'Peluang dan Tantangan Diskualifikasi Prabowo-Gibran di MK' - DEMOCRAZY News
CATATAN POLITIK

'Peluang dan Tantangan Diskualifikasi Prabowo-Gibran di MK'

DEMOCRAZY.ID
April 01, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Peluang dan Tantangan Diskualifikasi Prabowo-Gibran di MK'
'Peluang dan Tantangan Diskualifikasi Prabowo-Gibran di MK'


'Peluang dan Tantangan Diskualifikasi Prabowo-Gibran di MK'


Sidang perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) tahun 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) menarik perhatian publik.


Hal ini disebabkan banyak hal, antara lain adanya permintaan dalam permohonan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan pasangan calon nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang meminta untuk mendiskualifikasi paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI Tahun 2024.


Usulan lainnya adalah melakukan pemungutan suara ulang pada Pilpres 2024 tanpa menyertakan calon nomor urut 02.


Melalui petitum tersebut terdapat perdebatan serius oleh tim Advokat paslon 01, paslon 03 dengan tim Advokat paslon 02, serta publik hingga sejumlah pakar hukum.


Setidaknya terdapat dua pandangan ahli hukum terkait peluang pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres di MK.


Pendapat pertama, pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres tidak dapat dilakukan, karena tidak terdapat aturan yang secara tegas mengatur pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres. Pendapat tersebut seperti dinyatakan oleh Pakar Hukum Tata Negara Andi Asrun dan Margarito Kamis.


Pendapat kedua, pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres dapat dilakukan oleh MK apabila terbukti terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam pelaksanaan pemilu atau terdapat skandal etik dalam proses pencalonan. Pendapat ini seperti dikemukakan oleh Pakar Hukum Tata Negara Yance Arizona dan Titi Anggraini.


Perbedaan pandangan tersebut adalah lumrah dalam dunia akademis, tentu harus mempertanggungjawabkan alasan-alasan berdasarkan argumentasi kuat, baik secara normatif, teoritis dan sosiologis, bahkan filosofis.


Peluang


Dalam perspektif kajian ilmu hukum tata negara, terdapat optik hukum yang berbeda dalam melihat peristiwa hukum.


Optik hukum pertama adalah kajian peristiwa hukum apabila dilihat dari perspektif normatif hukum sesuai peraturan perundang-undangan. Sedangkan optik hukum kedua adalah kajian peristiwa hukum dengan mendasarkan pada perspektif hukum responsif.


Apabila dilihat dari optik hukum pertama, yaitu perspektif normatif, maka pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres hampir tidak mungkin. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak mengatur perihal pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres.


Alasan normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan inilah yang dijadikan dasar oleh pakar ataupun praktisi hukum dalam memberikan pandangannya mengenai ketidakmungkinan bagi Hakim Konstitusi untuk mendiskualifikasi paslon melalui putusannya.


Apabila menggunakan analisis yuridis, maka tepat pula apa yang telah disampaikan Advokat pasangan 02 bahwa pendiskualifikasian paslon tidak mungkin dilakukan.


Selain itu, apabila merujuk pada putusan-putusan sengketa hasil Pemilu 2004, 2009, 2014 dan 2019, MK tidak pernah memutus pendiskualifikasian calon dalam memutus sengketa hasil Pilpres.


Permintaan pemungutan suara ulang dengan atau tanpa mengikutsertakan Paslon nomor urut 02, jika menggunakan argumentasi normatif yuridis, maka tidak mungkin disetujui oleh MK.


MK tidak mungkin melampaui kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah membatasinya kewenangannya.


Kajian pada uraian di atas hanya mendasarkan kajian konteks peraturan perundang-undangan yang mengaturnya (statutory context). 


Pada penafsiran inilah hukum hanya dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau lebih dekat dengan kajian yuridis normatif yang pendekatannya lebih dekat dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach).


Kemudian apabila dilihat dari optik kajian kedua, yakni penafsiran hukum responsif, maka pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres sangat mungkin dilakukan oleh Hakim Konstitusi.


Argumen tersebut bukan tanpa dasar. Metode penafsiran hukum ini bertolak dari pandangan bahwa konstitusi harus responsif terhadap perkembangan masyarakat, kebutuhan sosial yang terus berkembang perlahan-lahan (evolving) dan gagasan-gagasan mendasar tentang keadilan.


Dengan berdasar pada pemikiran itulah, maka Hakim Konstitusi tidak mengharuskan adanya pijakan hukum normatif untuk memutus pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres.


Hakim Konstitusi dapat menafsirkan melalui bukti-bukti yang ada dengan menafsirkan secara luas berdasarkan hukum atau konstitusi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (living law) serta dengan didasarkan pada kebutuhan keadilan masyarakat.


Dengan demikian, pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres dapat dinilai sebagai terobosan hukum yang dapat memberikan jalan keluar atas kebutuhan rasa keadilan dengan berdasarkan azas penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.


Selain itu, Hakim Konstitusi dapat mendalilkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara rezim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan rezim Pilpres, sehingga dalil terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) sebagaimana sering kali digunakan dalam memeriksa, mengadili dan memutus sengketa hasil Pilkada seperti yang pernah terjadi pada perselisihan hasil pemilihan (PHP) di Yalimo, Boven Digoel dan Sabu Raijua dapat dijadikan sebagai dasar Yurisprudensi untuk memutus sengketa Pilpres.


Penafsiran tersebut dapat dikategorikan sebagai penafsiran doktrinal, yaitu penafsiran yang bertolak dari penerapan preseden atau mendasarkan pada putusan-putusan pengadilan sebelumnya.


Tidak hanya itu, Hakim Konstitusi dapat memperluas makna kejahatan kampanye, pelanggaran administratif pemilu atau tidak adanya transparansi dana kampanye sebagai bagian dari kategori pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang juga dapat dijadikan dasar sebagai pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres.


Hakim Konstitusi juga dapat menggunakan penafsiran etikal, yaitu penafsiran yang merujuk pada komitmen-komitmen moral atau ethos yang dituangkan dalam konstitusi.


Sehingga apabila ditemukan bukti-bukti berdasarkan argumentasi yang diajukan tidak sesuai dengan etika berkonstitusi dalam bernegara, maka juga dapat dijadikan dasar untuk mendiskualifikasi paslon dalam sengketa Pilpres.


Kedua optik itulah merupakan pilihan hukum terbuka bagi Hakim Konstitusi, apakah kecenderungannya menggunakan optik positivistik atau justru mengarah kepada penggunaan optik hukum responsif.


Tantangan


Kedua pilihan, baik optik hukum positivistik maupun optik hukum responsif bukan tanpa tantangan.


Apabila Hakim Konstitusi memilih optik hukum positivistik dalam memutus sengketa pilpres dengan menolak permohonan mendiskualifikasi paslon, maka Hakim Konstitusi akan dinilai oleh pihak Pemohon sebagai Hakim yang tidak mempertimbangkan keadilan karena hanya memperhatikan aspek formalitas dan prosedural semata.


Bahkan Hakim Konstitusi dapat dinilai kaca mata kuda dan tidak mempertimbangkan keadilan substantif dalam memutus.


Begitu juga apabila Hakim Konstitusi lebih mencondongkan pada optik hukum responsif dengan mengabulkan permohonan mendiskualifikasi paslon.


Hakim Konstitusi akan dinilai oleh Pihak Termohon dan Pihak Terkait tidak mencerminkan aspek keadilan karena dianggap telah keluar dari aturan yang telah digariskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pemilu. Selain itu akan dinilai pemborosan anggaran negara serta rentan terjadinya konflik sosial.


Kedua pilihan di atas sama-sama sulit yang harus dipilih oleh Hakim Konstitusi. Namun tentunya pilihan-pilihan sulit itulah harus diambil oleh Hakim Konstitusi, karena pada akhirnya tidak mungkin Hakim dapat memuaskan kedua belah pihak.


Kemerdekaan Hakim dalam memutus merupakan jaminan kebebasan sesuai dengan nilai yang diyakininya melalui penafsiran hukum yang dipilihnya. Walaupun putusan yang didasarkan pada penafsiran dan keyakinan demikian mungkin berlawanan dengan mereka yang mempunyai kekuasaan politik dan kewenangan administrasi.


Namun yang lebih penting dari itu, semoga persatuan dan kesatuan bangsa tetap menjadi tujuan kita bersama, sehingga siapapun dapat menerima dengan lapang dada apapun putusan MK kelak.


Sumber: Kompas

Penulis blog