KEJAHATAN NEGARA DILAKUKAN OLEH JOKOWI – DILANJUTKAN OLEH PRESIDEN PRABOWO
Oleh: M. Yamin Nasution, S.H
Pemerhati Hukum
Setiap bangsa besar dibangun dari keberanian untuk mengoreksi diri. Tulisan ini bukan sekadar kritik, tapi panggilan untuk kembali ke akal sehat dan konstitusi.
Jika kekuasaan tak mau diingatkan, maka rakyatlah yang akan membayar lunas ongkos kelalaiannya.
Penulis hanya menjalankan tugas warga Negara. Berbicara ketika yang lain memilih diam, bahkan memuji.
Yang tidak bisa diadili bukan Tuhan. Tapi di negeri ini, Presiden pun tampaknya demikian.
Indonesia adalah negara hukum, setidaknya menurut Undang-Undang Dasar 1945.
Tapi realitas hari ini memperlihatkan hukum seperti kendaraan yang bisa disetir ke arah mana saja oleh kekuasaan.
Presiden Joko Widodo telah meninggalkan warisan peraturan yang bertentangan dengan konstitusi, namun tetap diberlakukan.
Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Bank Tanah, produk dari turunan Undang-Undang Cipta Kerja, yang secara nyata merampas hak milik rakyat.
Bank Tanah seharusnya menjadi solusi reforma agraria. Namun, dalam praktik dan rumusannya, ia membuka jalan legal bagi pengambilalihan tanah rakyat atas dasar penilaian sepihak.
Tanah yang disebut “tidak optimal”, “telantar”, atau “bernilai strategis” dapat diambil oleh negara untuk diberikan kepada investor.
Rakyat bisa kehilangan tanah tanpa proses peradilan. Hak adat bisa dilucuti tanpa musyawarah. Hak milik bisa dihapuskan oleh administratif.
Lalu, ke mana hukum berpihak?
Konstitusi Dilanggar Secara Terang-Terangan. Padahal konstitusi bicara sangat terang menyatakan:
“Setiap orang berhak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945:
“Negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya…”
Konstitusi tidak sekadar mengatur, ia memagari hak milik dan hak adat dari kekuasaan.
Lebih dari itu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003 menyatakan bahwa hak milik adalah hak konstitusional yang hanya bisa dibatasi oleh undang-undang, bukan oleh peraturan pemerintah.
Namun dalam PP 64/2021, pemerintah melalui Bank Tanah dapat menetapkan tanah sebagai “telantar” atau “tidak optimal” dan kemudian mengambilnya tanpa pengadilan.
Ini bukan saja menyalahi konstitusi, tetapi juga melanggar prinsip due process of law dan hak asasi.
Lalu, Siapa Bisa Menguji Ini? Semua Jalan Tertutup. Masalah besarnya adalah, tidak ada mekanisme uji yang memadai.
Mahkamah Konstitusi tidak dapat menguji peraturan pemerintah terhadap UUD 1945.
Mahkamah Agung hanya menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, bukan terhadap konstitusi.
Sekalipun secara akademis dikenal Multilevel Constitutional Review atau Constitutional Cascade Model. Namun kesulitannya terdapat pada prakteknya.
Dengan kata lain, kalau Presiden menerbitkan PP yang bertentangan dengan konstitusi, tidak ada lembaga negara yang bisa membatalkannya secara langsung. “NEGARA HUKUM TERKUNCI DARI DALAM”.
Filsafat Hukum
Ini Bukan Sekadar Kekeliruan, Tapi Mens Rea Kekuasaan. Dalam hukum pidana, kita mengenal istilah mens rea, niat jahat.
Pelanggaran konstitusi yang dilakukan dengan sadar dan sistematis merupakan tindakan yang mengandung kehendak untuk menyimpang dari hukum tertinggi negara.
Immanuel Kant dalam Metaphysics of Morals menegaskan:
“Perbuatan tanpa moral adalah tindakan yang lahir dari kehendak yang busuk.”
Hans Kelsen mengingatkan bahwa hukum hanya sah jika bertumpu pada norma dasar (Grundnorm). Ketika norma dasar dilanggar, seluruh bangunan hukum runtuh.
John Austin dalam kuliah pertamanya menyebut, hukum tanpa sanksi bagi penguasa bukan hukum, tapi tipu daya.
H.L.A. Hart memperingatkan bahwa hukum akan kehilangan legitimasi jika hanya berlaku bagi rakyat, tetapi tidak mengikat pemerintah yang menyusunnya.
Dari Jokowi ke Prabowo, Pelanggaran Jadi Sistem
Kini Prabowo Subianto menjabat sebagai Presiden. Alih-alih membenahi pelanggaran, Prabowo berpotensi melanjutkan warisan hukum inkonstitusional dari Jokowi.
Prabowo-Gibran berdiri di atas fondasi pelanggaran konstitusi, dimulai dari pemilihan yang cacat etik di Mahkamah Konstitusi, hingga pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara.
Jika PP 64/2021 dan konsep Bank Tanah tetap dilanjutkan, maka rezim baru hanya menjadi bayangan kabur dari rezim sebelumnya. Pelanggaran bukan lagi insiden, tapi menjadi sistematis.
Kesimpulan
Negara Tanpa Keadilan, Konstitusi Tanpa Gigi. Sebelum menjabat, Presiden dan Wakil disumpah untuk taat terhadap UUD Negara, sehingga tiada kekuasaan yang melakukan tugas tanpa batasan hukum “Nulla potestas sine lege”.
Negara hukum mati bukan karena kekurangan undang-undang, tapi karena tidak bisa menghukum penguasa.
Jokowi telah mewariskan peraturan yang melanggar konstitusi. Dan kini, Prabowo harus memilih antara melanjutkan atau memperbaiki.
Karena jika konstitusi terus dilanggar dan tak bisa diuji, maka republik ini tak lagi berpijak pada hukum, melainkan pada kehendak kekuasaan.
Rakyat butuh tanah, bukan janji. Konstitusi butuh kehormatan, bukan sekadar teks kosong. ***