beranda
KRIMINAL
POLITIK
PPATK Temukan Rp 1 Triliun Hasil Kejahatan Mengalir ke Politisi, Pakar: 'Bahaya Sekali!'


DEMOCRAZY.ID - Temuan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) terkait dana Rp 1 triliun hasil kejahatan lingkungan yang mengalir ke anggota partai politik (parpol) dinilai membahayakan.


Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Ganarsih menyebut dana hasil kejahatan tersebut membahayakan apabila ke depan digunakan untuk keperluan Pemilu 2024.


Sebab, pengguna dana tersebut apabila sudah berkuasa tidak bisa diharapkan untuk membuat perubahan karena kadung terikat dengan penyumbang dana yang bersumber dari hasil kejahatan.


"Ini bahaya sekali. Apapun yang dicanangkan ke depan enggak akan tercapai kecuali keinginan para penyumbang itu. Sementara penyumbangnya adalah hasil kejahatan," ujar Yenti dalam acara Satu Meja Kompas TV, dikutip Jumat (17/3/2023).


Menurutnya, siapapun sosok pengguna dana hasil kejahatan tersebut tetap tidak bisa diharapkan karena mereka menggunakan dana yang berasal dari hasil kejahatan. Ia menilai dana tersebut masuk kategori TPPU.


"Siapa yang dicalonkan bukan berarti mereka yang melakukan kejahatan, mereka disumbang oleh para penjahat yang menyalurkan uang hasik kejahatannya, itu adalah posisi pencucian uangnya," tegas dia.


Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK Danang Tri Hartono menjelaskan, uang haram Rp1 triliun itu baru berasal dari satu kasus kejahatan lingkungan.


Uang tersebut mengalir ke sejumlah pihak yang salah satunya anggota parpol. 


“Dan itu alirannya ke mana? Ada yang ke anggota parpol. Ini (menunjukkan) bahwa sudah mulai dari sekarang persiapan dalam rangka (Pemilu) 2024 itu sudah terjadi,” kata Danang. 



Ia mengajak semua pihak untuk memberikan perhatian khusus, terhadap aliran dana hasil kejahatan lingkungan ini.


Sebab, kasus GFC adalah kejahatan yang terjadi secara berjamaah, bukan kejahatan independen. 


Identitas Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menjelaskan, pihaknya menemukan aliran uang Rp1 triliun itu, ketika sedang melakukan riset permodalan Pemilu 2024.


Sebagian dai dana Rp1 triliun itu, diketahui mengalir ke anggota partai politik sejak tiga tahun lalu. 


Ivan mengatakan, temuan itu bermula ketika PPATK memantau transaksi keuangan pihak-pihak, yang diduga terlibat maupun terdakwa kasus pembalakan liar.


Setelah ditelisik, ternyata orang-orang yang sedang terjerat kasus hukum lingkungan itu, mengalirkan uang hasil kejahatannya ke anggota partai politik. 


“Begitu kita lihat, aliran transaksinya itu terkait dengan pihak-pihak tertentu, yang secara kebetulan mengikuti kontestasi politik. Berdasarkan aliran dana, ini kita sebutkan bahwa ada upaya pembiayaan yang diperoleh dari tindak pidana,” kata Ivan. 


Menurutnya, temuan itu bukan hal baru. Sebab, pihaknya juga menemukan aliran dana hasil kejahatan lingkungan, kepada anggota partai politik pada pemilu-pemilu sebelumnya.


Dana yang mengalir sebelumnya itu berasal dari kejahatan tambang ilegal, pembalakan liar, dan penangkapan ikan ilegal. 


“Sekarang kita melihat ada kecenderungan sama dan itu yang harus kita koordinasikan, bagaimana mencegah agar aktivitas pemilu tidak dibiayai dari sumber-sumber ilegal. Itu yang kita antisipasi dan makanya dibutuhkan koordinasi yang kita lakukan hari ini,” kata Ivan.


Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Tata Mustasya, menilai angka Rp 1 triliun yang mengalir ke parpol dari kejahatan lingkungan barulah sebagian kecil yang terungkap. 


Pasalnya, hal tersebut sudah menjadi lingkaran setan dan merupakan praktik dalam demokrasi di Indonesia. 


“Angka Rp 1 triliun itu angka yang kecil dan kemungkinan dari kejahatan kelas menengah. Yang besar-besar justru belum tersentuh,” ungkapnya.


Tata mengatakan, para pengambil kebijakan melakukan korupsi politik dengan menyalahgunakan kewenangan untuk memberikan izin usaha sektor ekstraktif, seperti pertambangan batu bara dan membiarkan kerusakan lingkungan yang terjadi.


Elite politik yang mengambil kebijakan menyatukan bisnis di sektor ekstraktif, yang merusak lingkungan dan politik (konflik kepentingan). 


“Nah, lalu uang dari misalnya pertambangan batu bara tersebut, digunakan untuk pembiayaan politik, baik pemilu, pilpres, maupun pilkada. Akhirnya, perusakan lingkungan oleh industri ekstraktif dibiarkan dan demokrasi pun dirusak. Krisis iklim terjadi bersamaan dengan krisis demokrasi,” ujarnya. 


Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakui, bahwa politik uang yang membuat politik dengan biaya mahal masih menjadi pekerjaan rumah (PR) mereka.


KPU menilai integritas pemilih menjadi salah satu kunci untuk memberantas praktik culas tersebut. 


Komisioner KPU Idham Holik menjelaskan, mereka berupaya mencegah aliran dana ilegal masuk kepada kontestan Pemilu 2024 untuk kegiatan kampanye.


Pihaknya juga berupaya mencegah praktik pencucian uang, hasil kejahatan lewat peserta pemilu. 


Upaya pencegahan kejahatan keuangan itu, kata Idham, dilakukan dengan menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.


KPU dan PPATK akan saling bertukar informasi mengenai dana kampanye peserta pemilu. 


“Kerja sama dengan PPATK dalam rangka untuk terus memastikan pemilu di Indonesia, adalah pemilu berintegritas,” ujarnya. [Democrazy/kompas]

Penulis blog