Membaca Isu Penundaan Pemilu dan Gerilya 2024, Siapa di Balik Manuver Hakim? - DEMOCRAZY News | Berita dan Politik Indonesia

Breaking

logo

Membaca Isu Penundaan Pemilu dan Gerilya 2024, Siapa di Balik Manuver Hakim?

Membaca Isu Penundaan Pemilu dan Gerilya 2024, Siapa di Balik Manuver Hakim?


 MEMBACA ISU PENUNDAAN PEMILU DAN GERILYA 2024


Oleh: M. Arief Pranoto


Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) memutuskan untuk tidak melaksanakan pemilu selama 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari semenjak putusan dibacakan pada hari Kamis, 2 Maret 2023 atas gugatan Partai Prima karena dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dalam verifikasi administrasi partai politik. "Kita banding," kata Ketua KPU, Hasyim Asyari. 


Putusan PN Jakpus cukup fenomenal di tengah memanasnya copras-capres jelang Pemilu 2024. 


Artinya, jika putusan PN tersebut dijalankan maka bakal tidak ada pemilu hingga 2025. Dengan kata lain, "Pemilu 2024 ditunda!"


Menariknya, putusan PN Jakpus diketok (2/3/2023) usai Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian materil masa jabatan presiden (28/2/2023). 


Tok! Tok! (bunyi palu diketok) lalu isu kontroversi tentang perpanjangan masa jabatan presiden (tiga periode) pun bubar. MK menolak. Isu Jokowi tiga periode tutup layar. The end.


Beberapa pakar Hukum Tata Negara (HTN) langsung bersahut-sahutan di ruang publik terkait putusan PN Jakpus di atas. 


Tak pelak, Denny Indrayana, Guru Besar HTN UGM menyatakan, "PN tak punya yuridiksi dan kompetensi untuk menunda Pemilu". 


Putusan majelis hakim tak punya dasar, dan karenanya tak bisa dilaksanakan, kata Denny (2/3/2023). 


"Atas dasar itu, putusan PN Jakpus harus ditolak dan harusnya dari awal tidak dikeluarkan," pungkas Denny.


Namun lain Denny, lain pula pendapat Prof Yusril Ihza Mahendra (YIM). Poin pendapat Prof YIM lebih terurai, "Gugatan Partai Prima adalah gugatan perdata, yakni perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa, dan bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara".


Dalam perdata, sengketa yang terjadi adalah antara Penggugat (Partai Prima) dan Tergugat (KPU). Tidak menyangkut pihak lain. 


Oleh karena itu, putusan mengabulkan dalam sengketa perdata hanya mengikat penggugat dan tergugat saja, tidak dapat mengikat pihak lain. 


Beda dengan putusan di bidang hukum tata negara dan administrasi negara seperti pengujian oleh MK atau peraturan lainnya oleh MA, sifat putusannya berlaku bagi semua orang (erga omnes), ujar YIM.


Dalam kasus gugatan perbuatan melawan hukum oleh Partai Prima, jika gugatan ingin dikabulkan majelis hakim, maka putusan itu hanya mengikat Partai Prima sebagai Penggugat dan KPU sebagai Tergugat, tidak mengikat partai lain baik calon maupun sudah ditetapkan sebagai Peserta Pemilu.


Jadi, kalau majelis berpendapat bahwa gugatan Partai Prima beralasan hukum, maka KPU harus dihukum untuk melakukan verifikasi ulang terhadap Partai Prima, tanpa harus 'mengganggu' partai-partai lain dan mengganggu tahapan pemilu. 


Pada hemat saya, majelis harusnya menolak gugatan Partai Prima, atau menyatakan gugatan tak dapat diterima karena PN tidak berwenang mengadili perkara tersebut, pungkas Prof YIM. 


Menkopolhukam, Prof MMD, justru lebih menohok analoginya, "Putusan penundaan pemilu oleh PN ibarat peradilan militer memutus kasus perceraian".


Pertanyaan nakal muncul, apakah penundaan pemilu ala PN Jakpus kebetulan, dan terkait dengan Pemilu 2024? Jawabannya, "Ada! Terkait dengan Pemilu 2024, dan tidak ada kebetulan di muka bumi".


Dalam tulisan saya bertajuk: MEMBACA SKENARIO PEMILU MELALUI AGENDA 2024 diurai asumsi, bahwa Agenda 2024 adalah melanjutkan program infrastruktur Jokowi. Titik. Atas dasar asumsi tersebut, ada prakiraan tiga Skenario di 2024, antara lain: 


Skenario I: Jokowi tiga periode; 


Skenario II: Perpanjangan waktu jabatan presiden. Skenario ini memiliki konsekuensi penundaan pemilu sebagai langkah awal berdalih kegentingan memaksa ataupun 'dipaksakan'; 


Skenario III: Tetap digelar Pemilu dan/atau pemilihan presiden (pilpres), tetapi dengan syarat bahwa kandidat pilihan Jokowi HARUS MENANG dalam rangka meneruskan program infrastruktur yang belum selesai termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN).


Maka, dengan ditolaknya isu tiga periode oleh MK, Skenario I pun gugur. Jadi, tinggal dua skenario tersisa yakni Skenario II: 'Perpanjangan waktu via tunda pemilu'; dan Skenario III: 'Tetap digelar pilpres namun kandidat pilihan Jokowi harus menang'.


Pertanyaan selidik, "Dari dua skenario yang tersisa, manakah skenario yang akan digelar pada 2024?"


Hingga hari ini, kedua skenario baik penundaan pemilu (Skenario II) maupun digelar pilpres (skenario III) tetap berproses secara terstruktur, sistematis lagi masive. 


Dan penundaan pemilu ala PN Jakpus, diduga kuat merupakan manuver alias gerilya para pihak yang menginginkan program infrastruktur Jokowi terus berlanjut. 


Jadi, gejolak elitis dari kaum akademis tentang putusan PN Jakpus sebagaimana diurai sekilas di atas, seyogianya tidak menyoal sah atau ilegal putusan PN, boleh atau tidak -- tetapi yang lebih utama adalah menyoal siapa power di balik Tim Hakim penundaan pemilu.


Kenapa demikian?


Agaknya, dalih kegentingan memaksa yang hendak dijadikan basis penundaan pemilu sudah terbaca publik, maka gerilya politik penundaan Pemilu 2024 melalui putusan PN.


Dan dari balik jendela rumah, lamat-lamat kudengar intro lagu 'Pantun Janda' yang lagi viral: 


"Kuda mana, kuda mana tuan inginkan; kuda putih, kuda putih di dalam kandang; janda mana, janda mana tuan inginkan; janda putih, janda putih berambut panjang"..


-Tamat-

BERITA TERKAIT

Tidak ada komentar: