'Strategi Klandestin Menyandera Hakim Konstitusi' - DEMOCRAZY News
CATATAN POLITIK

'Strategi Klandestin Menyandera Hakim Konstitusi'

DEMOCRAZY.ID
Mei 20, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Strategi Klandestin Menyandera Hakim Konstitusi'
'Strategi Klandestin Menyandera Hakim Konstitusi'


'Strategi Klandestin Menyandera Hakim Konstitusi'


Proses pembahasan revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dilakukan secara tidak lazim. Pengambilan keputusan tingkat satu dilakukan tertutup dan pembahasan akhir digelar dadakan saat masa reses.


Sebuah pesan singkat WhatsApp diterima Syarifuddin Sudding dari Sekretariat Komisi III DPR RI pada Ahad, 12 Mei 2024. Isinya, undangan rapat pembahasan Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto. Rapat digelar pada Senin, 13 Mei 2024, sehari sebelum berakhirnya masa reses DPR.


“Saya nggak tahu kalau yang lain, apakah mendapat undangan juga atau nggak. Yang pasti, saya diminta hadir dan saya hadir,” jelas anggota Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional ini kepada detikX pada Kamis, 16 Mei 2024.


Rapat digelar sekitar pukul 15.00 WIB. Waktunya, kata Sudding, sangat singkat. Hanya sekitar 15 menit. Tidak ada pembahasan lain dalam rapat itu kecuali mendengarkan pandangan pemerintah—dalam hal ini Menko Polhukam—terkait naskah perubahan keempat UU MK. Setelah itu langsung dilakukan penandatanganan naskah RUU MK bersama pemerintah dan DPR RI.


Lantaran digelar saat masa reses, tidak banyak anggota Komisi III DPR RI yang hadir dalam rapat tersebut. Dari total 51 anggota Komisi III, hanya 10 orang yang hadir dalam rapat. Dari sembilan fraksi di DPR, hanya perwakilan PDI Perjuangan yang tidak hadir dalam rapat.


Rapat lanjutan pengambilan keputusan tingkat I RUU MK ini memang seakan-akan digelar secara mendadak. Tiga anggota komisi yang membidangi hukum, hak asasi manusia, dan keamanan yang detikX hubungi mengaku tidak tahu ada undangan untuk menghadiri rapat tersebut. Ketiganya adalah Benny Kabur Harman, Johan Budi, dan Taufik Basari.


Kita anggap (keputusan) tingkat I yang lalu itu sudah selesai, kemudian Menko Polhukam yang baru pada yang rapat terakhir ini (14 Mei 2024) ikut menyetujui.”


“Nggak tahu saya diundang atau nggak karena kami kan reses sampai Selasa (15 Mei 2024),” terang anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, kepada detikX pekan lalu. Demikian juga dengan anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan Johan Budi dan Fraksi Partai NasDem Taufik Basari.


Rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir ini menghasilkan keputusan untuk melanjutkan pembahasan yang berisi beberapa pasal kontroversial ini ke pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR. Satu tahap lagi untuk disahkan. Menko Polhukam baru Hadi Tjahjanto dalam rapat tersebut bilang perubahan yang ada dalam RUU MK bakal semakin memperkokoh peran MK sebagai penjaga konstitusi.


“Pemerintah berharap kerja sama yang terjalin dengan baik antara DPR RI dan pemerintah dapat terus berlangsung untuk mengawal tegaknya negara kesatuan yang kita cintai bersama,” ungkap Hadi pekan lalu.


Pada masa Mahfud Md menjabat Menko Polhukam, pembahasan revisi keempat UU No 24 Tahun 2003 itu pernah dua kali tertunda. Pertama, Mahfud meminta penundaan pembahasan RUU MK melalui surat bernomor B-55/HK/00.00/4/2023 pada Kamis, 6 Maret 2023. Alasannya, waktu itu pemerintah masih butuh pengkajian lebih dalam terkait substansi RUU tersebut.


Pembahasan baru dilanjutkan kembali pada 29 November 2023 di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta Selatan. Rapat ini dihadiri 18 dari 32 anggota Panitia Kerja RUU MK serta perwakilan dari Kemenko Polhukam dan Kementerian Hukum dan HAM. Dalam rapat yang digelar pukul 19.00-19.28 WIB ini, perwakilan Kemenko Polhukam keluar lebih dulu meninggalkan ruangan. 


Mahfud Md mengatakan pihaknya mengajukan penundaan kembali terkait pembahasan RUU MK karena memuat pasal-pasal kontroversial. Ada setidaknya dua pasal yang menjadi sorotan Mahfud ketika itu, yakni Pasal 23A ayat 1-2 dan Pasal 87.


Dalam draf RUU MK yang detikX terima, Pasal 23A ayat 1 berisi tentang pemotongan masa jabatan hakim konstitusi dari 15 tahun menjadi 10 tahun. Sedangkan Pasal 23A ayat 2 berisi tentang mekanisme evaluasi hakim konstitusi yang bakal dilakukan lembaga pengusul setelah menjabat selama lima tahun. Padahal, sebelumnya, DPR sendirilah yang mengganti masa usia hakim konstitusi menjadi 15 tahun melalui UU No 7 Tahun 2020. 


Lalu Pasal 87 berisi ketentuan pelaksanaan RUU tersebut ketika sudah disahkan. Beleid ini menyebut semua hakim yang sudah menjabat selama lima tahun dan kurang dari 10 tahun harus terlebih dahulu dikembalikan kepada lembaga pengusul untuk dievaluasi. Sementara itu, hakim yang sudah menjabat selama 10 tahun lebih boleh terus melanjutkan masa jabatannya sampai usia pensiun 70 tahun. 


“Nah, itu saya tidak setuju waktu itu karena itu bisa mengganggu independensi hakim MK. Pada waktu itu sedang menjelang pilpres,” jelas Mahfud pekan lalu.


Meski begitu, rapat pada 29 November 2023 itu rupanya tetap dilanjutkan walau tanpa perwakilan Kemenko Polhukam. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan seluruh anggota fraksi dan pemerintah—dalam hal ini Kemenkumham—sudah sepakat untuk menindaklanjuti rapat RUU MK ke pembahasan tingkat II. Saat itu, klaim Dasco, semua fraksi juga sudah memberikan pandangannya terhadap naskah RUU MK. Artinya, sudah ada pengambilan putusan tingkat I pada waktu itu sehingga tinggal menunggu lampu hijau dari Menko Polhukam.


“Kita anggap (keputusan) tingkat I yang lalu itu sudah selesai, kemudian Menko Polhukam yang baru pada yang rapat terakhir ini (14 Mei 2024) ikut menyetujui,” tutur Dasco melalui pesan suara kepada detikX.


Yang menjadi persoalan adalah pengambilan keputusan tingkat I kala itu dilakukan secara tertutup. Praktik ini tidak lazim dilakukan dalam proses pembentukan undang-undang di DPR. Karena itu, anggota Komisi III Fraksi Partai NasDem Taufik Basari pun menganggap pembahasan RUU ini sejatinya belum bisa dilanjutkan ke tahap berikutnya—dalam hal ini rapat paripurna—karena belum memenuhi prosedur yang diatur undang-undang. Pembahasan baru bisa dilanjutkan ke tahap berikutnya kalau DPR sudah menggelar rapat pengambilan putusan tingkat I secara terbuka.


Taufik juga berpandangan naskah RUU MK perlu dibahas lebih lanjut karena masih memuat pasal yang bertentangan dengan putusan Nomor 81/PUU-XXI/2023 pada 29 November 2023. Putusan ini berisi panduan terkait implementasi aturan baru yang berkaitan dengan batas usia maupun periode jabatan hakim MK. Dalam pertimbangannya, MK menyebut aturan baru terkait MK tidak boleh sampai merugikan hakim-hakim yang tengah menjabat.


Pasal 23A dan 87 dalam RUU MK dianggap bertentangan dengan putusan MK tersebut. Hakim yang berpotensi terdampak dari aturan ini adalah Enny Nurbaningsih dan Saldi Isra. Dua hakim dengan rekam jejak yang cukup independen dalam memutus sengketa di MK. Enny kini sudah menjabat 9 tahun dan Saldi menjabat 7 tahun. Baik Saldi maupun Enny merupakan hakim yang diusulkan oleh pemerintah. 


“Fraksi NasDem menyatakan menerima dengan catatan. Catatannya adalah RUU ini harus memperhatikan asas lex favor reo, yakni ketentuan atau norma yang baru harus menguntungkan bagi yang terdampak,” tulis Taufik melalui pesan singkat kepada detikX pada Jumat, 17 Mei 2024. 


Pakar hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti, mengatakan proses pembahasan RUU MK yang dilakukan pemerintah dan DPR ini merupakan muslihat untuk menakut-nakuti hakim MK. Pemerintah dan DPR seakan-akan takut kalau kebijakan yang mereka buat bakal dibatalkan oleh MK seperti yang terjadi pada Undang-Undang Cipta Kerja pada 2021. 


Perlu diingat juga, lanjut Bivitri, wacana perubahan undang-undang ini muncul berdekatan dengan pencopotan mantan hakim Aswanto. Waktunya hanya berselang delapan hari. Pembentukan Panitia Kerja RUU MK dimulai pada Kamis, 21 September 2022. Pada 29 September 2024, Aswanto dicopot. Aswanto dicopot lantaran keputusannya yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dianggap mengecewakan DPR sebagai pengusul.


Pencopotan dilakukan setelah DPR menerima surat dari Sekretaris Jenderal MK untuk mengonfirmasi perpanjangan masa jabatan Aswanto. DPR menjawab surat itu dengan tidak memperpanjang masa jabatan Aswanto dan menggantikannya dengan Guntur Hamzah. Putusan itu dianggap kontroversial lantaran saat itu tidak ada aturan yang memperbolehkan siapa pun, termasuk lembaga pengusul, untuk mengevaluasi kerja hakim MK. Apalagi sampai mencopotnya.


RUU MK, kata Bivitri, ingin melegitimasi pencopotan kontroversial itu dengan menyematkan pasal-pasal bermasalah, yakni Pasal 23A dan 87. Redaksi aturan yang tertuang dalam dua pasal tersebut memiliki pola serupa dengan pencopotan Aswanto. “Jadi ini tricky, muslihat sebenarnya, kan,” pungkas Bivitri. 


Sumber: DetikX

Penulis blog