'Sisi Kelam Indonesia Emas 2045' - DEMOCRAZY News
CATATAN

'Sisi Kelam Indonesia Emas 2045'

DEMOCRAZY.ID
Maret 30, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
'Sisi Kelam Indonesia Emas 2045'
'Sisi Kelam Indonesia Emas 2045'


'Sisi Kelam Indonesia Emas 2045'


INDONESIA Emas 2045 merupakan visi pemerintah yang ingin dicapai setiap kementerian dan lembaga. Sayang, masih banyak di antara mereka yang memiliki konsep berbeda dan belum terintegrasi. 


Sebut saja salah satunya Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) yang memiliki visi Indonesia sebagai pusat Peradaban Maritim Dunia pada 2045. Pertanyaannya, bagaimana dan mau dicapai dari mana visi itu? 


Pasalnya, tidak ada keberlanjutan pembangunan maritim selama ini. Jadi, rasanya wajar jika muncul berbagai pertanyaan dan kegamangan melihat kenyataan visi pemerintah yang lalu lalu bagaikan hilang bak mimpi di siang bolong. 


Visi Poros Maritim Dunia yang sempat dalam berbagai kesempatan digaungkan sangat menggelegar, tetapi tidak jelas peta jalan pembangunan negara maritim. 


Kalau hanya ingin menyetarakan harga semen sampai dengan Papua, mungkin tidak perlu visi menjadi poros maritim dunia. Bahkan, sampai sekarang kita tidak memiliki doktrin maritim Indonesia, strategi maritim Indonesia, dan strategi militer yang berbasis maritim. 


Negeri kepulauan terbesar di dunia ini justru tidak memiliki strategi keamanan maritim Indonesia. Oleh karena itu, karut-marut tata kelola penegakkan hukum di laut masih terus bergulir, bahkan makin hangat bak terpaan ombak dan badai dari lautan.


PROBLEMA


Presiden Joko Widodo pada pelantikan Kabakamla, 12 Maret 2020 (setkab.go.id), pernah menyampaikan bahwa dirinya berharap agar Badan Keamanan Laut (Bakamla) menjadi embrio coast guard-nya Indonesia. 


Dengan demikian, lembaga yang lain nanti kembali ke institusi masing-masing dan di laut kewenangan hanya Bakamla. 


Tiga tahun berselang dan hampir selesai kepemimpinan sang presiden, adakah yang berubah dengan tata kelola law enforcement di laut Indonesia? Yang ada justru geliat untuk memperkuat ego sektoral masing-masing. 


Mengembalikan kejayaan maritim bangsa ternyata tidak semudah berkata bahwa kita selama ini memunggungi Samudra. Namun, jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana mencetak sumber daya manusia (SDM) yang bernapas lautan dan berciri bahari sebagai cikal bakal kekuatan maritim bangsa. 


Teori A.T. Mahan mengatakan bahwa untuk membangun kekuatan maritim, diperlukan enam elemen karakter pendukung. 


Yakni, kedudukan geografi, bentuk tanah dan pantai, luas wilayah, jumlah penduduk yang turun ke laut, karakter nasional (penduduk), dan karakter pemerintah, termasuk lembaga-lembaga nasional. 


Masalahnya, apakah enam elemen tersebut masih kurang dengan negeri berpenghuni 280 juta orang ini? 


Sebuah negeri penggalan surga yang bidang kelautannya masih ditunggangi SDM berwatak kontinental yang kental akan praktik praktik korupsi, memperkaya diri sendiri, keluarga maupun kelompoknya, dan cenderung jauh dari konsep dasar berbangsa dan bernegara, yaitu gotong royong. 


Di sisi lain, pelaksanaan pembangunan maritim sebenarnya memerlukan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan. 


Dalam upaya mendorong pembangunan berkelanjutan (baca: ekonomi biru), sangat penting untuk memperkuat kapasitas negara dalam pengelolaan, pemanfaatan, dan inovasi sumber daya berbasis laut yang sustainable melalui ilmu pengetahuan, teknologi, dan transformasi digital seperti yang tercantum dalam national blue agenda actions partnership (NBAAP).


Untuk meraih Indonesia Emas pada sektor kelautan, kita harus meningkatkan kapasitas, mempromosikan inovasi dan memastikan inklusivitas gender dalam industri berbasis laut.


Fokusnnya pada mata pencaharian, pekerjaan, pendidikan, dan partisipasi yang adil bagi semua pemangku kepentingan demi mempertahankan persyaratan pembangunan ekonomi kelautan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia seutuh dan seadil-adilnya. 


Tanpa didukung komitmen yang kuat untuk membangun sektor kelautan, jangan heran jika upaya Indonesia untuk berbicara di level global menjadi kurang nyaring.


RAPUH SDM


Pembangunan SDM dalam menyongsong 2045 merupakan salah satu hal yang terpenting. Sebab, fondasi menuju ke sana harus dibangun dengan SDM yang berkualitas. Kualitas SDM yang tinggi akan berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan hidup dan pendapatan suatu daerah maupun wilayah. 


Mudahnya, ekonomi –termasuk perbaikan transportasi– akan terbangun seiring pembangunan manusianya. Berdasar indeks pembangunan manusia (IPM), bangsa Indonesia saat ini mengalami krisis kualitas SDM. IPM 2023 berada pada angka 73,55. 


Data itu menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam meningkatkan kualitas SDM. 


Terlepas dari kemajuan ekonomi, rendahnya IPM berkaitan erat dengan masalah fundamental dalam akses pendidikan, kesehatan, dan standar hidup yang layak bagi sebagian besar penduduk.


Posisi indonesia saat ini lebih rendah bila dibandingkan dengan Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Brunei Darussalm. Salah satu jalan peningkatan kualitas SDM adalah lewat perguruan tinggi. 


Negara-negara yang bisa dikatakan maju hari ini berangkat dari investasi jangka panjang pada sektor pendidikannya. Sebut saja Jepang pasca-Perang Dunia II dengan menyekolahkan putra-putri terbaiknya ke luar negeri. 


Finlandia dengan kebijakan pendidikan untuk semua (sebuah kebijakan yang dicanangkan sejak 2018) serta Korea Selatan dengan membenahi ekonomi dan akses pendidikan tingginya.


Penulis yang kini merupakan mahasiswa doktoral baru pada program pascasarjana Universitas Airlangga sudah melihat indikasi buruknya kultur akademik di berbagai kampus: sudah tidak lagi menjunjung tinggi tridharma perguruan tinggi. Yakni, pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 


Bukannya dijadikan tanggung jawab moral, melanjutkan pendidikan ke jenjang doktoral acap kali malah dijadikan sebagai syarat administrasi untuk memperlancar proses penyelesain belajar dan mendapatkan gelar. 


Penelitian maupun pengabdian yang dilakukan hanya formalitas. Ada joki dalam kuliah maupun dalam penugasan sehingga terciptalah onggokan-onggokan jurnal sampah yang masuk dan sarat akan pembiayaan. 


Nalar kritis mahasiswa rapuh dan mati dalam perkuliahan maupun dalam mengeluarkan ide-ide yang membangun dan tidak lagi dimaknai sebagai proses untuk meningkatkan ilmu pengetahuan. Namun, hanya pengantar lulus kuliah dan menuju dunia kerja. 


Membenahi SDM yang rapuh adalah kunci untuk mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia. Untuk menuju Indonesia Emas 2045, yang dibutuhkan bukan sekadar strategi pembangunan yang tepat, tetapi juga fondasi SDM yang kokoh. Bagaimana pendapat Anda?


Sumber: HarianDisway

Penulis blog