'Jual Beli Opini WTP, Ladang Korupsi BPK dari Masa ke Masa' - DEMOCRAZY News
CATATAN POLITIK

'Jual Beli Opini WTP, Ladang Korupsi BPK dari Masa ke Masa'

DEMOCRAZY.ID
Mei 20, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Jual Beli Opini WTP, Ladang Korupsi BPK dari Masa ke Masa'
'Jual Beli Opini WTP, Ladang Korupsi BPK dari Masa ke Masa'


'Jual Beli Opini WTP, Ladang Korupsi BPK dari Masa ke Masa'


Berjalan keluar dari komplek Istana Kepresidenan, Ketua BPK Isma Yatun bergegas menuju mobil dinas Toyota Crown yang telah menunggunya. Sembari menelungkupkan tangan, Isma tak menggubris pertanyaan soal dugaan permintaan uang dari auditor lembaganya, Badan Pemeriksa Keuangan, kepada pejabat Kementerian Pertanian sebagai syarat pemberian opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) atas laporan keuangan kementerian itu.


Opini WTP biasanya diberikan BPK kepada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah atas laporan keuangan (mencakup posisi keuangan, hasil usaha, arus kas, dll.) yang dinilai wajar sehingga institusi tersebut dianggap akuntabel.


“Nanti saja ya,” kata Isma singkat, Rabu (15/5), saat diadang wartawan usai menghadiri pengucapan sumpah Wakil Ketua MA Non-Yudisial di Istana Negara.


Dugaan permintaan uang dari auditor BPK terhadap pejabat Kementan terungkap dalam persidangan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) di Pengadilan Tipikor Jakarta seminggu sebelumnya, Rabu (8/5).


Dalam kesaksiannya, Sekretaris Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Hermanto, mengatakan bahwa sempat ada temuan BPK mengenai food estate pada 2021.


Atas temuan itu, Kepala Subauditorat pada Auditorat Utama Keuangan Negara IV BPK, Victor Daniel Siahaan, diduga meminta Hermanto menyediakan dana Rp 12 miliar agar laporan keuangan Kementan tetap bisa mendapat opini WTP sekalipun ada temuan food estate.


Tak dijelaskan apa isi temuan BPK mengenai food estate tersebut. Walau demikian, pada 2021 BPK telah melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) terhadap program food estate tahun anggaran 2020 hingga triwulan III 2021. Hasilnya, BPK menemukan 5 permasalahan, yakni:


Sesditjen PSP Kementan Hermanto kemudian menyerahkan permintaan uang yang diminta auditor BPK kepada orang kepercayaan SYL, yakni Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta. Sepengetahuan Hermanto, dari Rp 12 miliar yang diminta si auditor, baru Rp 5 miliar yang dipenuhi Kementan.


“Ditagih tidak kekurangannya? Kan diminta Rp 12 M?” tanya jaksa KPK di persidangan SYL.


“Ya, ditagih terus,” jawab Hermanto.


Entah ada kaitannya dengan pemberian uang itu atau tidak, Kementerian Pertanian mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK pada 2021 dan 2022. Bahkan Kementan sesungguhnya mendapat opini WTP selama 7 tahun berturut-turut, termasuk sejak SYL menjabat sebagai menteri pada akhir 2019.


Atas kesaksian Hermanto tersebut, BPK menyatakan oknum (anggotanya) yang melanggar akan diproses secara etik melalui Majelis Kehormatan Kode Etik. Sejauh ini, tim Inspektorat Utama BPK telah meminta keterangan SYL beserta dua terdakwa lainnya, Hatta dan mantan Sekjen Kementan Kasdi Subagyono, terkait dugaan pelanggaran etik auditor BPK itu.


Menurut sumber kumparan, BPK juga mengirim surat untuk melakukan audit PDTT terhadap Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional, dan Badan Karantina Indonesia untuk tahun anggaran 2021–2023.


Namun, kasus dugaan korupsi yang melibatkan BPK tentu bukan cuma terjadi di Kementan. Dalam rentang setahun terakhir, mencuat beberapa perkara yang menyeret nama auditor maupun anggota BPK.


Contohnya, dugaan permintaan Rp 10,5 miliar untuk BPK pada kasus pembangunan Tol Layang MBZ; dugaan penerimaan suap Rp 1,8 miliar oleh Kepala Perwakilan BPK Papua Barat Patrice Lumumba Sihombing dkk. pada kasus Pj Bupati Sorong Yan Piet Mosso yang turut menyeret nama anggota VI BPK Pius Lustrilanang sampai ruang kerjanya digeledah KPK; dan dugaan suap Rp 40 miliar terhadap anggota III BPK nonaktif Achsanul Qosasi dalam kasus korupsi BTS Kominfo.


Terperangkap Proyek BTS


Menkominfo Johnny G. Plate terus diseret dalam kasus korupsi BTS. Sekjen NasDem itu sudah dua kali diperiksa penyidik Kejaksaan Agung. Benarkah ia bakal jadi tersangka? Apakah ia sungguh terlibat? Adakah imbasnya ke partai jelang 2024? Klik di bawah.


Maraknya perkara korupsi yang melibatkan pejabat BPK menandakan bahwa perilaku lancung itu bukan lagi urusan personal, melainkan telah menjadi problem kelembagaan.


“Sebenarnya [awalnya] ini persoalan orang per orang karena menyangkut integritas dan moralitas… tetapi karena [penyelewengan] itu terus berulang, kesannya bagi publik seperti [kebiasaan yang] melembaga atau perilaku insititusional,” ujar analis kebijakan publik sekaligus ahli sosiologi hukum Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, Jumat (17/5).


Opini WTP Bukan Jaminan Bebas Korupsi


Penyelewengan berulang yang melibatkan pejabat BPK mayoritas terkait pengondisian audit keuangan negara, khususnya untuk mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian.


Opini WTP merupakan penilaian tertinggi yang diberikan BPK kepada kementerian atau pemerintah daerah yang laporan keuangannya dianggap wajar. Di bawahnya ada wajar dengan pengecualian (WDP), tidak wajar, dan penyataan menolak memberikan opini.


Opini WTP menjadi idaman karena menjadi tolok ukur target pembangunan jangka menengah. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pemerintah menargetkan 95% kementerian/lembaga mendapatkan WTP, provinsi 95%, kabupaten 85%, dan kota 95%.


Di samping itu, WTP kerap diincar—khususnya oleh Pemda—karena menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan dana insentif daerah.


Perburuan terhadap opini WTP itulah yang menjadi celah penyelewengan bagi para pejabat dan auditor BPK. Mereka memanfaatkan berbagai instansi yang pengelolaan keuangannya buruk namun membutuhkan opini WTP demi citra pimpinan dan lembaga.


“Seperti teori supply-demand. Ada aturan yang mengatakan harus WTP. Kalau enggak, tidak dapat dana insentif. Citra kepemimpinan [lembaga] juga ditentukan [oleh opini WTP] itu. Maka mereka melakukan apa saja untuk dapat WTP,” ujar Trubus.


Anggota Majelis Kehormatan Kode Etik BPK 2019–2021 Indriyanto Seno Adji menyatakan, secara umum pelanggaran etik auditor BPK yang paling banyak diadukan ketika ia duduk di MKKE adalah penerimaan suap opini WTP.


“Umumnya dugaan pelanggaran etiknya adalah pemberian janji/penerimaan janji atau sesuatu (uang/barang) bagi perolehan opini WTP. Ini bagian riak kecil dari sistem audit keuangan,” kata Indriyanto kepada kumparan.


Yang menyesatkan, opini WTP seakan menjadi komoditas karena dianggap menjadi bukti bahwa suatu instansi bebas dari korupsi. Padahal penilaian tersebut keliru lantaran opini WTP BPK hanya bersifat adminstratif.


Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman mengibaratkan opini WTP layaknya jual beli kendaraan yang dianggap benar karena ada kuitansi. Padahal BPK tidak memeriksa apakah kuitansi itu asli atau di-markup.


“BPK tidak melihat apakah ada perbuatan melawan hukum atau unsur-unsur lain dalam UU Tipikor. Ketika ramai glorifikasi WTP, di sana terbuka celah praktik korupsi antara auditor BPK dan pejabat publik,” ujar Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Kurnia Ramadhana.


BPK sendiri telah menegaskan bahwa opini WTP bukan jaminan bebas korupsi. Opini WTP sekadar pernyataan BPK terhadap tolok ukur akuntabilitas dari pengelolaan keuangan di tiap kementerian atau pemda. Nyatanya, pada prosesnya, bisa saja kementerian atau pemda tersebut mengelabui BPK.


“Bisa saja bukti mengelabui, [misal] terjadi kolusi dsb. yang enggak bisa dilihat dari audit dalam penyusunan laporan keuangan,” ujar Agus Joko Pramono pada 2017, kala ia menjadi anggota BPK.


Pada tahun yang sama, Kepala Direktorat Penelitian dan Pengembangan BPK Gunarwanto dalam media internal lembaganya, Warta BPK, menyatakan bahwa auditor bekerja berdasarkan data yang diperoleh di lapangan. Namun, sering kali data yang diterima auditor bersifat rekayasa.


Sumber kumparan mengamini adanya praktik rekayasa data lapangan agar borok tata keuangan lembaga tak terendus BPK. Ironisnya, praktik “cuci piring” tersebut justru ada yang dilakukan inspektorat atau pengawas internal.


Sang sumber yang merupakan auditor internal kementerian berujar, sedianya Inspektorat dan BPK saling bersinergi mengungkap penyelewengan; namun karena garis komando Inspektorat berada di bawah menteri atau kepala daerah, maka pada praktiknya mau tidak mau mereka menuruti perintah pimpinan.


Sementara proses audit, menurut Gunarwanto, memiliki keterbatasan dalam pengambilan sampel karena tidak mungkin semua transaksi diperiksa. Alhasil, bisa saja pada transaksi-transaksi yang tidak diambil sebagai sampel justru terjadi korupsi.


“Dengan keterbatasan audit demikan, sangat sulit bagi BPK untuk memberikan jaminan bahwa opini WTP membuat korupsi tidak akan terjadi di entitas yang diperiksa,” kata Gunarwanto.


"Opini WTP hanya penilaian atas kewajaran laporan keuangan, bukan jaminan tidak ada korupsi.” - Gunarwanto, Kepala Direktorat Penelitian & Pengembangan BPK


Demi meminimalisir celah korupsi opini WTP, Indriyanto menilai perlunya evaluasi rutin terhadap prosedur pemberian WTP oleh Inspektorat Utama BPK.


Di sisi lain, Trubus dan ICW berpendapat perlunya model penilaian berbeda sebagai ketentuan pemberian dana insentif daerah, dan tidak menjadikan opini WTP sebagai syarat utamanya.


“Mestinya pemerintah tidak hanya berdasarkan WTP laporan keuangan untuk meningkatkan dana insentif daerah dsb. Harus ada model lain, karena kalau terus menerus seperti ini dan tidak ada perbaikan, maka praktik korupsi terkait jual beli laporan WTP akan semakin marak,” ucap Kurnia.


Auditor BPK Juga Memeras


Modus penyalahgunaan wewenang oleh pejabat BPK sebetulnya beragam, tak cuma jual beli opini WTP. Oknum BPK juga melakukan pemerasan dengan menetapkan nominal tertentu dari nilai proyek. Praktik ini menurut ICW jamak terjadi di daerah-daerah.


Boyamin MAKI menyebut bahwa nilai yang diminta auditor BPK biasanya berkisar 5–10% dari nilai proyek, bahkan ada yang sampai 20%. Kasus-kasus tersebut ada yang berujung ke sidang etik MKKE.


“Pada beberapa kasus yang sempat saya tangani, memang terbukti ada penerimaan dari beberapa pemeriksa BPK yang kadang terkait nilai pagu proyek; namun tidak bisa terukur nilai prosentasenya,” ucap Indriyanto.


Salah satu contoh kasus pemerasan terjadi di Bekasi. Auditor BPK Kanwil Jawa Barat, Amir Panji Sarosa, pada Oktober 2022 divonis 5,5 tahun penjara karena memeras sejumlah rumah sakit dan puskesmas di Bekasi dengan dalih adanya temuan kerugian negara. Amir meminta Rp 500 juta untuk tiap RS dan Rp 20 juta per puskesmas.


Contoh lain permintaan dana oleh oknum BPK terkait nilai proyek pernah terungkap pada persidangan eks Bupati Bogor Ade Yasin pada Agustus 2022. Dalam sidang itu, Kasubbag Keuangan Kecamatan Cibinong, Mujiyono, mengaku pernah diminta Rp 900 juta oleh auditor BPK Gerry Ginanjar. Jumlah itu diasumsikan merupakan 10% dari nilai proyek infrastruktur di Cibinong yang tersebar di 13 kelurahan.


Ada pula permintaan uang dari oknum BPK untuk menurunkan kerugian negara. Ini misalnya terungkap dalam persidangan kasus suap proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Kementerian PUPR pada 2021.


Dalam sidang itu, eks Kepala Satuan Kerja SPAM PUPR Tampang Bandaso mengaku pernah bernegosiasi dengan tim auditor BPK agar menurunkan nilai kerugian negara dari Rp 35 miliar menjadi Rp 5,5 miliar, dengan Rp 3 miliar di antaranya untuk tim auditor BPK.


Penyelewengan oleh pejabat BPK bahkan mencakup urusan yang remeh-temeh. Contohnya, menurut sumber kumparan, pada medio 2022, ada pejabat BPK yang atas nama jabatan menyurati dealer agar dua mobil mewah pesanannya segera dikirim tanpa inden.


Tindakan itu dinilai Boyamin menjadi tanda bahwa pejabat BPK tersebut tidak memahami konflik kepentingan. Dan kemungkinan, dari banyaknya kasus yang secara berkala terkuak, banyak pegawai BPK lain yang punya masalah serupa: tak menghindari konflik kepentingan dan malah menyalahgunakan posisinya.


BPK Kental Kepentingan Politik


Trubus Rahadiansyah menilai, maraknya penyelewengan di BPK lantaran lembaga tinggi negara tersebut tidak sepenuhnya dikelola secara profesional. Mayoritas pimpinan BPK saja diisi oleh orang-orang politik yang rentan terhadap konflik kepentingan dan perilaku koruptif.


Dari 9 anggota BPK, hanya 3 orang yang berasal dari kalangan profesional. Sisanya terafiliasi dengan parpol tertentu dan pernah menjadi anggota DPR. Ketua BPK Isma Yatun merupakan mantan anggota Fraksi PDIP DPR periode 2004–2017. Ia pernah duduk di Komisi VII, X, dan XI DPR.


Anggota II BPK Daniel Lumban Tobing juga pernah menjabat sebagai anggota Fraksi PDIP DPR periode 2009–2019. Ia sempat duduk di Komisi IV, VI, dan IX DPR. Berikutnya, anggota IV BPK Haerul Saleh dulu merupakan anggota Fraksi Gerindra DPR periode 2014–2022 yang bertugas di Komisi XI.


Anggota VI BPK Pius Lustrilanang juga sebelumnya anggota Fraksi Gerindra DPR pada periode 2009–2019. Ada pula anggota V BPK Ahmadi Noor Supit yang dulunya anggota Fraksi Golkar DPR, bahkan sejak 1992.


Terakhir, mantan anggota III BPK Achsanul Qosasi yang kini disidang sebagai terdakwa dalam kasus korupsi BTS Kominfo, sebelumnya adalah anggota Fraksi Demokrat DPR yang duduk di Komisi XI.


ICW menyatakan, sudah saatnya BPK bebas dari warna-warni politik agar hasil audit keuangan negara tidak bias dan tidak kental konflik kepentingan.


“Bagaimana jika aparat penegak hukum sedang menangani perkara yang melibatkan politisi yang berasal dari partai yang sama dengan si anggota BPK? Di situ ada potensi konflik kepentingan dan bias pandangan yang berimbas pada proses penghitungan kerugian keuangan negara—misalnya penghitungannya jadi sangat lama, tapi kalau dilempar ke lembaga lain bisa lebih cepat,” papar Kurnia.


Trubus berpendapat, BPK perlu diisi orang-orang profesional dari kalangan teknokrat atau akademisi, bukan politisi berdasarkan jatah-jatahan parpol. Itu sebabnya ia mendorong UU BPK direvisi agar pemilihan anggota BPK dilakukan oleh panitia seleksi independen, bukan oleh Komisi XI DPR.


“Pansel bisa mengikuti langgam yang ada di KPK seperti ditunjuk pemerintah, diisi figur-figur independen, sehingga publik percaya,” kata Kurnia.


Sementara Boyamin mengusulkan agar proses pencalonan anggota BPK mengikuti putusan MK soal penunjukan Jaksa Agung. Dalam putusannya, MK menyatakan seseorang yang akan diangkat sebagai Jaksa Agung harus berhenti dari kepengurusan parpol sekurang-kurangnya 5 tahun.


“Harusnya orang yang maju [jadi calon anggota] BPK minimal sudah 5 tahun mengundurkan diri [dari parpol]. Dengan demikian orang-orang yang mendaftar ke BPK sudah tidak punya syahwat politik,” kata Boyamin.


Di sisi lain, Indriyanto berpendapat bahwa berbagai penyelewengan di BPK yang pernah ia tangani lebih didominasi oleh karakter individu, bukan pengaruh politik pimpinan. Meski demikian, ia sepakat agar tim pansel anggota BPK tidak didominasi Komisi XI DPR, melainkan campuran antara tokoh masyarakat, akademisi, dan perwakilan BPK.


Soal seleksi, pada 2024 ini, ada 4 anggota BPK yang akan habis masa jabatannya—Hendra Susanto, Daniel Lumban, Pius Lustrilanang, dan Achsanul Qosasi yang telah nonaktif. Sejauh ini Komisi XI DPR belum mengumumkan format seleksi anggota BPK baru.


Jika berkaca pada seleksi anggota BPK tahun 2019, Komisi XI DPR enggan membentuk pansel walau telah diminta langsung oleh Menteri Keuangan. Komisi XI merujuk ke Pasal 23F UUD 1945 bahwa anggota BPK dipilih DPR dengan mempertimbangkan masukan DPD.


Trubus dan Boyamin pun mengusulkan perlunya pembentukan Dewan Pengawas BPK layaknya di KPK. Pengawas independen ini dipandang penting karena kedudukan BPK seperti superbody alias lembaga negara yang tak diawasi.


Namun, menurut ICW, pengawasan terhadap BPK sebetulnya cukup dengan memperkuat Majelis Kehormatan Kode Etik agar bisa bertindak proaktif, tidak hanya menunggu laporan/aduan.


“Yang tak kalah penting: siapa yang ditunjuk sebagai MKKE? Apakah orang-orang yang berintegritas, independen, dan kompeten soal pengawasan? Sebab kita tidak berharap MKKE justru terlibat konflik kepentingan dengan internal BPK sehingga pengawasan mereka bias,” tutup Kurnia.


Sumber: Kumparan

Penulis blog