HUKUM KRIMINAL

Setelah 17 Tahun Menyiksanya, AS Bebaskan Korban Salah Tangkap dalam Perang Melawan Teroris

DEMOCRAZY.ID
Maret 12, 2024
0 Komentar
Beranda
HUKUM
KRIMINAL
Setelah 17 Tahun Menyiksanya, AS Bebaskan Korban Salah Tangkap dalam Perang Melawan Teroris

Setelah 17 Tahun Menyiksanya, AS Bebaskan Korban Salah Tangkap dalam Perang Melawan Teroris

DEMOCRAZY.ID - Ahmed Rabbani, sopir taksi Pakistan korban salah tangkap yang dilakukan AS dalam Perang Melawan Teroris, dibebaskan dari penjara Teluk Guantanamo setelah 17 tahun disiksa secar fisik dan psikis.


Pembebasan Rabbani diumumkan Jumat pekan lalu oleh Reprieve, sebuah LSM hak asasi manusia. Rabbani dibebaskan dengan suara aklamasi Dewan Peninjau Berkala Penjara Teluk Guantanamo, yang terdiri dari enam lembaga AS.


Dua di antara lembaga AS itu adalah Departemen Luar Negeri dan Departemen Keamanan Dalam Negeri.


Kisah Rabbani dimulai tahun 2002 di Karachi, Pakistan, kota tempatnya mencari nafkah sebagai sopir aksi. 


Ia ditangkap otoritas Pakistan yang mengidentifikasinya sebagai Hassan Ghul, buronan yang dikejar AS.


Rabbani ditangkap di luar kompleks apartemen Ghul yang dijual ke personel tentara AS di Pakistan. Ia dibawa ke 'situs hitam' CIA di Afghanistan dan disiksa habis-habisan selama 545 hari.


Kepada Senat AS tahun 2014 Rabbani menceritakan secara rinci penyiksaan yang dialami, termasuk saat dibelenggu dengan tangan terentang di ata kepala. Ia memotong tangannya untuk mengakhiri rasa sakit itu.


Kesaksian berbagai tahanan di penjara CIA membenarkan cerita Rabbani. Ada sel-sel yang dipenuhi kotoran, hama, pemukulan secara berkala, kurang tidur, dikubur di makam simulasi, ditelanjangi, disiram dengan air dinin, tidak diberi fasilitas mandi selama berbulan-bulan, dan lainnya.


Menurut Reprieve, interogator Rabbani tahu mereka menangkap orang yang salah tapi terus menyiksanya. 


Setelah lebih satu tahun di fasilitas penyiksaan CIA, Rabbani dipindah ke Teluk Guantanamo di Kuba, dan menghabiskan 17 tahun dalam sel tanpa dakwaan dan persidangan.


Kasus Rabbani menyita perhatian internasional tahun 2018, ketika dia menulis ‘opposite the editorial (op-ed) yang diterbitkan Los Angeles Times. 


Saat itu dia menggambarkan pelecehan fisik dan seksual yang dilakukan penjaga, pemaksaan makan, dan mogok makan berulang-ulang sebagai aksi protes.


Pada saat op-ed, Rabbani mengatakan menderita masalah perut sangat akut sehingga tidak dapat mengkonsusi makanan keras tanpa muntah darah. Ia tidak diberi makanan mudah dicerna.


"Kondisi Guantanamo merusak kesehatan mental saya," katanya. "Di sini tidak ada pagi dan malam."


Pembebasan Rabbani melegakan pengacara Mark Maher. 


"Bagi kami yang mendukunganya, pembebasan itu melegakan bercampur kesedihan atas semua yang telah hilang darinya," kata Maher.


"Kami tidak akan merayakan pembebasannya sampai dia kembali bersama keluarganya di Pakistan, dan dapat memeluk putranya yang kini bersuai 19 tahun untuk kali pertama," lanjut Maher.


Dari 780 orang yang ditahan di Teluk Guantanamo, sejak fasilitas itu dibuka tahun 2002, 732 tahanan dipindahkan ke tempat lain atau dibebaskan. Sebanyak 38 masih di sana, sembilan lainnya meninggal.


Presiden Joe Biden berjanji menutup penjara terkenal itu sebelum meninggalkan jabatannya. 


Dulu, Barrack Obama juga mengutarakan janji yang sama tapi tak ditepati. [Democrazy/skp]

Penulis blog