Komisi X DPR Sentil Kemdikbud soal UKT: Orang Miskin Dilarang Kuliah? - DEMOCRAZY News
EDUKASI EKBIS

Komisi X DPR Sentil Kemdikbud soal UKT: Orang Miskin Dilarang Kuliah?

DEMOCRAZY.ID
Mei 19, 2024
0 Komentar
Beranda
EDUKASI
EKBIS
Komisi X DPR Sentil Kemdikbud soal UKT: Orang Miskin Dilarang Kuliah?

Komisi X DPR Sentil Kemdikbud soal UKT: Orang Miskin Dilarang Kuliah?


DEMOCRAZY.ID - Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menyentil Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjani yang menyatakan pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier yang bersifat opsional alias pilihan.


Huda menyebut pernyataan Tjitjik justru semakin menebalkan persepsi bahwa pendidikan tinggi bersifat elitis dan hanya untuk kalangan tertentu.


"Bagi kami pernyataan itu kian menebalkan persepsi jika orang miskin dilarang kuliah. Bahwa kampus itu elite dan hanya untuk mereka yang punya duit untuk bayar Uang Kuliah Tunggal," kata Huda dalam keterangan resmi, Sabtu (18/5).


Huda menilai pernyataan Tjitjik mengenai pendidikan tersier ini kurang tepat, meski benar. 


Sebab, Tjitjik menyampaikan hal itu dengan kapasitasnya sebagai pejabat publik yang mengurus pendidikan tinggi dan sedang menanggapi protes kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN).


"Kalau protes kenaikan UKT direspons begini ya tentu sangat menyedihkan," ucap Huda.


Huda menegaskan pernyataan pendidikan tinggi bersifat tersier oleh pejabat tinggi Kemendikburistek bisa dimaknai bahwa pemerintah lepas tangan terhadap nasib mereka yang tidak punya biaya namun ingin kuliah.


Padahal, kata dia, pemerintah selama ini gembar-gembor ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045 dan memanfaatkan bonus demografi agar tidak menjadi bencana demografi.


"Tapi saat ada keluhan biaya kuliah yang tinggi dari mahasiswa dan masyarakat seolah ingin lepas tangan," tuturnya.


Menurut politikus PKB ini, kesempatan peserta didik mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia memang relatif rendah. 


Berdasarkan data BPS tahun 2023, Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi Indonesia masih berada di angka 31,45 persen.


Angka ini tertinggal dari Malaysia dengan 43 persen, Thailand dengan 49 persen, dan Singapura dengan 91 persen.


"Salah satu kendala faktor pemicu rendahnya angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia adalah karena persoalan biaya," ucap Huda.


Di sisi lain, Huda menyebut anggaran pendidikan di Indonesia setiap tahun relatif cukup besar dengan adanya mandatory spending 20 persen dari APBN. 


Untuk tahun ini saja, ujar dia, ada alokasi APBN sebesar Rp665 triliun untuk anggaran pendidikan.


"Nah, ini ada apa kok sampai ada kenaikan UKT besar-besaran dari perguruan tinggi negeri yang dikeluhkan banyak mahasiswa. Apakah memang ada salah kelola dalam pengelolaan anggaran pendidikan kita atau ada faktor lain," ujar dia.


Huda pun mengatakan saat ini Komisi X telah membuat Panitia Kerja (Panja) Biaya Pendidikan untuk menelusuri tata kelola anggaran pendidikan di tanah air.


Panja ini diharapkan bisa menelurkan rekomendasi terkait perbaikan tata kelola anggaran pendidikan, baik menyangkut pola distribusi, penentuan subjek sasaran, hingga jenis program.


"Kami berharap rekomendasi Panja Biaya Pendidikan ini bisa menjadi acuan penyusunan RABPN 2025," pungkasnya.


Sebelumnya, Tjitjik menyampaikan bahwa kuliah atau pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier alias pilihan yang tidak masuk wajib belajar 12 tahun (SD-SMA).


Tjitjik menyebut karena sifat opsional ini, pemerintah tidak memprioritaskan pendanaan bagi pendidikan tinggi. Sebaliknya, pemerintah fokus pada pendidikan wajib 12 tahun.


"Apa konsekuensinya karena ini adalah tertiary education? Pendanaan pemerintah untuk pendidikan itu difokuskan, diprioritaskan, untuk pembiayaan wajib belajar," ujarnya.


Meski demikian, Tjitjik mengklaim pemerintah tidak lepas tangan dan tetap memberikan pendanaan melalui bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN). 


Namun, besarannya tidak bisa menutup Biaya Kuliah Tunggal (BKT) sehingga sisanya dibebankan pada setiap mahasiswa lewat UKT.


Tingginya biaya UKT ini sendiri karena mempertimbangkan biaya operasional yang ditanggung oleh PTN. 


Biaya itu meliputi alat tulis kantor (ATK), upah bagi dosen non pegawai negeri sipil (PNS), biaya praktikum, biaya ujian, hingga skripsi.


"Biaya perkuliahan itu kan pasti butuh ATK, butuh kemudian LCD, ada pemeliharaan, kemudian dosennya kan mesti harus dikasih minum, harus kemudian dibayar. Memangnya dosen gratis?" ujar dia.


Sumber: CNN

Penulis blog