Pernyataan Prof Koentjoro: Lahirnya Petisi Bulaksumur UGM, Jokowi Mencla-Mencle, Tak Rela Dibodohi, Apa Langkah Selanjutnya? - DEMOCRAZY News
POLITIK

Pernyataan Prof Koentjoro: Lahirnya Petisi Bulaksumur UGM, Jokowi Mencla-Mencle, Tak Rela Dibodohi, Apa Langkah Selanjutnya?

DEMOCRAZY.ID
Februari 07, 2024
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Pernyataan Prof Koentjoro: Lahirnya Petisi Bulaksumur UGM, Jokowi Mencla-Mencle, Tak Rela Dibodohi, Apa Langkah Selanjutnya?

Pernyataan Prof Koentjoro: Lahirnya Petisi Bulaksumur UGM, Jokowi Mencla-Mencle, Tak Rela Dibodohi, Apa Langkah Selanjutnya?


DEMOCRAZY.ID - Petisi Bulaksumur merupakan bentuk gerakan moral dipicu kekhawatiran dan keprihatinan situasi demokrasi dan politik Indonesia menuju Pemilu 2024. 


Petisi ini dibacakan Ketua Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Koentjoro, pada Rabu, 31 Januari 2024 di Balairung UGM, Yogyakarta. 


Sebagai Guru Besar Fakultas Psikologi bersama guru besar dan sivitas akademika UGM lainnya. 


Setelah UGM, beberapa kampus di Indonesia pun ikut turun menanggapi terkikisnya demokrasi saat ini, seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Islam Indonesia (UII), dan Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Airloangga (Unair), Universitas Andalas (Unand), Institit Teknologi bandung (ITB) dan puluhan lainnya.


Namun, gerakan kampus dari guru besar dan sivitas akademika mengkritik sikap Jokowi sebagai pemimpin negara tidak diterima semua pihak. 


Beberapa pihak mengatakan petisi atau gerakan dari kampus ini merupakan partisan atau hanya untuk kepentingan elektoral.


“Kita (guru besar) dituduh partisan, tetapi yang menuduh tidak bisa menunjukkan bukti bahwa ini partisan. Di UGM, ada 250 guru besar yang hadir, tetapi dikatakan partisan. Padahal, tugas guru besar untuk menjaga moralitas dan demokrasi. Kita sebagai Guru Besar UGM salah, jika di UGM ada pelanggaran etik, tetapi malah mendiamkan. Saya marah besar ketika ada yang menyinggung tugas guru besar,” kata guru besar Fakultas Psikologi UGM itu.


Melalui ruang pertemuan secara daring, pada Senin sore, 5 Februari 2024, Prof Koentjoro Kepada Rachel Farahdiba Regar dari Tempo.co, menjelaskan mengenai lahirnya Petisi Bulaksumur sampai kondisi publik setelah pembacaan petisi tersebut. 


Pasalnya, tanggapan publik yang tidak tepat terkait Petisi Bulaksumur UGM dan kampus-kampus lainnya membuat Prof Koentjoro dan guru besar lain merasa direndahkan. Berikut kutipan wawancaranya: 


Bagaimana gagasan dan proses awal terbentuknya Petisi Bulaksumur UGM? 


Tindakan Jokowi yang merupakan alumnus UGM semakin lama semakin membahayakan. Jokowi mencla-mencle yang dapat dilihat dari keterlibatan putra sulungnya dalam Pilpres 2024 sampai masalah kampanye. 


Tindakan yang dilakukan Jokowi ini cenderung menabrak etika yang memberikan tahta pada keadilan. Sikap mencla-mencle ini juga kerap diperbincangkan dosen secara personal. Selain itu, Ketua BEM UGM, Gielbran M. Noor juga telah menganugerahi “Alumnus UGM paling Memalukan” kepada Jokowi. 


Melihat Jokowi yang tidak kunjung berubah, Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM menginisiasi petisi. Pada 31 Januari 2024, pukul 13.00-15.00 WIB, guru besar dan sivitas akademika UGM menyelenggarakan diskusi di Balai Senat yang dihadiri Ketua PSP, eks Rektor UGM, dan petinggi Wali Amanat. 


Terdapat 7 pembicara dengan makna pitulungan yang berarti pertolongan dan 6 penanggap. Mereka memiliki pandangan yang sama terkait rasa adil. 


Apa urgensi utama dari petisi ini?


Urgensi dari petisi ini memiliki dua hal yang utama. Pertama, mengingatkan kepada Jokowi sebagai alumnus UGM agar kembali mewujudkan nilai-nilai dan jati diri UGM.


Kedua, meminta Jokowi untuk segera kembali kepada demokrasi Pancasila. Setelah membacakan, hymne UGM pun dinyanyikan agar mengingatkan untuk kembali ke demokrasi Pancasila. 


Siapa saja yang ikut menggagas Petisi Bulaksumur UGM? 


Profesor banyak. Jumlah semua yang hadir ketika perumusan petisi bulaksumur UGM sekitar 250 orang. Kita tidak mungkin mengarahkan 250 profesor untuk melakukan sesuatu hal, jika bukan dari dirinya sendiri. 


Pihak Rektorat UGM sebut Petisi Bulaksumur bukan atas nama kelembagaan.


Petisi ini memang bukan kelembagaan. Sebab, UGM sebagai lembaga tidak mungkin mengungkapkan pendapat. Manusia yang berada di dalamnya yang bisa bersikap. Sivitas akademika UGM yang bersuara. Kalimat yang menyatakan petisi bukan kelembagaan perlu dipahami maknanya. 


Petisi ini juga tidak berhubungan dengan rektor. Petisi ini ditujukan sesama alumnus UGM, bukan sesama mahasiswa UGM. Alumnus udah lulus sehingga tidak ada hubungan. 


Petisi ini pun resmi diselenggarakan oleh PSP, didiskusikan di Balai Senat UGM yang tidak bisa dimasuki sembarangan orang, dan dideklarasikan di Balairung UGM.


Seberapa jauh keprihatinan terhadap situasi demokrasi saat ini sampai lahir Petisi Bulaksumur?


Demokrasi saat ini sangat memprihatinkan, dapat dilihat dari dua kejadian utama. Pertama, Jokowi mencla-mencle yang seharusnya sebagai pemimpin negara dari Solo perlu memegang teguh budaya Jawa. Jokowi seharusnya memegang sabdo pandito ratu yang berarti ucapan kepala negara tidak boleh mencla-mencle. 


Kedua, Jokowi harus menyadari bahwa kasus Gibran sah secara hukum, tetapi cacat etika. Tindakan ini semakin menunjukkan bahwa Jokowi melakukan pembelaan yang salah. Bahkan, sudah melakukan tindakan pembodohan. Menurut ilmu psikologi, orang yang berbohong cenderung mempertahankan kebohongannya untuk menjaga marwahnya. 


Keputusan tersebut cenderung dibenarkan yang berakhir menjadi kenyataan salah, seperti terwujud dalam pernyataan presiden boleh memihak dan berkampanye serta masalah bantuan sosial (bansos). 


Petisi Bulaksumur menjadi salah satu pencetus gerakan moral di banyak perguruan tinggi lainnya, Bagaimana tanggapannya?


Sangat bersyukur lantaran kampus lain menangkap pesan yang disuarakan. Pihak UGM tidak memberikan pengaruh dan kuasa kepada kampus lain untuk membuat petisi terkait demokrasi saat ini.


Jika terpengaruh, kampus lain juga memiliki kesamaan rasa. Salah satu rasa tersebut adalah etika. Dorongan kuat kami (para guru besar) untuk menulis ini adalah permasalahan etika yang tidak terperhatikan oleh Jokowi sehingga sangat mengkhawatirkan. Jika Jokowi tidak berubah, cacat etika akan terjadi dalam demokrasi. 


Setelah Petisi Bulaksumur, ada yang menuduh gerakan ini partisan dan hanya untuk kepentingan elektoral.


Sama sekali tidak benar. Saya marah ketika ada pihak yang menyudutkan guru besar merupakan partisan. Itu menghina tugas guru besar. Sebab, guru besar adalah pemikir bangsa yang bertugas menjaga moralitas dan demokrasi. Ironisnya, pihak yang menuduh partisan tidak bisa menunjukkan bukti konkret.  


Di UGM ada 250 guru besar yang hadir berdiskusi tentang petisi yang sudah menjadi tugasnya. Semua penggagas petisi merupakan pihak UGM. Selain Jokowi, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang sedang berkontestasi dalam Pemilu 2024 juga alumnus UGM. 


Tidak ada kepentingan elektoral yang harus dibela. Jika di UGM ada pelanggaran etik, guru besar salah ketika hanya mendiamkan saja. 


Guru Besar UGM hanya mengingatkan dengan cara yang baik, tetapi mereka malah dituduh seperti itu. UGM memandang Jokowi bukan sebagai orang lain, melainkan sebagai saudara dan kakak atau adik yang diingatkan untuk kembali ke demokrasi Pancasila. 


Apakah ada intimidasi usai membacakan petisi ini? 


Secara pribadi sampai sekarang, saya tidak mendapatkan intimidasi. Petisi ini diniatkan dengan baik tanpa rasa benci. Saya juga tidak takut diintimidasi karena tidak berbuat salah. Namun, kami banyak dituduh sebagai orang PKS karena berjenggot. 


Selain itu, dikatakan sebagai orang yang berpihak kepada Ganjar. Sebetulnya, lebih berpihak kepada Jokowi sehingga diingatkan melalui petisi agar tidak salah lebih jauh. 


Sebagai pembaca Petisi Bulaksumur, saya berpesan kepada publik harus membaca regulasi secara jelas dan bijak karena perang media sosial yang panas sedang terjadi. Selain itu, kepada tim sukses, saya mengimbau untuk membuat penjelasan yang tidak membodohi masyarakat.


Sebab, Jokowi melakukan pembodohan terkait penjelasan presiden boleh memihak berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Jokowi hanya menjelaskan aturan sepotong-potong pasal saja. 


Padahal, harus dilihat sebagai rangkaian yang tidak dipotong-potong. Tindakan ini pembodohan masyarakat dan saya tidak rela dibodohi.


Setelah Petisi Bulaksumur, apa langkah selanjutnya?


Langkah selanjutnya sesuai kondisi masa depan, tetapi tetap mengutamakan nilai ke-UGM-an. Saat ada yang mencoreng nama baik UGM, kita harus melakukan gerakan lagi untuk mengharumkan nama baik kampus. Namun, jika bukan atas nama UGM, saya ingin menuntut persatuan setelah Pemilu selesai agar terbentuk kerukunan sebagai bangsa Indonesia.


Sumber: Tempo

Penulis blog