Saat itu, Menteri ESDM dijabat oleh Soedirman Said diutus sebagai perwakilan Indonesia berunding dengan Arab Saudi.
"Saya masih ingat 2014 Presiden Jokowi mengatakan harus membangun kilang dan saat itu saya masih di Kementerian ESDM staf khusus Pak Soedirman Said sebagai utusan khusus Timur Tengah sedang berunding dengan sultan dari Arab Saudi," ujarnya, Jakarta, Jumat (2/4).
Saat perundingan terjadi, Presiden Jokowi sedang berada di Rusia bersama beberapa menteri kabinet kerja.
Dalam kesempatan tersebut, Presiden secara sepihak memutuskan kerja sama dipindahkan ke Rosneft.
"Tetapi Presiden Jokowi dengan didampingi beberapa menteri menteri kabinet di Rusia menyatakan bahwa tidak jadi Aramco dan dipindahkan ke Rosneft," jelas Said Didu.
Padahal, sebelumnya sudah ada pembicaraan kerja sama dengan Raja Arab Saudi mengenai Aramco saat berkunjung ke Indonesia.
Sehingga seluruh masalah dokumen dan perizinan segera didorong oleh instansi kerajaan.
"Pak Presiden Jokowi itu meminta ke Raja Arab Saudi waktu datang ke Jakarta untuk membangun kilang. Itu permintaan Presiden Jokowi. Nah, karena raja sudah (memberi) izin, maka seluruh instansi kerajaan dan surat surat mendorong itu tetapi dibelokkan begitu saja ke Rosneft," jelasnya.
Kondisi tersebut pun menempatkan, Soedirman Said dalam posisi sulit.
Sampai akhirnya, dia meminta Presiden Jokowi menunda pengumuman pembatalan kerja sama.
Sampai rombongan Kementerian ESDM bisa keluar dari Arab Saudi.
"Kejadiannya saya buka saja, Pak Soedirman Said meminta pengumumannya diundur dulu 4 jam supaya dia bisa keluar dari Arab Saudi, baru diumumkan. Saya tidak tahu siapa pelobinya," tandas Said Didu. [Democrazy/mrd]