'Isu CIA di Balik Tragedi Granat Cikini' - DEMOCRAZY News
HOT NEWS PERISTIWA

'Isu CIA di Balik Tragedi Granat Cikini'

DEMOCRAZY.ID
Juni 02, 2024
0 Komentar
Beranda
HOT NEWS
PERISTIWA
'Isu CIA di Balik Tragedi Granat Cikini'
'Isu CIA di Balik Tragedi Granat Cikini'


'Isu CIA di Balik Tragedi Granat Cikini'


Tragedi pelemparan granat di Perguruan Cikini (Percik), Cikini, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 30 November 1957, merupakan upaya pertama kali pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. 


Sukarno dan kedua anaknya, yakni Guntur Sukarnoputra dan Megawati Sukarnoputri, yang bersekolah di Sekolah Rakyat Percik, selamat dari serangan itu.


Tetapi serangan granat itu menimbulkan banyak korban berjatuhan. Arifin Suryo Nugroho dalam bukunya ‘Tragedi Cikini, Percobaan Pembunuhan Presiden Soekarno’ pada 2014 mengisahkan, granat-granat meledak sangat dahsyat di pelataran SR Cikini yang sedang penuh sesak. Sepuluh orang meninggal dunia dan puluhan orang mengalami luka-luka.


Peristiwa itu menjadi pusat perhatian para tokoh nasional baik sipil maupun militer. Upaya pembunuhan kepada Sukarno tidak bisa dilepaskan dengan rangkaian situasi keamanan dan politik yang tengah menegang usai Pemilihan Umum 1955. Padahal pemilu itu dianggap dilaksanakan paling demokratis dan berjalan lancar di Indonesia.


Di era tahun 1950-an memang banyak daerah yang tidak percaya dan puas soal pembagian otonomi dengan pemerintah pusat. 


Saat itu muncul gerakan yang ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia, seperti Dewan Banteng yang dibentuk Letkol Achmad Husein di Sumatera Barat pada 20 Desember 1956. Dua hari kemudian muncul Gerakan Dewan Gajah bentukan Kolonel Maludin Simbolo di Medan.


Disusul Dewan Garuda yang dibentuk oleh Mayor Nawawi di Sumatera Selatan. Di Sulawesi Utara muncul gerakan Dewan Manguni pimpinan Letkol Ventje Sumual pada 18 Februari 1957. Dan merembet hingga ke Kalimantan dengan berdirinya Dewan Lambung Mangkurat yang dibentuk oleh Letkol Hasan Basry. Di Sulawesi Utara, Ventje juga mencetuskan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) pada 2 Maret 1957.


Puncaknya pergolakan terjadi ketika terbentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) oleh Achmad Husein di Sumatera Barat pada 15 Februari 1958. Belum lagi kasus mundurnya Mohamad Hatta sebagai Wakil Presiden akibat munculnya konsep ‘Dwi Tunggal’.


Untuk menghadapi situasi yang gawat diadakan Konferensi Panglima-Panglima Tentara dan Territorium Seluruh Indonesia di Jakarta pada Maret 1957. Pertemuan tersebut untuk membahas penyelesaian ketengangan antara daerah dan pusat. Juga dilakukan pertemuan tokoh berbagai golongan dan lapisan masyarakat dalam Musyawarah Nasional Pembangunan bulan November 1957.


Di tengah upaya penyelesaian ketegangan itu malah muncul upaya pembunuhan terhadap Sukarno di Perguruan Cikini pada 30 November 1957. Aparat keamanan bergerak cepat. Dalam tempo 24 jam, mereka menangkap 20-an orang yang diduga sebagai komplotan pelemparan granat tersebut.


Dari hasil pemeriksaan, para tersangka memberikan keterangan yang mengarah kepada Kolonel Zulkifli Lubis sebagai dalang rencana membunuh Sukarno. Pasalnya tindakan para pelaku dianggap sejalan dengan gerakan mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan Kepala Badan Rahasia Negara pertama itu yang dikenal anti-Sukarno, anti-Nasution (Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution) dan pemerintah pusat.


Sejumlah koran di Jakarta dalam beritanya selalu mengait-ngaitkan peristiwa Cikini dengan pergolakan di sejumlah daerah. Sebaliknya, tiga daerah yang bergolak menyangsikan kemampuan Komando Militer Kota Djakarta Raya (KMKDR) dalam menangkapi para pelaku dalam waktu cepat. Mereka menuduh ada pihak lain yang mendalangi peristiwa tersebut dengan maksud untuk mengkambinghitamkan daerah yang bergolak.


Keadaan yang sudah tegang ini ditambah dengan aksi pemogokan dari Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Belum lagi soal upaya mengambilalih semua aset perusahaan milik Belanda dan masalah Irian Barat yang tak kunjung menjadi agenda di PBB.


Aksi SOBSI dikecam beberapa pihak, tentu yang anti-komunis, menganggap hal itu sebagai intimidasi dan ancaman. Aksi serupa juga dilakukan oleh massa dari Pemuda Rakyat dan Cosentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang berafiliasi dengan PKI. Inilah yang mejadi kemarahan kelompok kanan.


Karena merasa terancam, sejumlah tokoh nasional pergi ke luar Jakarta untuk mencari perlindungan ke Padang, Sumatera Barat. Di antara mereka adalah Sumitro Djojohadikusumo (ayah Prabowo Subianto), Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. Burhanuddin Harahap, dan sebagain lainnya.


“Yang menarik adalah pendirian Presiden Sukarno yang menganggap peristiwa Cikini itu sebagai kasus kriminal belaka, yang tidak ada hubungannya dengan masalah amnesti yang akan diberikan sesuai usul dari Fact Finding Commission,” kata Jenderal (Purn) Maraden Panggabean dalam bukunya ‘Berjuang dan Mengabdi’ terbitan 1993.


Sementara Zulkifli yang dikenal sebagai Bapak Intelijen Indonesia itu dituding sebagai dalang peristiwa Cikini karena motif balas dendam terhadap Sukarno. “Karena dia punya kedekatan dengan bagian operasional peristiwa itu,” kata Peter Kasenda, penulis buku ‘Zulkifli Lubis Kolonel Misterius’, kepada detikX pada 9 September 2016.


Tak mudah bagi aparat keamanan untuk mencokok Zulkifli. Pasca peristiwa Cikini, dia seolah ditelan bumi. Tak terlacak keberadaannya. “Dia dicari-cari tapi tidak ada yang bisa menangkapnya. Itu membuktikan betapa hebatnya orang ini. Jaringannya luas. Dia bisa ngumpet di mana saja,” ujar Peter lagi.


Belakangan, Zulkifli menepis tuduhan bahwa dirinya terlibat peristiwa Cikini yang dianggap tak berperikemanusiaan yang menewaskan banyak orang termasuk anak-anak. “Saya kenal dengan orang-orangnya (para pelaku). Tersangkut boleh saja, tapi kalau dikatakan menyuruh, itu sangat keliru," kata Zulkifli dalam buku ‘Memoar Kiprah Sejarah’ terbitan Grafit pada 1993.


Walau berseberangan pendapat dengan Sukarno, Zulkifli mengklaim bisa bertemu dengan sosok proklamator kemerdekaan itu kapan pun. “Saya salah satu pejabat yang bisa langsung melapor kepada Bung Karno di kamar tidurnya,” ucap Zulkifli mengenai kedekatannya dengan Sukarno.


Setelah urusan Cikini, Zulkifli yang saat itu dinyatakan sebagai buronan, bergabung dengan pemberontakan PRRI-Permesta pada 1958. Dia mengkritik keras koleganya di TNI yang lebih mengedepankan jalan kekerasan dalam menghadapi perbedaan pendapan dengan sejumlah tokoh di daerah, seperti Kartosuwiro (Jawa Barat), Kahar Muzakar (Sulawesi Selatan) dan Daud Beureuh (Aceh).“Harusnya dengan jalan damai, dan saya yakin itu bisa. Karena mereka Islam,” ujar Zulkifli.


Rupanya Zulkilfi akhirnya luluh ketika Sukarno mengumumkan pemberian amnesti dan abolisi kepada para tokoh pemberontak. Zulkifli turun gunung paling terakhir dan ditahan selama tiga tahun sembilan bulan hingga 1966.


Belakangan, muncul teori tentang keterlibatan badan intelijen Amerika Serikat intelijen atau Central Intelligence Agency (CIA) di balik peristiwa Cikini. Tudingan itu berasal dari hasil penelitian selama 30 tahun yang dilakukan pakar politik Australia, Greg Pougrain.


Bertahun-tahun Poulgrain mewawancarai sejumlah tokoh di Indonesia, Belanda, AS, Inggris dan pejabat di PBB untuk mengungkap perbedaan strategi antara Presiden AS John F Kennedy dan mantan Direktur CIA Allen Dulles mengenai Indonesia.


Analisa Poulgrain dikutip Ikrar Nusa Bhakti dalam tulisannya berjudul ‘Intelijen dan Pergantian Pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto’ dalam Buku ‘Intelijen dan Politik Era Soekarno’ terbitan LIPI pada 2018. Disebutkan Allen Dulles sebagai legenda intelijen CIA, bukan saja tidak sensitif terhadap pandangan dan kepentingan pihak lain, juga seorang yang tidak manusiawi, brutal, dan bahkan pembunuh berdarah dingin.


Allen Dulles diduga terlibat rekayasa pembunuhan terhadap Sekjen PBB Dag Hammarskjold di Kongo, Presiden Kongo Patrice Lumumba, Presiden AS John F Kennedy di Dallas TeXas 1963, hingga proses untuk menggulingkan Sukarno 1965-1968. Dia adalah inisiator pemberontakan daerah di Indonesia pada 1958.


“Ia ingin memperpanjang perang saudara di Indonesia untuk mencegah Indonesia menjadi negara yang stabil dan agar pemilu selalu ditunda untuk mencegah PKI memenangkan pemilu,” tulis Ikrar.


Pemberontakan daerah justru memperkuat komando pusat TNI-AD di bawah Jenderal AH Nasution, sehingga dapat mengimbangi PKI sesuai kehendak Allen Dulles. Dia terlibat dalam peristwa penting di Indonesia periode 1950-1960-an, yakni upaya pembunuhan Sukarno di Cikini.


Keterlibatannya terlacak dalam penghancuran KRI Macan Tutul yang dikomandoi Komodor Yos Sudarso di Laut Aru pada 15 Januari 1962. Kemudian menyetujui penyerahan Irian Barat dari Belanda ke Indonesia melalui Perjanjian New York pada 15 agustus 1962.


Hal itu dilakukan setelah kakaknya, John Foster Dulles, pada 1950, menjamin dukungan AS kepada Belanda, konfrontasi Indonesia-Malaysia, dan eksploitasi gunung emas di Irian Barat. Allen Dulles tidak hanya memilik kepentingan politik, tapi kepentingan ekonomi.


“Agar perusahaan minyak, gas, dan tambang AS Rockefeller menguasai alam Irian Barat, setelah Irian Barat diserahkan ke Indonesia dan Presiden Sukarno diganti seorang militer,” ungkap Poulgrain seperti dituliskan Ikrar.


Sumber: DetikX

Penulis blog