'Ironi di Balik Ambisi Susu Gratis Prabowo' - DEMOCRAZY News
Beranda
CATATAN
EKBIS
HOT NEWS
POLITIK
'Ironi di Balik Ambisi Susu Gratis Prabowo'


'Ironi di Balik Ambisi Susu Gratis Prabowo'


Prabowo Subianto punya program andalan yang sudah sejak lama ia usung: susu gratis untuk anak sekolah. Dulu, program ini ia sebut Revolusi Putih—mengacu pada warna susu yang putih. Kini, ia sebut Gerakan Emas (emak-emak dan anak minum susu), dengan tambahan makan siang gratis.


Program makan siang dan susu gratis itu menurut Prabowo butuh dana Rp 400-an triliun—hampir setara dengan nilai proyek IKN Nusantara yang Rp 466 triliun. Namun, Prabowo yakin anggaran bukan halangan. Ada dana pendidikan dan bansos yang bisa direalokasi. Timsesnya juga berkata, ada “celengan rahasia” yang bisa digunakan sebagai sumber pendanaan baru.


Di sisi lain, program susu gratis malah bikin ketar-ketir peternak sapi domestik. Mereka khawatir kebijakan ini bakal menguntungkan peternak sapi Selandia Baru atau Australia alih-alih peternak lokal. Sebab, selama ini Gibran terlihat sibuk membagi-bagikan susu kemasan UHT, bukan susu segar pasteurisasi. Apalagi 80% bahan baku susu di Indonesia sebetulnya adalah hasil impor.


***

Gibran Rakabuming Raka memperkenalkan program bagi-bagi susu dan makan siang gratis untuk anak-anak di hadapan para pendukungnya di Sentul International Convention Center (SICC). Ini adalah program andalan Prabowo Subianto dan Gibran dalam menggaet suara di Pilpres 2024.


Menurut Gibran, program susu gratis sudah diberlakukan di 76 negara dan dirasakan manfaatnya oleh lebih dari 400 juta anak.


“Ini gagasan konkret. Bukan teori, bukan retorika. Jadi kita harap ke depan tidak ada lagi anak-anak kelaparan. Yang di Jakarta, yang di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, semua mendapatkan hak yang sama, gizi yang sama,” ujar Gibran dalam konsolidasi pemenangannya, Minggu (10/12).


Prabowo-Gibran mencantumkan janji susu gratis sebagai program prioritas dalam fondasi mencapai Indonesia Emas 2045.


“Memberi makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren, serta bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil.” - Butir 1 dalam 8 Program Hasil Terbaik Cepat Prabowo-Gibran


Program tersebut dinomorsatukan untuk mengatasi stunting, yakni tinggi badan di bawah standar (pendek) pada anak akibat asupan nutrisi yang tak memadai atau infeksi kronis. Stunting sejak dulu juga acap disebut Megawati Soekarnoputri dalam pidato-pidatonya.


Dalam deskripsi program makan siang dan susu gratis oleh Prabowo-Gibran, disebutkan bahwa stunting adalah masalah konkret dan mendesak yang harus ditangani secara langsung, segera, dan massal oleh pemerintah untuk memastikan kualitas hidup yang baik.


Sebelum memperkenalkan program susu gratis dalam konsolidasi pemenangannya, Gibran telah membagikan susu gratis kepada warga di berbagai tempat, salah satunya saat Car Free Day (CFD) di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (3/12).


Sedianya, menurut Pergub DKI Jakarta 12/2016, CFD tak boleh digunakan untuk kepentingan politik, termasuk kampanye. Namun, Gibran berkilah. Ia mengatakan tak membawa alat peraga kampanye saat membagikan susu di CFD. Bawaslu pun kemudian menganggap itu bukan pelanggaran pidana pemilu.


Susu Jadi Janji Prabowo Sejak Pilpres 2009


Program susu gratis merupakan janji kampanye yang selalu digaungkan Prabowo sejak kali pertama ikut kontestasi pilpres pada tahun 2009.


Pada Pilpres 2009 ketika menjadi cawapres berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri sebagai capres, Prabowo menjanjikan susu gratis untuk anak-anak miskin melalui gerakan Revolusi Putih.


Revolusi Putih kembali menjadi janji Prabowo saat maju sebagai capres bersama Hatta Rajasa di Pilpres 2014. Begitu pula pada Pilpres 2019 ketika ia maju bersama Sandiaga Uno. Namun, ketika itu jargon Revolusi Putih bersalin nama menjadi Gerakan Emas.


Kini, pada Pilpres 2014, Prabowo pun mengusung Gerakan Emas sebagai program andalan. Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran menyatakan, susu gratis akan diberikan bertahap kepada total 82,9 juta orang pada 2029. Penerimanya terdiri dari anak-anak usia dini, murid SD sampai SMA/SMK, santri, dan ibu hamil.


80% Bahan Baku Susu Masih Impor


Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Nanang Purus Subendro menyambut baik bila program susu gratis benar-benar terealisasi. Begitu pula pengelola Peternakan dan Eduwisata Cibugary, Rahmat Al Baghory.


Program susu gratis otomatis bakal meningkatkan konsumsi susu di Indonesia yang saat ini baru di kisaran 16,27 kg per orang per tahun. Angka ini di bawah Malaysia yang tiap tahunnya mencapai 50 kg per orang. Bahkan, tingkat konsumsi susu di Indonesia berada di batas bawah Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), yakni 30 kg per kapita per tahun.


“Dengan adanya peluang pangsa pasar susu di mana anak-anak sekolah setiap hari minum susu, ini akan menggairahkan para peternak sapi perah di seluruh Indonesia,” ujar Rahmat di peternakannya di kawasan Pondok Rangon, Jakarta Timur, Rabu (27/12).


Namun demikian, janji susu gratis Prabowo bergaung di tengah ironi bahwa 80% bahan baku susu yang beredar di Indonesia adalah hasil impor. Dari kebutuhan susu di Indonesia yang sekitar 4,4 juta ton per tahun, produksi susu segar dalam negeri (SSDN) tak sampai 1 juta ton. Persisnya hanya 968 ribu ton, sedangkan sisanya harus diimpor—mayoritas dari Australia dan Selandia Baru.


Kondisi tersebut telah terjadi bertahun-tahun. Alhasil, program susu gratis dikhawatirkan justru menguntungkan importir dan peternak asing. Indikasinya terlihat dari gelagat Tim Prabowo-Gibran yang kerap bagi-bagi susu kemasan ultra high temperature (UHT), bukan susu segar pasteurisasi.


“Kalau susu segar dari peternak lokal akan bagus sekali. [Tapi kalau susu UHT] hampir pasti dari luar (impor),” kata Nanang.


Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, program susu gratis yang meningkatkan impor bertolak belakang dengan konsep nasionalisme ekonomi yang selama ini diusung Prabowo. Sebab, alih-alih mengurangi ketergantungan impor, kebijakan itu justru akan mengarah pada bertambahnya beban impor.


“Impor pasti akan meningkat karena kebutuhan domestik tanpa program susu gratis pun sudah cukup berat dipenuhi produsen domestik. Jadi, program ini menguntungkan para peternak sapi di Selandia Baru, Australia, dan negara-negara lain,” ujar Bhima.


Menghidupkan Peternakan Domestik


Pengamat peternakan Universitas Padjadjaran Rochadi Tawaf menghitung, program susu gratis sedikitnya membutuhkan tambahan sekitar 130 juta liter atau 130 ribu ton susu per tahun. Jumlah itu pun hanya mencakup murid SD sejumlah 24 juta orang, dengan pemberian susu sebanyak 100 ml per anak seminggu sekali.


Rochadi menilai, kebutuhan tambahan itu sulit dipenuhi peternak sapi perah lokal jika tidak ada intervensi pemerintah. Oleh sebab itu, perlu sejumlah aturan untuk menggairahkan peternakan dalam negeri.


Pertama, menurut Rochadi, menerbitkan Peraturan Presiden yang mengatur persusuan nasional. Kedua, menetapkan aturan bahwa 50% susu gratis yang dibagikan harus berasal dari peternak dalam negeri atau produksi susu segar dalam negeri, dengan harga beli yang menarik. Aturan ini diyakini mampu meningkatkan produksi SSDN dan jumlah peternak dalam negeri.


“Susu [gratis untuk anak] sekolah harus 50% menggunakan produk peternak lokal sehingga ada kepastian pasar. Efeknya ke [peningkatan] jumlah peternak,” jelas Rochadi.


Peningkatan peternak sapi perah lokal jadi penting karena saat ini jumlahnya semakin menyusut. Indikasi profesi peternak sapi makin ditinggalkan terlihat dari jumlah koperasi susu sapi perah yang berkurang drastis.


Ketua Dewan Persusuan Nasional, Teguh Boediyana, mengatakan koperasi susu sapi lima tahun lalu masih berjumlah 90-an, namun kini hanya tersisa 55. Hal ini diamini Rahmat Al Baghory yang menyebut bahwa jumlah peternak sapi perah, khususnya di Jakarta, merosot drastis. Bila dahulu di era 1980 mencapai 2.000 peternak, kini hanya tersisa 20 peternak!


Lebih lanjut, Rochadi mengusulkan perlunya susu sapi masuk dalam aturan soal Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, serta program Pemberian Makanan Tambahan bagi Anak Sekolah (PMT-AS).


Teguh sependapat dengan usulan perlunya aturan setingkat presiden terkait persusuan nasional seperti yang pernah diterbitkan di era Presiden Soeharto. Kala itu, ada Surat Keputusan Bersama antara tiga menteri (Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian, serta Menteri Pertanian) yang diteken pada 1982. SKB itu diperkuat Soeharto dengan Instruksi Presiden Nomor 2/1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional.


Dua aturan tersebut bertujuan melindungi peternakan sapi perah dalam negeri. Salah satu kebijakan itu menetapkan jumlah produksi dalam negeri yang wajib diserap oleh industri susu, sesuai dengan proyeksi produksi dan kebutuhan masyarakat pada tahun tersebut, yang dibuktikan dengan bukti serap.


Hasilnya, rasio impor susu dan produksi SSDN mencapai 50%-50% pada 1995. Padahal tahun 1970–1980an, rasio impor susu mencapai 95% sedangkan SSDN hanya 5%.


Sayangnya, saat krisis ekonomi melanda pada 1998, atas tekanan Dana Moneter Internasional (IMF), pemerintah Indonesia mencabut SKB maupun Inpres tersebut. Alhasil, hingga kini, tak ada lagi proteksi bagi peternak sapi perah dalam negeri.


“Kami tidak pernah berhenti menuntut pemerintah agar mengeluarkan kebijakan minimal selevel keppres/inpres supaya ada jaminan usaha untuk rakyat, juga iklim yang kondusif untuk peternakan sapi perah. Kalau perlu, bukti serap dihidupkan lagi. Kalau Jokowi berani menyetop ekspor nikel dan berani melawan WTO soal sawit, apa susahnya dengan [sapi perah] ini?” kata Teguh.


Menyediakan Indukan Sapi Perah


Pengembangan peternakan dalam negeri untuk menopang program susu gratis juga perlu dibarengi dengan penyediaan indukan sapi perah, sebab populasi sapi perah saat ini tak memadai. Banyak sapi telah terjangkit penyakit mulut dan kuku (PMK).


“Sapi yang terkena PMK dan sembuh, ambing untuk produksi susunya banyak yang mengalami kerusakan permanen, tidak bisa pulih lagi. Tadinya bisa memproduksi 10 liter per hari, sekarang 7 liter per hari saja sudah bagus sekali,” ucap Nanang.


Menurut data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, jumlah sapi perah di Indonesia mencapai 592.897 ekor. Namun, jumlah itu dianggap kurang sesuai karena sapi perah jantan yang tidak menghasilkan susu juga ikut dihitung. Populasi yang sebenarnya diperkirakan 300 ribuan ekor.


April 2023, Kemenperin sempat berniat mengimpor 16.000 sapi perah holstein dari Belanda. Namun rencana itu menguap.


Nanang dan Rahmat berharap, bantuan sapi perah (bila ada) disertai dengan pinjaman lunak atau subsidi. Ketua Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Dedi Setiadi, berpendapat besaran subsidi yang diperlukan sekitar 50% dari harga sapi perah impor senilai Rp 40–50 juta.


“Harus ada kebijakan pemerintah untuk menyubsidi sehingga rakyat bisa membeli sapi impor dengan harga nasional. Sapi perah rakyat di Indonesia saat ini harganya Rp 20–25 juta,” ucap Dedi.


Rochadi berpandangan, dengan kebutuhan tambahan 130 juta liter susu per tahun, butuh pengadaan sekitar 75.000 sapi perah yang disertai pendampingan. Apabila harga sapi perah impor Rp 40 juta, diperlukan anggaran Rp 3 triliun untuk pengadaan 75.000 sapi perah.


“Tapi dari mana asal sapinya? Enggak mungkin dapat dari Australia, New Zealand, atau Amerika Serikat dengan situasi penyakit [sapi di Indonesia] sekarang—ada PMK dan LSD (lumpy skin disease/cacar sapi)” kata Rochadi.


Berikutnya, Dedi mengusulkan perlunya kebijakan lahan untuk pakan sapi, sebab saat ini sekitar 70% peternak tidak punya lahan rumput untuk pakan sehingga harus menyabit rumput ke hutan/kebun teh, atau membeli rumput dari petani rumput. Sementara itu, 20% peternak punya lahan tapi tidak mencukupi. Hanya 10% sisanya yang punya lahan pakan mencukupi.


Dedi kemudian merujuk kebijakan di Belanda yang mengatur 1 hektare lahan diperuntukkan bagi 2 ekor sapi. Setidaknya, menurut Dedi, Indonesia mencoba menerapkan kebijakan 1 hektare lahan untuk 15 ekor sapi.


“Kalau mau menambah produktivitas, perlu menambah kebijakan lahan. Banyak lahan Perhutani yang bisa digunakan peternak dengan sistem sharing (bagi hasil), bukan gratis. Harus ada kebijakan langsung dari Presiden sehingga [lahan itu] bisa digunakan peternak sapi perah lokal,” jelas Dedi.


Terhadap berbagai kekhawatiran dan usulan itu, anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo, menyatakan capresnya berkomitmen memprioritaskan produksi susu dari peternak lokal sekaligus mengembangkan peternakan sapi perah. Meski demikian, untuk memenuhi kebutuhan susu gratis, impor tak bisa dihindari.


“Menggenjot produksi sapi perah perlu waktu, sehingga tahun-tahun awal—mau tidak mau—harus ada [susu] yang diimpor,” kata Dradjad.


Soal teknis distribusi susu di tiap daerah apakah menggunakan susu segar pasteurisasi atau susu kemasan UHT, Dradjad menyebut akan menyesuaikan dengan kondisi setempat.


“Mungkin kalau daerahnya jauh, susah bawa susu segar, akan didesentralisasikan, dikelola dinas pendidikan setempat atau dinas terkait,” ucapnya.


Susu segar memiliki kandungan nutrusi lebih tinggi dari UHT, namun susu UHT lebih tahan lama.


Bagaimanapun, Ketua Umum PPSKI Nanang Subendro berpendapat, kebijakan susu gratis kurang realistis di tengah kondisi peternakan sapi perah yang menyusut saat ini, dan ketiadaan proteksi bagi peternak sapi lokal.


“Tidak mudah untuk dijalankan. Kenaikan permintaan susu akan dinikmati produsen luar negeri dan importir, dan tidak langsung diminati peternak sapi domestik karena mereka tidak akan bisa menggenjot produksi imbas sebagian besar sapinya terpapar PMK,” kata Nanang.


Anggaran Susu dari “Celengan Rahasia”


Dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia pada 8 November 2023, Prabowo menyebut anggaran yang dibutuhkan untuk susu gratis dan makan gratis sekitar Rp 400 triliun. Secara implisit, Prabowo menyebut anggaran itu bisa dipenuhi dari dana pendidikan Rp 660 triliun dan dana bansos Rp 493 triliun di APBN 2024.


“[Dana] pendidikan Rp 660 triliun. Kalau makan siang untuk anak sekolah, saya tanya, apa ini masuk pendidikan atau tidak? Jadi Rp 400 triliun [untuk susu dan makan gratis] sebenarnya alokasinya sudah ada. Kemudian… [dana] untuk bantuan sosial hampir Rp 500 triliun; kalau sebagian [dialokasikan] untuk makan siang anak-anak Indonesia, akan meringankan…” ujar Prabowo.


Hal tersebut kemudian dipertegas oleh Sekretaris TKN Nusron Wahid. Ia mengatakan, dana makan siang dan susu gratis diperoleh dari refocusing dan realokasi dana pendidikan, bansos, ditambah dana kesehatan yang anggarannya Rp 186 triliun di APBN 2024.


Namun, belakangan Nusron meralat dan membantah ada pengalihan alokasi dana dari pos-pos tersebut. Yang ia maksud, ujar Nusron, ialah anggaran makan dan susu gratis berasal dari sumber pendanaan baru yang akan disalurkan melalui tiga pos tersebut.


Dradjad menyatakan, dana sekitar Rp 400 triliun itu akan diambil dari sumber pendanaan baru, salah satunya dari “celengan rahasia” yang muncul dengan merevisi suatu regulasi untuk memperoleh pendapatan negara Rp 116,4 triliun. Namun, Dradjad enggan merinci apa saja sumber pendapatan baru tersebut.


“Enggak ada pergeseran anggaran pendidikan dan pengurangan dana bansos. Bukan juga dengan menaikkan pajak, [melainkan dengan] perombakan sistem pengumpulan. Intinya kami sudah menyisir sumber-sumber itu,” kata ekonom dan politisi PAN itu.


Butuh Puluhan Triliun Wujudkan Susu Gratis


Teguh Boediyana mengatakan, dari kajian program susu sekolah, pemberian yang bisa berdampak ke perbaikan gizi anak minimal 200 ml per hari seperti di Thailand. Negeri Gajah Putih itu memberikan 200 ml susu segar pasteurisasi ke anak-anak sekolah selama 260 hari dalam setahun.


Berdasarkan laporan Program Pangan Dunia (WFP), sejak dimulai tahun 1992, program pemberian susu di Thailand mampu menurunkan tingkat malnutrisi anak-anak di negara itu dari 36% pada 1975 menjadi 8,42% pada 2005.


Sebagai perbandingan, di Indonesia saat ini jumlah anak-anak yang mengalami gizi buruk ialah 10% dan stunting 21,6%.


kumparan menghitung, apabila Indonesia ingin meniru Thailand memberikan susu segar pasteurisasi di harga sekitar Rp 10.000 per liter kepada 58 juta murid/santri, maka dibutuhkan anggaran Rp 30,16 triliun per tahun atau Rp 116 miliar per hari.


Angka ini bakal melonjak jika yang diberikan adalah susu kemasan UHT di kisaran Rp 5.000 per 200 ml. Susu UHT akan memakan anggaran ±Rp 75,4 triliun atau Rp 290 miliar per hari.


Semua hitungan itu, imbuh Bhima Yudhistira, belum mencakup biaya logistik, administrasi, fee vendor pengemasan, dan lain-lain. Biaya-biaya tersebut mungkin mencapai 30–40% dari total anggaran.


Pada akhirnya, tegas Bhima, besarnya anggaran susu dan makan siang gratis akan memerlukan efisiensi APBN di segala lini, sebab mustahil mendapatkan pembiayaan dari peningkatan penerimaan pendapatan negara dengan rasio pajak 23%.


"Dana rutin yang paling gampang diambil [untuk program susu gratis] adalah menghemat belanja pegawai, memotong perjalanan dinas, dan memotong tunjangan ASN." - Bhima Yudhistira, Celios


Program susu gratis, menurut Bhima, cukup populis tapi butuh biaya amat besar. Anggarannya bahkan bisa dibilang setara dengan nilai proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara senilai Rp 466 triliun.


“Kalau Rp 400-an triliun untuk makan siang dan susu gratis  berasal dari utang, maka tambahan beban bunga utang akan semakin memberatkan. Lalu IKN apa mau disetop? Menurut saya, harus pilih: mau makan siang dan susu gratis, atau pembangunan IKN? Ini saling mengunci,” ujar Bhima.


Ia menambahkan, realokasi dana pendidikan, bansos, dan kesehatan juga tidak mudah. Bhima mencontohkan, bila menggunakan dana bansos, belum tentu masyarakat menerima, sebab masyarakat lebih senang jika bansos diberikan secara tunai daripada diganti dengan makan siang dan susu gratis.


“Secara politik, kalau kebijakan susu gratis ini dirinci, mungkin akan menimbulkan penurunan elektabilitas. Karena ketika dirinci anggarannya berasal dari dana pendidikan, bansos, dan belanja-belanja lain. Beberapa pemda, ASN, guru, akan resisten terhadap program ini,” ucap Bhima.


Selama tidak ada penjelasan rinci dari TKN soal sumber anggaran, program tersebut bagi Bhima terlalu bombastis dengan kajian yang ia anggap prematur.


“Program ini baru realistis jika IKN tidak dilanjutkan, atau ada kementerian/lembaga yang anggarannya digeser semua, atau kalau semua perjalanan dinas 34 kementerian/lembaga dihilangkan,” kata Bhima.


Di tengah segala pro dan kontranya, para peternak berharap jika program susu gratis berjalan, peternakan sapi perah dalam negeri akan kembali menggeliat.


“Dalam 5 tahun periode capres terpilih


“Tinggal kita lihat apakah program susu gratis ini hanya jargon, gimik politik [atau tidak]. Kalau seperti itu (hanya slogan), sudah pasti tidak jalan.” - Rochadi Tawaf, Unpad


Sumber: Kumparan

Penulis blog