Menyambut Pilkada: 'Dinasti Politik dan Klientelisme' - DEMOCRAZY News
POLITIK

Menyambut Pilkada: 'Dinasti Politik dan Klientelisme'

DEMOCRAZY.ID
Maret 26, 2024
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Menyambut Pilkada: 'Dinasti Politik dan Klientelisme'

Menyambut Pilkada: 'Dinasti Politik dan Klientelisme'


DEMOCRAZY.ID - LINIMASA hajat demokrasi Indonesia masih akan berlanjut. Usai pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan parlemen (Pileg), masyarakat Indonesia akan segera menyambut pemimpin daerah (Pilkada) pada November 2024.


Sebagai pengingat, Terlepas dari kegembiraan dan euforia, demokrasi lokal menghadapi paradoks yang bukan lagi rahasia: dinasti politik dan klientelisme.


Lukman Hakim (2024) soroti kemunduran praktik demokrasi di Indonesia, khususnya di daerah. 


Otonomi daerah yang seharusnya mampu menjaga stabilitas demokrasi (dan demokratisasi), justru menghadapi kontradiksi: mulai dari terbentuknya elit lokal baru hingga munculnya dinasti politik yang tersebar di banyak wilayah di Indonesia.


Fenomena demikian menguatkan sinyalemen bahwa laju demokrasi Indonesia hingga saat ini masih beredar di poros prosedural–ketimbang substantif seperti yang dicita-citakan (Hakim, 2024).


Perspektif kritis tersebut diperkuat studi lain. Secara kasuistis, penelitian Yuliartiningsih dan Adrison (2022) terkait perhelatan Pilkada di rentang waktu 2017-2020, mengkontraskan eksistensi dinasti politik yang tersebar di banyak daerah di Indonesia.


Beberapa temuan penting dari studi ini, antara lain: pertama, dari total sebaran 508 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada di rentang waktu 2017-2020, terdapat 247 (48,6 persen) kabupaten/kota yang terindikasi muatan dinasti politik.


Kedua, persentase kemenangan kandidat dinasti politik di arena Pilkada sangat signifikan. Kesimpulan tersebut berbasis temuan pertarungan Pilkada di 170 dari 247 kabupaten/kota terindikasi dinasti politik (69 persen) berbuah kemenangan.


Fragmen realitas politik tersebut lebih dari cukup untuk memvalidasi keberadaan dinasti politik. Bahwa ia bukan rumor atau isapan jempol. Bukan pula anomali.


Alih-alih, dinasti politik semakin mapan berpola: dioperasikan dan dilegitimasi melalui arena elektoral. Tepat bila Prof. Siti Zuhro menyebutnya sebagai neo-patrimonial (Kompas, 2023). Politik keluarga gaya baru. ‘Rasa’ monarki di tengah konstruksi demokrasi.


Dinasti politik yang menjalar di banyak daerah di Indonesia berkait kelindan dengan praktik klientelisme.


Dalam skema elektoral, pelanggengan kekuasaan di lingkup keluarga tidak akan terjadi tanpa pemenuhan syarat-syarat prosedural.


Sekurang-kurangnya, ada dua syarat penting, yaitu (1) partai politik sebagai instrumen kontestasi politik dan (2) pemilih yang menentukan kemenangan di arena Pilkada.


Pola klientelisme yang mensyaratkan relasi patron-klien (tuan dan hamba: pen) terbentuk di dua aras tersebut. Pola relasi demikian tentu saja timpang dan semu.


Aktor dinasti mewakili pihak yang memiliki keberlimpahan: akses, modal, kuasa, dan lainnya. Sementara, aktor di luar pusaran dinasti mewakili pihak yang lemah dan subordinat.


Sehingga, ketimbang partisipatif, konsekuensi yang tercipta adalah relasi transaksional yang dimulai sejak awal. Transaksi itu bisa dalam bentuk beragam, entah distribusi jabatan, proyek, atau siraman uang untuk ‘membeli’ suara.


Pembangunan semu, korupsi, dan jerat kemiskinan


Sjaf (2024) menegaskan, kerugian terbesar dari situasi tersebut adalah hilangnya peluang tanggung-gugat terhadap kepala daerah.


Sebagai patron, kepala daerah yang merupakan produk dinasti politik akan percaya diri kebal kritik. Selama bisa memenuhi tuntutan klien, maka roda kekuasaan akan aman dan stabil.


Tanpa kadar tanggung-gugat dan partisipasi signifikan, maka pembangunan yang digerakkan kepala daerah potensional merupakan tafsir tunggal. Implikasinya, program dan kegiatan yang digulirkan Pemerintah Daerah rentan berujung pembangunan semu.


Jejak pembangunan semu tersebut dapat dilacak dari konteks ketidak-selarasan program dan/atau kegiatan Pemerintah Daerah dengan kebutuhan publik. Atau, justru manipulasi atau rekayasa program dan/atau kegiatan Pemerintah Daerah yang mengatasnamakan hajat publik (Sjaf, 2022).


Tidak mengherankan, daerah-daerah yang terkooptasi dinasti politik menjadi locus korupsi.


Beberapa kasus korupsi bermuatan dinasti politik yang sempat mencuat di ruang publik di antaranya Ratu Atut Chosiyah (Prov. Banten), Atty Suharty (Kota Cimahi), Rita Widyasari (Kutai Kartanegara), dan masih banyak lagi.


Kasus-kasus korupsi sistemik tersebut patut diposisikan sebagai pengingat: dinasti politik cenderung koruptif.


Secara keuangan, memang ada kerugian negara dari bocornya anggaran publik, baik akibat inefisiensi dan infektifitas maupun tindak korupsi.


Namun, ada hal yang lebih substansial dari itu, yaitu hilangnya kesempatan rakyat untuk meningkatkan taraf hidup–sebagai akibat aksi pembangunan yang tepat.


Sensitifitas demikian tidak akan ada dalam logika dan paradigma dinasti politik yang mengedepankan kalkulasi patron-klien.


Kemiskinan perlu ‘dirawat’ untuk menjaga kebersinambungan patronase. Peningkatan kesejahteraan justru membuat rakyat mandiri, sehingga tidak merasakan kontribusi patron (Yuliartiningsih & Adrison, 2022).


Menutup artikel ini, suatu waktu Goenawan Mohammad (2011) menulis, “anti-virus demokrasi bisa ditemukan, tetapi akan selalu ada virus baru. Demokrasi itu kerja dan komitmen yang tak bisa berhenti.”


Dinasti politik, saya yakin, adalah virus demokrasi yang telah dan sedang kita hadapi.


September nanti, jadwal dimulainya kampanye, Pilkada akan kembali kita sambut. Kita punya kesempatan untuk membalas dan menyudahinya. Tentu dengan syarat: menolak dan lawan!


Sumber: Kompas

Penulis blog