Hasil Uji di 3 Kelompok Masyarakat Adat dan Lokal: 'Proyek IKN Tak Koheren dan Gagal Uji Legitimasi' - DEMOCRAZY News
DAERAH POLITIK

Hasil Uji di 3 Kelompok Masyarakat Adat dan Lokal: 'Proyek IKN Tak Koheren dan Gagal Uji Legitimasi'

DEMOCRAZY.ID
Mei 15, 2024
0 Komentar
Beranda
DAERAH
POLITIK
Hasil Uji di 3 Kelompok Masyarakat Adat dan Lokal: 'Proyek IKN Tak Koheren dan Gagal Uji Legitimasi'

Hasil Uji di 3 Kelompok Masyarakat Adat dan Lokal: Proyek IKN Tak Koheren dan Gagal Uji Legitimasi


DEMOCRAZY.ID - Tim peneliti di Pusat Studi Hak Asasi Manusia (HAM) Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin mengkaji proses Ibu Kota Negara (IKN), tentang bagaimana undang-undang juga peraturan presiden serta implementasinya. 


Kajian bertolak dari pembahasan bahwa HAM menjadi esensi positif dari elemen hukum dan pembangunan namun pembangunan tidak selalu selaras dengan HAM itu sendiri.


Mirza Satria Buana, Kepala Pusat Studi HAM Universitas Lambung Mangkurat, mengungkap itu saat menjadi pembicara dalam Forum Diskusi Budaya yang diselenggarakan Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Senin 13 Mei 2024. 


Guru Besar Fakultas Hukum itu merujuk ke sebuah sumber artikel ilmiah “The Nusantara Capital City Project: Why Development and Human Rights Do Not Always Mix”. 


BRIN: KlikLink


Mirza lalu mengutip Martin Wolf dalam buku The Crisis of Democratic Capitalism. Disebutkan di sana bahwa pembangunan tanpa ada struktur hukum dan perlindungan HAM kepada masyarakat--yang diberikan lewat keamanan sipil dan politik--hanyalah ilusi.  


Untuk analisis Proyek IKN, Mirza dan timnya menggunakan dua konsep, yaitu uji legitimasi dan koherensi. 


Dalam konsep legitimasi, Mirza menerangkan, seharusnya ada keberadaan dan aksesibilitas norma yang mendukung proses demokrasi. Norma-norma itu harus memberikan pilihan politik dan peningkatan kemampuan masyarakat.


Norma-norma itu juga harus menyediakan mekanisme, yakni kesepakatan kebijakan dalam artian pembangunan itu harus mendapatkan izin (consent) dari masyarakat. 


Lalu, ada norma untuk menyediakan mekanisme akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat. Hal tersebut, kata Mirza, untuk mengawal pemerintah agar bertanggung jawab atas pembangunan.


Dalam uji koherensi, dia menuturkan, ada norma yang berisi kewajiban-kewajiban pemerintah untuk melaksanakan kewajiban HAM-nya kepada masyarakat. 


Norma ini, menurutnya, tidak boleh ambigu. Sebaliknya, harus jelas dan konsisten. Yang paling penting adalah norma yang tercantum dalam undang-undang harus selaras dengan praktiknya. 


Hasil Uji di 3 Kelompok Masyarakat Adat dan Lokal


Mirza menguraikan partisipasi dan transparansi kebijakan tentang IKN tersebut berdasarkan hasil kajian timnya pada masyarakat adat dan lokal di Pemaluan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. 


Dikatakannya, pihaknya tidak pernah mendapat informasi yang utuh dari pemerintah terkait IKN dari masyarakat tersebut.


Timur, dan Kuala Semboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.  “Di sana, tidak ada FPIC (Free, Prior, Informed Consent) dalam proses pembangunan,” katanya. 


Mirza mengakui, meski ada partisipasi publik namun itu tidak menyeluruh sampai kesepakatan (consent) Perpres Nomor 63 Tahun 2022. 


Ia mengungkap lemahnya norma partisipasi publik yang seharusnya dapat dilibatkan dan dipertimbangkan dalam menyusun rencana pembangunan, dan lainnya.


"Tidak ada penjelasan rinci baik dalam UU maupun Perpres tentang bagaimana partisipasi publik dijalankan. Partisipasi publik hanya tokenisme, artinya ada tapi hanya sebagai cantolan." 


Secara keseluruhan, Mirza dan timnya menyimpulkan bahwa proyek IKN tidak koheren dan gagal dalam uji legitimasi.


Pembahas Kuatkan Kesimpulan Kajian


Peneliti di The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, menjadi pembahas dalam forum diskusi budaya itu. 


Menurut dia, hasil audit HAM atas IKN oleh Mirza dan timnya menunjukkan bahwa pola pembangunan IKN serupa dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) lainnya yang secara legal maupun dalam praktiknya sudah bermasalah.


"Cenderung mengabaikan dan bahkan menolak penerapan nilai-nilai pembangunan," kata dia sambil menambahkan, indikasi penolakan nilai dan standar HAM  sangat jelas dan detail. 


Dia membandingkan dengan audit HAM terhadap proyek strategis pembangunan bendungan. Setelah semua aturan yang dipakai oleh pemerintah dalam melaksanakan proyek bendungan itu dibongkarnya, 


"Kelihatan betul bahwa bukan hanya aturannya yang tidak memadai, tetapi aturan yang ada pun yang dibuat sendiri oleh pemerintah itu sendiri tidak dijalankan." 


Sri menambahkan tentang relasi HAM dan pembangunan di mana kondisi pelaksanaan HAM disebutnya bergantung kepada kondisi demokrasi. 


”Jika unsur-unsur kualitas demokrasinya jauh merosot bagaimana kita mau berharap bahwa pembangunan itu sejalan dengan HAM? Apalagi dengan praktik diktatorial seperti di IKN,” kata dia. 


Sumber: Tempo

Penulis blog