HUKUM POLITIK

Fatal! Pakar Beberkan Sejumlah Risiko Jokowi Bila Tetap Abaikan Rekomendasi TWK KPK

DEMOCRAZY.ID
September 24, 2021
0 Komentar
Beranda
HUKUM
POLITIK
Fatal! Pakar Beberkan Sejumlah Risiko Jokowi Bila Tetap Abaikan Rekomendasi TWK KPK

Fatal! Pakar Beberkan Sejumlah Risiko Jokowi Bila Tetap Abaikan Rekomendasi TWK KPK

DEMOCRAZY.ID - Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Sumatera Barat, Feri Amsari menilai Presiden Joko Widodo bisa diberhentikan bila terbukti melakukan perbuatan tercela dengan mengabaikan rekomendasi sejumlah lembaga terkait pelanggaran dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).


Menurut Feri pemberhentian Presiden karena melakukan perbuatan tercela telah diatur dalam pasal 7B dan Pasal 24C UUD 1945.


"Kalau konteks perbuatan tercela, bukan tidak mungkin masuk kepada ketentuan pasal 7B, ayat 1 UUD, yang bisa menjadi alasan bagi DPR untuk mengajukan pendapat pemberhentian seorang presiden," kata Feri, Selasa (21/9).


Dalam kasus TWK, dua lembaga, Komnas HAM dan Ombudsman telah menyatakan bahwa TWK dalam alih proses pegawai KPK menjadi ASN telah melanggar hak asasi manusia. Komnas HAM menemukan sedikitnya 11 pelanggaran HAM dalam TWK.


Sedangkan, hasil investigasi Ombudsman menemukan maladministrasi berupa tanggal perjanjian yang mundur (backdate) antara KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). 


Meski telah diserahkan ke Istana, Jokowi dalam pernyataan terbarunya enggan mengambil sikap terkait TWK dan pemecatan 56 pegawai.


Feri menilai sikap Jokowi dengan mengabaikan dua rekomendasi itu merupakan perbuatan tercela sebab mengabaikan pelanggaran HAM.


"Pengabaian temuan dan rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman RI, bisa membuat presiden dituduh mengabaikan UU dan mengabaikan pelanggaran HAM. Di titik tertentu itu bisa dianggap perbuatan tercela," katanya.


Dalam posisi ini, ucap Feri, parlemen mestinya bisa melayangkan hak menyatakan pendapat seperti diatur UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Pasal 79 ayat 1 menyebutkan bahwa DPR memiliki hak salah satunya untuk menyampaikan pendapat.


Hak tersebut bisa berupa usul agar Mahkamah Konsitusi (MK) bisa memeriksa dan mengadili Presiden terkait dugaan presiden telah melakukan, "pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan atau pendapat bahwa presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden".


Demikian bunyi pasal 7B. Selain pasal tersebut, kewajiban MK memenuhi permintaan DPR juga diatur pada pasal 24C, yang berbunyi: "MK wajib memberikan putusan atas lensapat DPR menhenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wapres menurut UUD".


Meski demikian, menurut Feri, mekanisme itu bisa bergulir jika partai oposisi dapat mengumpulkan sedikitnya 384 anggota DPR untuk menggelar rapat paripurna pelaksanaan penyampaian pendapat. 


Lalu, dalam rapat tersebut, minimal 256 suara menyetujui rekomendasi atau usul agar MK memeriksa presiden.


"Pendapat DPR ini adalah kewenangan yang diberikan konstitusi untuk mempermasalahkan tindakan presiden atau wapres yang bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi," kata Feri.


Sebelumnya, Jokowi disebut memiliki waktu maksimal hingga 60 hari untuk melaksanakan rekomendasi Ombudsman terkait temuan pelanggaran dalam pelaksanaan TWK KPK. 


Hal itu diatur dalam pasal 38 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.


"Atasan terlapor wajib menyampaikan laporan kepada Ombudsman tentang pelaksanaan rekomendasi yang telah dilakukannya disertai hasil pemeriksaannya dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak tanggal diterimanya rekomendasi," demikian bunyi aturan tersebut.


Dengan ketentuan itu, Jokowi dan KPK wajib melaporkan hasil perkembangan dari pelaksanaan rekomendasi dari Ombudsman RI. 


Kewajiban pelaksanaan rekomendasi juga di atur dalam ayat sebelumnya yang berbunyi, "Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan Rekomendasi Ombudsman". [Democrazy/cnn]

Penulis blog