HUKUM POLITIK

Ironi KPK: Mengaku Kekurangan SDM, Tapi Malah Pecat 75 Pegawai

DEMOCRAZY.ID
Mei 12, 2021
0 Komentar
Beranda
HUKUM
POLITIK
Ironi KPK: Mengaku Kekurangan SDM, Tapi Malah Pecat 75 Pegawai

Ironi-KPK-Mengaku-Kekurangan-SDM-Tapi-Malah-Pecat-75-Pegawai

DEMOCRAZY.ID - Ironi, kata tersebut mungkin tepat menggambarkan kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini.

Dalam berbagai kesempatan, lembaga antirasuah kerap mengaku kekurangan sumber daya manusia.


Namun, komisi antikorupsi justru menonaktifkan 75 pegawai yang tak lulus atau tidak memenuhi syarat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang merupakan syarat alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).


Kebutuhan SDM KPK kerap diungkapkan dalam sejumlah kesempatan.


Dalam konferensi pers Kinerja KPK Tahun 2020 di Gedung KPK, Jakarta pada Rabu (30/12/2020) misalnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan, lembaga yang dipimpinnya itu masih kekurangan ratusan pegawai untuk seluruh sektor.


Bahkan angkanya menyentuh sekitar 400 orang.


"Tentu sesungguhnya KPK bukan hanya tahun ini, dari tahun sebelumnya KPK sudah melakukan analisis terhadap kebutuhan sdm tidak lebih sudah di atas 400 kebutuhan penambahan sesungguhnya tapi belum dipenuhi," kata Ghufron saat itu.


Ghufron tak membeberkan secara rinci kebutuhan SDM tersebut apakah termasuk tenaga penyelidik dan penyidik.


Yang pasti, Ghufron mengatakan, pihakmya melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan SDM, seperti peningkatan kemampuan SDM yang dimiliki dan bekerja sama dengan lembaga lain.


Hingga kini, persoalan kekurangan SDM tersebut belum sepenuhnya diatasi KPK.


Apalagi, saat ini pandemi Covid-19 masih berlangsung yang membuat KPK tidak dapat memaksimalkan kekuatan SDM yang dimiliki lantaran menerapkan sistem Work From Home (WFH) atau bekerja dari rumah.


Hal ini setidaknya sempat diakui Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (2/10/2020) malam.


"Sekarang saja (pegawai) yang masuk 25 persen," kata Alex, sapaan Alexander Marwata.


Alex mengibaratkan KPK seperti tengah membuat bangunan.


Dengan jumlah SDM yang besar pekerjaan dapat mudah diselesaikan.


"Tentu dengan 10 orang tukang lebih cepat membangun, dibandingkan kalau yang kerjakan itu tiga orang," katanya.


Dengan jumlah pegawai yang terbatas,  berpengaruh pada kemampuan KPK mengolah informasi yang didapat melalui hasil penyadapan. 


Kondisi serupa juga terjadi pada upaya penyelidikan dan penyidikan.


"Itu berpengaruh besar terhadap kekuatan KPK dalam rangka mengungkap tindak pidana korupsi," tutur Alex.


Ucapan Ghufron dan Alex memang telah berlalu lebih dari empat bulan lalu.


Namun, pernyataan kedua pimpinan lembaga antirasuah itu masih relevan.


Hal ini mengingat, pandemi masih berlangsung dan tidak banyak tenaga baru yang masuk ke KPK.


Setelah pernyataan keduanya, berdasar catatan, di bidang penindakan, KPK baru menambah 11 Jaksa dan satu kepala bagian pada Februari 2021, enam penyidik dan dua penyelidik dari unsur Polri pada 9 April 2020.


Di tengah kondisi demikian, KPK justru menonaktifkan 75 pegawai yang tak lulus TWK melalui Surat Keputusan (SK) Pimpinan KPK.


Padahal, dari 75 pegawai yang tak lulus TWK terdapat sejumlah penyelidik dan penyidik yang sedang menangani perkara korupsi.


Salah satunya, penyelidik Harun Al Rasyid yang memimpin tim Satgas KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidhayat, pada Minggu (9/5/2021).


Selain itu, terdapat juga nama penyidik senior Novel Baswedan, Ambarita Damanik dan Ketua WP KPK, Yudi Purnomo serta sejumlah penyelidik dan penyidik lainnya yang kerap menangani sejumlah perkara korupsi besar, seperti e-KTP, kasus suap bansos, benur dan lainnya.


Yudi Purnomo misalnya, menangani kasus suap izin ekspor benur yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan kasus suap penanganan perkara korupsi di Tanjungbalai yang menjerat penyidik KPK dari unsur Polri, Stepanus Robin Pattuju.


Sementara, Novel dan Ambarita kerap berada dalam satu tim Satgas dan menangani sejumlah perkara besar, seperti korupsi e-KTP.


Saat ini, keduanya sedang menangani kasus suap jual beli jabatan di Tanjungbalai. [Democrazy/trb]

Penulis blog