'Kecurangan TSM Pemilu Pilpres Mulai Dirancang oleh Jokowi dan Kawan-Kawan Sejak Tahun 2014' - DEMOCRAZY News
CATATAN POLITIK

'Kecurangan TSM Pemilu Pilpres Mulai Dirancang oleh Jokowi dan Kawan-Kawan Sejak Tahun 2014'

DEMOCRAZY.ID
Maret 19, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Kecurangan TSM Pemilu Pilpres Mulai Dirancang oleh Jokowi dan Kawan-Kawan Sejak Tahun 2014'
'Kecurangan TSM Pemilu Pilpres Mulai Dirancang oleh Jokowi dan Kawan-Kawan Sejak Tahun 2014'


'Kecurangan TSM Pemilu Pilpres Mulai Dirancang oleh Jokowi dan Kawan-Kawan Sejak Tahun 2014'


Oleh: Damai Hari Lubis

Ketua Bidang Hukum DPP. KWRI

Komite Wartawan Reformasi Indonesia


Dari sudut pandang politik hukum, kecurangan dalam Pemilu Pileg dan Pilpres tahun 2019 dan 2024 dapat ditelusuri kembali hingga tahun 2017. 


Dalam periode tersebut, semua eksekutif tertinggi dan anggota parlemen terlibat, walaupun beberapa di antaranya mungkin karena ketidaktahuan atau keterbatasan ilmu, sehingga mereka menyetujui dan menandatangani tanpa memahami sepenuhnya implikasinya.


Selebihnya, tindakan tersebut dilakukan dengan sengaja dan terencana, atau dengan kata lain, termasuk dalam kategori dolus premeditatus atau TSM.


Titik awal dari rencana kecurangan atau persekongkolan tersebut dapat ditelusuri kembali ke masa pemerintahan Jokowi, yang terpilih pada tahun 2014, dan secara khusus terkait dengan Undang-Undang Pemilu yang disahkan pada tahun 2017.


Fasilitasi legalitas untuk Jokowi dalam mencalonkan diri pada tahun 2019 dan 2024 dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan rekan-rekannya di lembaga legislatif melalui pasal 299, bersama dengan pasal 281 dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.


Hingga saat ini, publik masih belum mendapatkan informasi apakah Presiden Jokowi telah menerima Surat Penetapan untuk berkampanye dari KPU RI. 


Berdasarkan proses yang telah dijelaskan, surat izin rekomendasi khusus dari Presiden Joko Widodo, melalui persyaratan “muter-muter”, menjadi syarat bagi mereka yang ingin melakukan kampanye. 


Mereka harus menjalankan cuti dan jadwal cuti kampanye yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo, yang kemudian disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada KPU maksimal 7 hari kerja sebelum pelaksanaan kampanye oleh Presiden Jokowi.


Namun, bagi para anggota parlemen yang terlalu lengah atau bodoh, yang dengan seenaknya menyetujui Undang-Undang tentang Pemilu, sebenarnya tidak layak untuk dipilih sebagai wakil rakyat yang mewakili kepentingan publik. Mungkin saja keberadaan mereka di parlemen tidak terlepas dari alasan tertentu.


Karena tindakan yang tidak jujur tersebut, yang dimulai dari anggota parlemen di Komisi 2 yang seharusnya bertanggung jawab atas isu-isu terkait pemilu, manipulasi terhadap Undang-Undang Pemilu dapat dianggap sebagai inisiasi besar yang berasal dari mereka dan Presiden RI, Jokowi, sebagai pelaku utama dolus. 


Sementara itu, bagi mereka yang tidak memahami hukum atau yang terlalu bodoh untuk menyadari konsekuensi tindakan mereka, dapat dianggap sebagai otak licik atau bahkan disebut sebagai para bajingan bangsat bangsa.


Mengapa para anggota parlemen yang terlibat dalam tindakan ini disebut dengan perumpamaan tersebut? 


Hal ini disebabkan karena tindakan mereka telah merugikan kepentingan rakyat secara langsung. 


Mereka yang seharusnya menjadi perwakilan rakyat yang jujur dan bertanggung jawab, justru menggunakan posisi dan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tanpa memperhitungkan akibatnya bagi masyarakat luas. 


Sehingga, perumpamaan tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan terhadap perilaku yang tidak bermoral dan merugikan tersebut.


Pertama, sebagai individu yang seharusnya memiliki kecerdasan intelektual, mereka seharusnya memahami sepenuhnya isi sumpah presiden yang menegaskan komitmen untuk bertindak secara adil dan memegang teguh konstitusi serta menjalankan undang-undang dengan sebaik-baiknya. 


Sumpah tersebut menegaskan kewajiban untuk berbakti kepada negara dan bangsa, yang secara filosofis berarti bertindak dengan keadilan terhadap semua warga negara.


Kedua, sebelum mereka menjabat sebagai anggota parlemen di DPR RI, dapat dipastikan bahwa mereka telah melewati pendidikan formal di sekolah dasar (SD) dan menengah pertama (SMP). 


Sebelum mendapatkan ijazah terakhir mereka, baik itu dari SMA, S1, S2, atau S3, mereka pastinya telah mempelajari Pancasila, yang merupakan dasar ideologi negara Indonesia. 


Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa mereka memiliki pemahaman tentang makna dari setiap Sila dalam Pancasila, termasuk Sila ke-5 yang menegaskan pentingnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Dengan demikian, sebagai wakil rakyat yang telah mengucapkan sumpah untuk bertindak adil dan memegang teguh nilai-nilai Pancasila, termasuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat, mereka seharusnya bertindak sesuai dengan nilai-nilai tersebut dalam setiap keputusan dan tindakan mereka di parlemen. 


Menegakkan keadilan bagi semua warga negara seharusnya menjadi prinsip yang mereka anut dan terapkan dalam menjalankan tugas mereka sebagai anggota legislatif.


Keadilan sejati tidak boleh dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok tertentu yang terhubung erat dengan pejabat penyelenggara negara. 


Ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap warga negara, terutama oleh para pejabat publik, baik di eksekutif maupun legislatif.


Ketiga, sebagai wakil rakyat yang telah mengucapkan sumpah untuk mematuhi Pancasila sebagai sumber hukum nasional, mereka seharusnya menghormati dan mematuhi nilai-nilai Pancasila. 


Pancasila tidak boleh dilanggar oleh siapapun, termasuk oleh para pejabat yang terpilih untuk mewakili kepentingan rakyat. 


Oleh karena itu, setiap tindakan atau kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila tidak dapat dibenarkan.


Kecurangan dalam pemilu dan pilpres seharusnya tidak pernah direncanakan atau didukung oleh siapapun, terutama oleh penyelenggara negara tertinggi seperti Presiden Jokowi dan para pejabat terkait. 


Tindakan tersebut tidak hanya melanggar prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga merusak fondasi negara yang didasarkan pada keadilan dan supremasi hukum. 


Oleh karena itu, upaya untuk merancang kecurangan dalam pemilu dan pilpres harus ditentang dengan tegas demi menjaga integritas dan legitimasi proses demokratis di Indonesia. ***

Penulis blog