Saat Food Estate 'Jegal' Kementan Raih WTP, Uang Rp 5 Miliar Jadi Pelicin Untuk Auditor BPK - DEMOCRAZY News
HUKUM POLITIK

Saat Food Estate 'Jegal' Kementan Raih WTP, Uang Rp 5 Miliar Jadi Pelicin Untuk Auditor BPK

DEMOCRAZY.ID
Mei 12, 2024
0 Komentar
Beranda
HUKUM
POLITIK
Saat Food Estate 'Jegal' Kementan Raih WTP, Uang Rp 5 Miliar Jadi Pelicin Untuk Auditor BPK

Saat Food Estate 'Jegal' Kementan Raih WTP, Uang Rp 5 Miliar Jadi Pelicin Untuk Auditor BPK


DEMOCRAZY.ID - Program lumbung pangan nasional atau food estate disebut menjegal Kementerian Pertanian (Kementan) mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).


Kementaan pun harus merogoh kocek Rp 5 Miliar sebagai uang pelicin untuk menyogok auditor BPK.


Hal ini diungkap Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Sesditjen PSP) Kementan, Hermanto, saat dihadirkan sebagai saksi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang, Rabu (8/5/2024).


Hermanto memberikan keterangan dalam perkara dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi di lingkungan Kementan yang menjerat mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL).


Dalam sidang ini, Sesditjen Kementan itu mengungkapkan adanya oknum auditor BPK yang meminta uang Rp 12 miliar untuk bisa memuluskan Kementan meraih opini WTP.


Hal terjadi ketika Jaksa KPK mengkonfirmasi adanya permintaan uang belasan miliar dari oknum BPK.


“Apakah kemudian ada permintaan atau yang harus dilakukan Kementan agar itu menjadi WTP?” tanya Jaksa. 


“Ada. Permintaan itu disampaikan untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya kalau enggak salah diminta Rp 12 miliar untuk Kementan,” kata Hermanto.


Hanya diberi Rp 5 miliar


Namun demikian, Hermanto menyebut Kementan hanya memberikan uang sebesar Rp 5 miliar kepada oknum auditor BPK tersebut.


“Akhirnya apakah dipenuhi semua permintaan Rp 12 miliar itu atau hanya sebagian yang saksi tahu?” tanya Jaksa KPK.


Kepada Jaksa, Hermanto mengaku hanya mengetahui bahwa Kementan tidak langsung memenuhi permintaan tersebut.


Berdasarkan informasi yang diperoleh dari eks Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan, Muhammad Hatta, Kementan hanya memberi Rp 5 miliar.


“Enggak, kita tidak penuhi. Saya dengar tidak dipenuhi. Saya dengar mungkin (kalau) enggak salah sekitar Rp 5 miliar,” ucapnya. “Saksi dengarnya dari siapa?” tanya Jaksa. “Pak Hatta,” ucapnya.


“Hanya dipenuhi Rp 5 miliar dari permintaan Rp 12 miliar. Saksi mendengarnya setelah diserahkan atau bagaimana pada saat cerita Pak Hatta kepada saksi?” cecar Jaksa.


Menjawab pertanyaan itu, Hermanto mengaku tidak mengetahui secara detail penyerahan uang miliaran ke BPK tersebut.


Hanya saja, oknum auditor BPK itu kerap menagih sisa permintaan yang tidak dipenuhi Kementan sebelum akhirnya opini WTP itu dikeluarkan.


“Ditagih enggak kekurangannya kan ditagih Rp 12 miliar?” tanya Jaksa. “Ditagih terus,” kata Hermanto.


Bakal diusut KPK


KPK menyatakan bakal mengusut dugaan adanya permintaan uang sebanyak Rp 12 miliar dari auditor BPK kepada Kementan untuk mendapatkan status opini WTP yang terganjal akibat temuan pada proyek “food estate”.


Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri mengatakan, pendalaman akan dilakukan setelah sidang kasus korupsi SYL telah selesai.


Pasalnya, tim jaksa KPK perlu mengantongi konfirmasi dari pihak-pihak lain dalam keterangannya di muka persidangan sehingga menjadi fakta hukum.


“Nanti pengembangan lebih jauhnya adalah ketika proses-proses persidangan selesai secara utuh,” kata Ali kepada wartawan, Rabu sore.


Ali mengatakan, beberapa waktu sebelumnya Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu juga menyebut bahwa jaksa akan menyampaikan temuan-temuan yang terungkap dalam sidang SYL dalam laporan persidangan maupun laporan perkembangan penuntutan.


Laporan itu nantinya akan menjadi dasar bagi KPK untuk mengembangkan dugaan korupsi menyangkut WTP dari BPK.


Ali menyebutkan, jika pengembangan dilakukan di tahap penyidikan, KPK bisa langsung menetapkan tersangka baru. 


Namun, karena sudah bergulir di persidangan, temuan itu akan ditindaklanjuti setelah hakim menjatuhkan putusan.


“Jaksa akan menyimpulkan dalam analisisnya di surat tuntutan baru kemudian menyusun laporan perkembangan penuntutan,” kata Ali.


Tanggapan BPK


Di sisi lain, pihak BPK menegaskan, mereka bakal menindak tegas setiap auditor yang terbukti melakukan tindakan tersebut.


Hal ini disampaikan BPK menanggapi fakta persidangan perkara SYL yang menyebut oknum auditornya meminta uang untuk memuluskan opini WTP.


“Apabila ada kasus pelanggaran integritas, maka hal tersebut dilakukan oleh oknum yang akan diproses pelanggaran tersebut melalui sistem penegakan kode etik,” tulis BPK dalam siaran pers pada Jumat (10/5/2024).


Namun demikian, lembaga pemeriksa keuangan ini menghormati proses persidangan yang menguak adanya dugaan praktik jual beli, untuk pelabelan WTP terhadap laporan keuangan kementerian/lembaga.


BPK meminta semua pihak tetap mengedepankan asas praduga tidak bersalah, selama dugaan tindakan meminta atau menerima suap itu belum terbukti secara hukum.


“BPK mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dan tidak mentolerir tindakan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, kode etik, standar dan pedoman pemeriksaan,” kata BPK.


BPK mengeklaim bahwa proses audit laporan keuangan yang dilakukan selama ini sesuai dengan standar dan pedoman pemeriksaan. “Dilakukan review mutu berjenjang, yakni quality control dan quality assurance,” pungkas BPK.


Masalah berulang


Pengkondisian pemeriksaan oleh oknum BPK bukan pertama kali terjadi.


Teranyar, Anggota III BPK Achsanul Qosasi diduga telah menerima uang 2,6 juta dollar Amerika Serikat (USD) atau setara Rp 40 miliar.


Uang itu diberikan untuk mengkondisikan temuan BPK dalam proyek penyediaan infrastruktur base transceiver station (BTS) 4G yang dikelola oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).


Saat ini, Achsanul menjadi terdakwa dan tengah diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta.


Di sisi lain, jual beli opini WTP dari BPK dalam laporan keuangan, juga bukan hanya kali ini terjadi. Permintaan ataupun pemberian suap kepada auditor BPK memang kerap terjadi.


Salah satunya dalam kasus korupsi eks Bupati Bogor Ade Yasin pada 2022 silam.


Kala itu, Ade memerintahkan tiga anak buahnya menyuap 4 pegawai BPK agar memberikan nilai baik untuk laporan keuangan Kabupaten Bogor.


KPK juga pernah mengungkap praktik jual beli opini pada 26 Mei 2017, yang melibatkan dua auditor BPK, Ali Sadli dan Rochmadi Saptogiri. Kasus itu terkuak dalam operasi tangkap tangan.


Ali dan Rochmadi menerima suap masing Rp 240 juta dan Rp 200 juta supaya memberikan opini WTP terhadap Laporan Keuangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) 2016.


Duit sogokan itu diberikan oleh eks Inspektur Jenderal Kemendes PDTT Sugito dan Kepala Bagian Tata Usaha Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo.


Kasus suap terhadap auditor BPK untuk mendapatkan opini WTP juga pernah terjadi pada 2010 silam. Saat itu, terdapat dua auditor bernama Enang Hernawan dan Suharto yang ditangkap.


Mereka terbukti menerima suap dari Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad sebesar Rp 400 juta, agar memberikan opini wajar dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Bekasi 2009.


Minim pengawasan


Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola berpandangan, pengawasan terhadap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan aktivitas para pegawainya masih sangat minim.


Hal tersebut menjadi salah satu penyebab praktik jual beli predikat WTP untuk laporan keuangan kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah.


“Penyalahgunaan wewenang dan jual-beli opini marak terutama karena desain pengawasannya minim. Problem lain adalah makin tergerusnya integritas pegawai BPK,” ujar Alvin saat dihubungi Kompas.com, Jumat (10/5/2024).


Menurut Alvin, BPK memiliki kewenangan yang besar dalam memeriksa akuntabilitas keuangan negara. Namun, laporan audit yang dihasil sulit terbebas dari adanya unsur kepentingan.


Kondisi ini, lanjut Alvin, tidak terlepas dari keberadaan orang-orang partai politik di tubuh lembaga audit keuangan tersebut.


“Karena sarat konflik kepentingan, akhirnya BPK tidak mampu menghasilkan produk audit yang bebas dari kepentingan,” ungkap Alvin.


Alvin pun mengusulkan evaluasi menyeluruh di BPK, mulai dari proses rekrutmen anggota hingga skema audit keuangannya.


Sumber: Kompas

Penulis blog