HUKUM

Pemerintah dan DPR 'Ngotot' Sahkan RKUHP Meski Banyak Penolakan, Pengamat: Mau Jadi Negara Komunis?!

DEMOCRAZY.ID
Desember 06, 2022
0 Komentar
Beranda
HUKUM
Pemerintah dan DPR 'Ngotot' Sahkan RKUHP Meski Banyak Penolakan, Pengamat: Mau Jadi Negara Komunis?!

Pemerintah dan DPR 'Ngotot' Sahkan RKHUP Meski Banyak Penolakan, Pengamat: Mau Jadi Negara Komunis?!

DEMOCRAZY.ID - Meski masih menuai banyak penolakan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada hari ini, Selasa (6/12).


Ini menunjukkan bahwa DPR dan Pemerintah memandang remeh suara masyarakat yang terus menolak sejumlah pasal yang dinilai mengancam kebebasan publik.


Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin, banyaknya pasal bermasalah dalam RKUHP merupakan ancaman bagi demokrasi di Tanah Air.


Sebab, negara terlalu jauh mengintervensi kebebasan dan hak-hak individu setiap warganya. Ini sama saja telah mengkhianati amanat Reformasi 1998.


“Ini pertaruhannya reformasi. Reformasi dikorupsi, dikadali, dihabisi, untuk kepentingan elite dan oligarki itu,” kata Ujang, di Jakarta, Selasa (6/12).


Ujang juga merasa heran dengan sikap pemerintah dan DPR yang keukeuh mengesahkan RKUHP saat rakyat masih tidak setuju bahkan menolak.


“Ya itulah negara mengatur dirinya sendiri dan membiarkan rakyat yang tidak setuju. Semua diatur negara. Mau jadi negara komunis kah Indonesia ini?” pungkasnya.


Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai sarat masalah. Bahkanberpotensi menyeret rakyat ke penjara.


Mulai dari penerapan pasal pidana mati, perampasan aset untuk denda individu, pasal penghinaan presiden, pengaturan unjuk rasa, hingga pasal tentang paham lain yang bertentangan dengan Pancasila. 


Pengamat Nilai DPR Buru-buru Sahkan RKUHP demi Cegah Penolakan, Termasuk Demo


Pemerintah dan DPR 'Ngotot' Sahkan RKHUP Meski Banyak Penolakan, Pengamat: Mau Jadi Negara Komunis?!


Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai bahwa upaya DPR RI mempercepat pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) merupakan upaya untuk mencegah preseden pada 2019 terulang.


Pada 2019, pengesahan RKUHP yang sudah di depan mata akhirnya ditunda karena masifnya gelombang unjuk rasa dari kalangan masyarakat sipil, termasuk di antaranya mahasiswa di seluruh daerah.


"Kelihatannya mereka mencegah jangan sampai ada gelombang penolakan lagi seperti demonstrasi 2019, jadinya dipercepat sebisa mungkin," kata Bivitri kepada wartawan, ditemui di bilangan Jakarta Pusat pada Minggu (4/12/2022).


Pada Selasa (6/12/2022), DPR RI ditargetkan mengesahkan draf RKUHP di tingkat II, sebelum nantinya dibawa ke Rapat Paripurna untuk disahkan sebagai undang-undang.


Dewan memastikan, RKUHP akan menjadi undang-undang sebelum masa reses pada pertengahan Desember.


Di atas kertas, pengesahan draf rancangan undang-undang di tingkat II tidak akan bisa berubah lagi.


Bivitri menilai, tidak ada yang akan dapat menghentikan pengesahan RKUHP tahun ini, selain munculnya gelombang penolakan sebesar saat 2019.


Tanda-tanda penolakan dari kalangan masyarakat sipil itu dianggap sudah menguat sehingga membuat Dewan ingin segera mengesahkannya.


"Bahwa ini harus ditolak, memang harus dinyatakan. Kalaupun akibatnya DPR mempercepat (pengesahan), itu konsekuensi yang harus dihadapi sebagai proses politik," kata Bivitri.


Draf terbaru RKUHP hasil tindak lanjut Kementerian Hukum dan HAM bersama Komisi III DPR RI dianggap masih menyisakan sejumlah beleid bermasalah yang dapat mengancam kebebasan berekspresi.


Dalam Pasal 240 RKUHP, misalnya, disampaikan bahwa setiap orang yang menghina pemerintah atau lembaga negara di muka umum bisa dipidana maksimal penjara 1 tahun dan 6 bulan.


Adapun yang dimaksud pemerintah adalah presiden yang dibantu wakil presiden dan para menterinya, sedangkan lembaga negara adalah MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung (MA), serta Mahkamah Konstitusi (MK).


Tindakan menghina diartikan sebagai "Perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan, atau citra pemerintah atau lembaga negara termasuk menista atau memfitnah".


Sementara itu, kritik didefinisikan "Sebisa mungkin bersifat konstruktif atau membangun walaupun mengandung ketidaksetujuan pada perbuatan, kebijakan, atau tindakan pemerintah, atau lembaga negara".


Bivitri menilai, definisi ini tak membuat beleid ini kehilangan unsur multitafsirnya. Pembuktiannya di pengadilan dianggap masih akan sengit. [Democrazy]

Penulis blog