5 Faktor Yang Bikin 'Politik Uang' Terus Eksis di Indonesia - DEMOCRAZY News
POLITIK

5 Faktor Yang Bikin 'Politik Uang' Terus Eksis di Indonesia

DEMOCRAZY.ID
Mei 17, 2024
0 Komentar
Beranda
POLITIK
5 Faktor Yang Bikin 'Politik Uang' Terus Eksis di Indonesia

5 Faktor Yang Bikin 'Politik Uang' Terus Eksis di Indonesia


DEMOCRAZY.ID - Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Hugua menyebut penegakan hukum terhadap politikus yang melakukan politik uang atau money politics bagai kucing-kucingan. 


Karenanya, pihaknya menyindir agar cara kotor itu dilegalkan saja oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebab, kata dia, praktik money politic adalah keniscayaan dalam Pemilu.


“Sebab kalau barang ini tidak dilegalkan, kita kucing-kucingan terus, yang akan (menjadi) pemenang ke depan adalah para saudagar,” ujar Hugua dalam rapat bersama jajaran penyelenggara Pemilu di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu, 15 Mei 2024.


Praktik politik uang sebenarnya bagai hubungan timbal balik, di mana masyarakat justru memilih kandidat yang melakukan praktik kotor ini ketimbang politikus "bersih". 


Sikap masyarakat inilah yang justru membuat budaya politik uang saat Pemilu terus berlaku. Apalagi setelah terbukti mereka yang "membeli suara" akhirnya menang.


Dilansir dari jurnal Justice Pro: Jurnal Ilmu Hukum, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Money Politik Pada Pemilu 2019 oleh Anton Hutomo Sugiarto dkk, berikut faktor-faktor yang menyebabkan praktik money politics masih eksis di Indonesia dan penegakan hukum terhadap pelaku sulit dilakukan, menurut Soerjono Soekanto:


1. Faktor hukum


Meskipun dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu disebutkan bahwa salah satu tugas dari Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu adalah mencegah terjadinya praktik politik uang, namun dalam UU ini tidak ada pengertian mengenai politik uang. 


Oleh karena itu, dalam praktiknya tidak jelas apakah memberikan hadiah seperti sarung, sepeda, dan sebagainya juga merupakan politik uang atau bukan.


Selain itu, jika dibandingkan dengan UU Pemilu, sanksi pidana terhadap pelanggaran politik uang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang atau UU Pilkada justru lebih tegas.


Dalam Pasal 187A UU Pilkada, baik pemberi maupun penerima politik uang, keduanya diancam dengan sanksi pidana. Sedangkan dalam UU Pemilu, sanksi pidana hanya diancamkan pada pemberi politik uang. 


Selain itu, terdapat ketentuan dalam UU Pilkada bahwa biaya transportasi peserta kampanye harus dalam bentuk voucher tidak boleh dalam bentuk uang.


Sedangkan dalam UU Pemilu, berdasarkan Penjelasan Pasal 286 ayat (1) larangan menjanjikan dan/atau memberikan materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilu dan/atau pemilih antara lain tidak termasuk pemberian biaya transport dan makan minum kepada peserta kampanye. 


Akibatnya pengawas pemilu di lapangan akan sulit untuk membedakan antara biaya politik dan politik uang.


2. Faktor penegak hukum 


Dalam UU Pemilu, sentra penegakan hukum terpadu atau Gakkumdu memiliki peran penting dalam penanganan tindak pidana pemilu, termasuk politik uang. 


Pasal 486 UU Pemilu menyebutkan bahwa Gakkumdu dibentuk untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu oleh Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan. 


Dengan adanya kelemahan dalam UU Pemilu, Bawaslu tidak hanya melakukan pengawasan tahapan pemilu dan pencegahan pelanggaran pemilu, tapi juga sebagai pemutus perkara, diharapkan dapat berperan maksimal.


Namun, dalam pelaksanaan pemilu, belum seluruh permasalahan ataupun pelanggaran pemilu termasuk politik uang dapat dilakukan pencegahan dan ditangani dengan baik. 


Daerah-daerah yang terkena dampak bencana misalnya, dapat berpotensi dimanfaatkan peserta pemilu untuk meraih simpati pemilih dengan memberikan sumbangan. 


Pengawasan pemilu menjadi salah satu kunci keberhasilan mewujudkan pemilu berkualitas dan berintegritas tanpa dicemari poitik uang.  


3. Faktor sarana dan prasarana 


Dari tiga lembaga yang memiliki kewenangan dalam penyidikan kasus korupsi, di satu sisi Kepolisian dan Kejaksaan selain tidak memiliki kewenangan sebesar kewenangan KPK, juga belum memiliki sarana prasarana sebagaimana yang dimiliki KPK. 


Di sisi lain, meskipun KPK memiliki keterbatasan personil dan belum memiliki perwakilan di setiap provinsi namun KPK memiliki kewenangan lebih besar dibanding Kepolisian dan Kejaksaan. 


Perbedaan sarana prasarana yang dimiliki ketiga lembaga tersebut tentunya akan mempengaruhi penegakan hukum terhadap pelaku politik uang.


4. Faktor masyarakat 


Dalam beberapa kajian, masyarakat masih menganggap wajar adanya politik uang dalam pemilu. Oleh karena itu, masih terjadinya politik uang, tidak hanya merupakan tanggung jawab Bawaslu, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK untuk menegakkan hukumnya, namun juga memerlukan peranan masyarakat. 


Masyarakat dapat berperan melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan politik uang termasuk melakukan pengawasan dan tidak terlibat dalam politik uang.


5. Faktor budaya


Faktor budaya juga merupakan faktor penting dalam penegakan hukum kasus politik uang. Mengenai budaya, politik uang jamak terjadi di banyak wilayah pedesaan di Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY. 


Di Bantul misalnya, politik uang untuk setiap suara masuk dikenal dengan istilah “bitingan”. Budaya politik transaksional ini cukup memengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan terbaiknya.


Terkait dengan faktor budaya saat ini, masih terjadinya politik uang disebabkan antara lain karena tidak adanya budaya malu, rendahnya moralitas pemberi dan penerima, tidak amanah, tidak jujur, dan sebagainya. 


Oleh sebab itu diperlukan adanya langkah-langkah perbaikan, antara lain penyadaran dan pembinaan moralitas bangsa, sehingga penyelenggaraan pemilu dapat berjalan dengan baik.


Sumber: Tempo

Penulis blog