KISAH Mugiyanto Korban Penculikan 1998: Aku Dihajar, Disetrum, Diancam Dibunuh - DEMOCRAZY News
HOT NEWS

KISAH Mugiyanto Korban Penculikan 1998: Aku Dihajar, Disetrum, Diancam Dibunuh

DEMOCRAZY.ID
Desember 26, 2023
0 Komentar
Beranda
HOT NEWS
KISAH Mugiyanto Korban Penculikan 1998: Aku Dihajar, Disetrum, Diancam Dibunuh
KISAH Mugiyanto Korban Penculikan 1998: Aku Dihajar, Disetrum, Diancam Dibunuh


KISAH Mugiyanto Korban Penculikan 1998: Aku Dihajar, Disetrum, Diancam Dibunuh


Tubuhnya di masa kini, tapi sorot matanya melihat peristiwa 25 tahun lalu: diculik, dipukul, disetrum, hingga diancam dibunuh dan dibuang ke jalan tol.


Ketika itulah Mugiyanto membuka ingatan. Ia dan para aktivis berjumlah 23 orang (9 kembali, 14 lainnya masih hilang) mengalami penculikan atau penghilangan paksa menjelang tumbangnya rezim Orde Baru medio 1997-1998.


Pria kelahiran tahun 1973 itu mengaku hingga kini masih takut mendengar suara ‘krek-krek’ handie talkie—suara yang membersamainya ketika diculik orang tak dikenal.


Meski belum ada sejarah resmi soal siapa dalang di balik peristiwa ini, tudingan penculikan itu mengarah ke Tim Mawar, kesatuan kecil di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang kala itu dipimpin Prabowo Subianto.


Ketika peristiwa penculikan 1998 disinggung dalam debat capres perdana 12 Desember lalu, Prabowo mengatakan isu ini sebagai bentuk politisasi. Nyatanya, kata Prabowo, tahanan politik yang disebut-sebut diculiknya kini banyak yang mendukungnya.


Memang, di antara korban penculikan ‘98, ada nama-nama yang bergabung jadi kader Gerindra seperti Desmond Mahesa (alm), Haryanto Taslam (alm), dan Pius Lustrilanang. Ada juga nama Andi Arief dari Demokrat yang partainya mendukung Prabowo.


Selain itu, Budiman Sudjatmiko yang dulu Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang pernah dipenjara rezim Soeharto, kini juga di sisi Prabowo.


Namun, Mugiyanto skeptis dengan pembelaan Prabowo. Menjelang Pilpres 2024, ia kembali merawat ingatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu. Pria yang akrab disapa Mugi itu mengajak anak muda mengetahui peristiwa ‘98 agar kejadian serupa tak terulang di masa mendatang.


Bagaimana cerita Mugi yang kini jadi Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden itu? Berikut wawancaranya.


Bagaimana latar belakang aktivisme Anda pada 1998?


Saya mahasiswa UGM angkatan ‘92. Tahun 1996, Budiman Sudjatmiko dipenjara. Kami satu partai di PRD. Saya di sayap organisasi atau underbouw-nya, namanya Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).


Pada 27 Juli 1996, ada penyerbuan ke Kantor PDI. Peristiwanya dikenal dengan sebutan Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli). PRD dituding sebagai otak kerusuhan. Maka itulah pimpinan PRD dicari [aparat] semua. Karena kepemimpinan PRD enggak ada, kita tunjuklah pimpinan SMID sebagai pimpinan PRD, yakni Nezar Patria dan Andi Arief.


Organisasi berjalan underground. Dari Yogyakarta, saya ke Jakarta akhir 1997 karena ditugasi melakukan advokasi internasional ke Filipina, Malaysia, Australia, dan Eropa untuk minta dukungan demi membebaskan tahanan politik dan menumbangkan Soeharto.


Bagaimana konstelasi politik jelang Anda diculik?


Pada 1997 diadakan pemilu [dan Partai Golkar menang lagi setelah 31 tahun berkuasa]. Krisis ekonomi sudah mulai terjadi pada waktu itu, maka demonstrasi terjadi di mana-mana dan hampir tiap hari.


Kami (PRD) mengorganisir rakyat, bagikan selebaran, ngomong persoalan, dan bikin tuntutan. Waktu itu kami tuntut: tolak dwi fungsi ABRI, cabut UU Politik, naikkan upah, dan dukung referendum Timor Timur. Inilah yang bikin kami sangat dibenci—musuh nomor satu Orde Baru.


Bagaimana gambaran peristiwa penculikan yang Anda alami?


Tanggal 12 Maret, kami mendeklarasikan KNPD (Komite Nasional Perjuangan untuk Demokrasi) di YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Aku enggak ada di lokasi, tapi pada tanggal itu aktivis Raharja Waluya Jati, Faisol Riza, dan Herman Hendrawan diculik.


13 Maret, besoknya, [penculikan] itu terjadi ke aku, Aan Rusdiyanto, dan Nezar. Kami tinggal di rusun di Klender, Jakarta Timur. Sehabis Jumatan, saya di Menteng ketemu dua orang aktivis East Timor International Support Center dari Australia. Kira-kira jam 17.00 WIB aku pulang, dikasih tiga kotak Hoka Hoka Bento. Aku telepon ke rumah, ngabari enggak perlu cari makan karena bawa HokBen. Nezar yang jawab, dia bilang, “Oke, ditunggu.”


Jam 19.00 WIB aku sampai di Klender, di kontrakan kami, lantai 2. Aku ketok-ketok enggak ada orang. Setelah kucari-cari, ternyata aku punya kunci, akhirnya kubuka. Aku ke dapur, masih ada [wedang] jeruk masih panas. Tiga-empat menit kutunggu, enggak ada yang datang. Aku telepon pakai pager (alat komunikasi radio panggil), tapi enggak ada respons setelah sekitar empat menit menunggu.


Di situ sudah deg-degan. Insting keamananku sudah jalan. Aku siap-siap. Pasporku kutaruh di tas kecil, buku diari sudah rapi. Aku menyiapkan skenario kabur. Tapi kutengok jendela, sudah ada banyak orang mengepung di bawah, ada yang pakaian tentara dan pakaian preman.


Ya sudah, pasrah. Pintu digedor, mereka masuk. Ada kawan menelepon, aku disuruh angkat. Aku enggak ngomong, cuma nangis. Tahu ada yang enggak beres, dia tutup. Aku digelandang, dibawa pakai mobil.


Mugi lalu dibawa ke Koramil Duren Sawit. Ia dan seorang bernama Djaka diinterogasi. Djaka minta dibebaskan karena mengaku punya kenalan pimpinan ABRI. Keduanya lalu dipindahkan ke Kodim Jakarta Timur. Sempat singgah di gedung tersebut, ia lalu dibawa lagi menggunakan mobil dengan mata ditutup. Di situ Mugi berpisah dengan Djaka yang sempat mengatakan, “Kita selamat”. Tapi kejadian berikutnya ternyata pilu bagi Mugi.


Ke mana Anda dibawa dan diapakan?


Perjalanan terasa jauh dan macet. Mereka sempat berdebat soal rute. Kemudian mobil berhenti, aku turun. Dua-tiga langkah ada suara air dan angin kencang. Bayanganku, aku di sawah, mau dibunuh di sini.


[Aku diinterogasi], “Kamu tinggal sama siapa di situ?”

“Sendirian, Pak.”

“Kamu bohong! Kami tahu kamu tinggal sama siapa saja.”


Aku dihajar, dipukul, hancurlah wajahku. Jatuh, diberdirikan lagi.


Aku sempat ditanya nama. Manusia ada batasnya menerima siksaan. Ya sudah, aku sebutkan nama. Habis itu dihajar. Aku disuruh buka baju dan celana. Disuruh duduk di semacam velbed, tempat tidur tentara. Kaki tangan diikat, mata ditutup, pakai celana dalam. Kemudian suara sirine berbunyi.


Di situlah ada suara cambuk, dan ada suara orang menjerit di sebelahku, jaraknya mungkin lima meter. Di situlah aku baru tahu ternyata Nezar ada di situ. Suara cambuk itu ternyata setruman, cetak-cetak. Selain Nezar, di sana ada orang lain disiksa yang ternyata Aan. Dua orang yang harusnya menunggu aku.


Dua malam tiga hari kami di tempat itu, dari 13-15 Maret 1998. Kami lalu dibawa ke Kodam Jaya dekat Universitas Kristen Indonesia. Lalu dibawa lagi pakai mobil, di situ diancam kalau enggak kerja sama, akan dibunuh dan dibuang ke jalan tol. Ditanya, “Apa pesan terakhir untuk keluargamu?”


Tapi waktu itu kami merasa orang-orang ini berbeda dengan sebelumnya. Benar saja, setelahnya kami sampai di Polda Metro Jaya. Di situ kami bertiga dipenjara di sel isolasi selama tiga bulan hingga pergantian rezim Soeharto.


Bagaimana pengaruh penculikan itu terhadap kehidupan Anda?


Setelah dilepas dari penjara, aku nginap di rumah Munir yang merupakan mes YLBHI. Aku melihat depan rumahnya ada jalan. Aku melihat semua orang yang ada di jalan situ seperti melihat aku terus, ngawasi aku terus. Yang bikin trauma, sampai sekarang bunyi handie talkie, suara radio, kalau dengar itu langsung takut. Karena di mobil [saat diculik] kan ada suara itu.


Mugi juga bercerita pernah ingin turun dari pesawat yang hendak terbang ketika orang yang duduk di sebelahnya ia rasa mengawasinya terus. Kekhawatiran itu sempat bertambah ketika ia tahu orang itu baru saja pulang dari Yordania ke Indonesia. Pikir Mugi, itu adalah “orangnya” Prabowo yang pada medio 1998 sempat tinggal di Amman dua bulanan. Padahal orang itu mengaku bukan siapa-siapa.


Apa relevansi peristiwa penculikan yang Anda alami dengan situasi saat ini?


Ini relevan, karena hal yang kami alami masih mungkin terjadi. Apalagi kalau tidak mengetahui. Termasuk penting anak muda tahu itu supaya mereka lebih bertanggung jawab mengisi ruang demokrasi sekarang ini. Kita bisa nongkrong di warkop tiap hari sekarang itu karena ada ruang demokrasi yang didapatkan dengan harga mahal oleh generasi sebelum kita.


Yang jadi masalah anak muda tidak tahu. Kalau mereka tahu, maka peduli dan relevan, termasuk soal Pilpres. Kalau mereka tahu, mereka enggak akan memilih [calon pemimpin yang diduga terlibat dalam peristiwa ini].


Korban penculikan yang kembali kan ada yang kemudian bergabung dengan Prabowo, dengan keyakinan Prabowo hanya menjalankan perintah atasan kala itu. Bagaimana Anda melihatnya?


Kalau masalah pilihan politik, bahkan saya akhirnya mengambil pilihan politik. Tapi kalau saya, sedari awal sadar bahwa perjuangan untuk keadilan, kebenaran, atas peristiwa penculikan aktivis dan sebagainya atau HAM secara umum, itu adalah perjuangan politik.


Aku enggak kuat ketemu [keluarga korban penculikan-penghilangan] Pak Utomo (ayah Petrus Bima Anugrah), Pak Paian Siahaan (ayah Ucok M Siahaan), Mbak Sipon (istri Wiji Thukul), ketemu Fajar dan Wani (anak Wiji Thukul). Aku masih berusaha menggunakan moral dalam politik. Kalau yang lain mungkin ada yang tidak ya, lebih politik [praktis].


Itulah yang membuat aku masuk ke Kantor Staf Presiden per Februari 2020. Itu pun karena pertimbangan utama aku adalah kepentingan korban, bukan pertimbangan personalku. Karena harus ada yang diperjuangkan dari dalam. Kan kita sudah 25 tahun berjuang dari luar, apa hasilnya?


Ketika aku berada di KSP, tapi soal sikap politik elektoral ya sampai sekarang, sampai 2024, kita berusaha untuk konsisten menolak capres pelanggar HAM. Sejak 2004 (2009) ketika Megawati menggandeng Prabowo, kami sudah tolak, aku sudah tolak.


Lalu setelah Anda sekarang di pemerintahan, apa yang sudah diperjuangkan untuk mengadvokasi korban?


Kalau mengacu pada 4 rekomendasi Panitia Khusus Orang Hilang DPR (2009), maka yang sedang dikerjakan adalah rekomendasi nomor 3 dan 4, yakni pemulihan atau kompensasi terhadap korban dan ratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa.


Kompensasi sedang dikerjakan melalui mekanisme nonyudisial melalui Inpres Nomor 2 Tahun 2023 yang dipantau melalui Kepres Nomor 4 Tahun 2023, saya juga kebetulan berada di dalam Keppres itu, tim pemantau. Itu untuk menangani aspek reparasi, pemulihan, atau kompensasi.


Pada 2009, Pansus Orang Hilang DPR menerbitkan 4 rekomendasi: 1) Presiden dan pemerintah membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc; 2) Pencarian terhadap 13 aktivis yang hilang; 3) Reparasi dan kompensasi terhadap korban dan keluarganya; dan 4) Meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.


Dalam Inpres 2/2023, Presiden memerintahkan setiap jajarannya di kementerian/lembaga sesuai tupoksinya untuk melakukan reparasi terhadap korban. Misalnya, dalam hal sosial, Mensos diperintahkan untuk memberi bansos atau rehabilitasi sosial dan Jaminan Hari Tua.


Aku sendiri dapat Program Keluarga Harapan. Ketua Komisi VI DPR Faisol Riza dapat, Andi Arief dan Nezar Patria juga minta dikabari dan diupayakan dapat. Itu semua bukan karena materi, tapi karena ada pengakuan negara atas pemulihan korban pelanggaran HAM berat.


Lalu bagaimana dengan Pengadilan HAM yang selama ini kerap disuarakan korban untuk mendapat keadilan?


Kebijakan yang sekarang ini adalah what is possible di antara all the impossibilities. Karena kalau kebijakan yang sekarang jalan ini tidak dibentuk, lalu kita mencari yang ideal, enggak akan terjadi.


Misal idealnya pengadilan, aku secara personal khawatir kalau pengadilan HAM Ad Hoc digelar, pelaku akan dibebaskan semua juga karena buktinya enggak kuat. Kita sih bisa mengatakan, sudah jelas Tim Mawar pelakunya, ada 11 orang, mereka semua masih hidup. Ada Prabowo [sebagai komandan Kopassus] itu kita tahu, tetapi hukum itu tidak seperti itu berjalannya.



Kekhawatiranku adalah pengadilan digelar, semua dibebaskan, kasus dianggap selesai, korban enggak dapat apa-apa. Contohnya kasus Tanjung Priok. Kasus itu kan sudah diadili [tahun 2004], padahal korbannya banyak sekali. Pengadilan digelar, semua pelaku dibebaskan.


"Kalau keputusannya mengadakan Pengadilan HAM, ya kita adakan Pengadilan HAM, tidak ada masalah.” - Prabowo Subianto dalam debat capres


Lalu untuk menghindari hal semacam itu, seharusnya seperti apa?


Pengalaman negara lain, biasanya yang pertama ditempuh adalah pengungkapan kebenaran (truth seeking). Dari situ bisa dibawa ke pengadilan atau pelurusan sejarah dan lain-lain.


Apabila yang dicari kebenaran melalui pelurusan sejarah, bagaimana upaya konkret untuk menempuhnya?


Harus ofisial dari negara, dan untuk pelanggaran HAM berat dari pengalaman negara lain ya melalui Komisi Kebenaran. Laporan komisi itu yang dijadikan acuan oleh para sejarawan, lembaga pendidikan, atau bisa setidaknya menjadi salah satu narasi yang ofisial yang dikeluarkan oleh negara.


Indonesia pernah memiliki UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun, MK menyatakan UU itu bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat melalui Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006.


Sebagai korban, apa yang Anda tuntut soal peristiwa penghilangan 1998?


Semua aku tuntut—soal keadilan, kebenaran, pemulihan, jaminan ketidakberulangan. Cuma yang paling urgen, paling mendesak, itu untuk mengetahui nasib dan keberadaan 13 orang itu. Di mana? Bagaimana? Itu untuk ketetapan hati.


Makanya dalam kasus seperti itu, negara yang turun tangan memberi status ke keluarga korban. Misal, berdasarkan penyelidikan disimpulkan si A sudah tidak ada (meninggal) karena peristiwa ini. Itu korban bisa menerima. Jadi ada closure (titik akhir), tidak menanti yang tidak ada ujungnya.


Makanya penghilangan paksa itu ibu segala kejahatan, karena mungkin ada penculikan, penyiksaan, pembunuhan, perampasan kemerdekaan, orang tidak diperlakukan sama di depan hukum. Dan di dunia internasional, itu adalah kejahatan yang berkelanjutan (ongoing crime). Dia berhenti ketika keberadaan korban diketahui dan ada titik akhir. Jadi sebetulnya kayak Wiji Thukul dkk yang hilang itu kejahatannya masih berlangsung.


Jadi ini ongoing crime. Kalau ngomong mekanisme pengadilan HAM, ini bukan pelanggaran HAM masa lalu, ini pelanggaran HAM masa kini karena masih berlangsung. Siapa tahu korban masih hidup.


Prabowo mengatakan dalam debat capres bahwa pihak-pihak yang diculik kan justru bergabung dengan kubunya.


Itu bukan bukti bahwa tidak pernah ada penculikannya. Penculikannya pernah terjadi. Kan Pius, Desmond, yang bergabung sama dia [di Gerindra] pernah diculik. Budiman [Sudjatmiko] yang enggak pernah mengalami penculikan (dia dipenjara).


Memutuskan bergabung dengan dia (Prabowo), bukan berarti kejahatannya tidak pernah ada. Kejahatan terhadap kemanusiaan itu bukan persoalan pribadi, bukan perdata. Kalau perdata, kita berdamai selesai.


Makanya disebut kejahatan terhadap kemanusiaan. Kalau Andi Arief urusan dengan Prabowo bisa kamu selesaikan, tapi ini bukan cuma urusan pribadi berdua.


Prabowo juga mengatakan isu ini dipolitisasi. Timsesnya menyebut ini isu yang muncul saat pemilu 5 tahunan. Apa tanggapan Anda sebagai korban?


Jawaban leluconnya ya karena tiap 5 tahun sekali Prabowo nyapres. Kalau Prabowo enggak nyapres, korban enggak akan mengangkat isu itu. Tapi untuk mengatakan isu lima tahunan, tidak.


Kamu aja yang peduli hanya tiap 5 tahun sekali. Pak Utomo, Pak Paian, kami, itu tiap hari berjuang, tiap Kamis menggelar Kamisan (aksi menuntut penuntasan pelanggaran HAM di Istana Negara).


"Ini bukan isu 5 tahunan. [Perjuangan] ini aktivitas 24 jam, 24/7, 7 hari dan 24 jam."


Sumber: Kumparan

Penulis blog