DEMOCRAZY.ID - Kita hidup di zaman ketika seseorang yang paling berkuasa pun bisa melenggang tanpa bisa disentuh oleh hukum—bahkan sekadar pertanyaan pun terasa haram.
Maka ketika Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berkata, “Kami selalu minta dan membuka ruang untuk dikoreksi dan dievaluasi,” kita bertanya: benarkah?
Pernyataan itu diucapkan di tengah pagelaran wayang kulit, dalam rangka Hari Bhayangkara ke-79.
Ia tak sedang berdiri di ruang penyidikan atau forum ilmiah, melainkan dalam panggung budaya yang sarat simbol.
Tapi kita tak bisa lagi mengandalkan simbol ketika kenyataan begitu bising dengan ironi.
Lalu, bagaimana kita harus menafsirkan “kerendahan hati” seorang Kapolri yang membuka diri pada kritik, sementara lembaganya justru seolah jadi tembok besar untuk melindungi satu sosok yang tak pernah mau disoal: Presiden Joko Widodo.
Kita ingat kasus ijazah palsu Jokowi. Isu yang sempat bergema nasional, memicu diskusi, gugatan hukum, hingga sorotan media internasional.
Tapi, alih-alih dibuka dan diselidiki secara profesional dan netral, perkara ini justru seperti ditelan oleh lubang hitam negara.
Pengadilan menolaknya secara administratif, bukan substantif. Polisi? Bungkam. Mabes? Dingin. Penyidik? Menghilang.
Dan di titik ini, rakyat melihat sesuatu yang lebih dari sekadar kinerja buruk: mereka melihat ketakutan. Atau, lebih buruk lagi—mereka melihat keberpihakan.
Bagaimana mungkin sebuah lembaga penegak hukum yang katanya terbuka pada kritik, justru terlihat menutup mata pada satu kritik paling mendasar: kemungkinan pemalsuan identitas pendidikan kepala negara?
Bukan semata soal hukum, tapi soal etika, kejujuran, dan integritas.
Jika rakyat saja bisa dimintai ijazah asli untuk daftar kerja, mengapa Presiden tidak?
Dan ketika polisi diam, rakyat mafhum: mungkin Kapolri lebih tunduk pada kekuasaan daripada pada kebenaran.
Goenawan Mohamad pernah menulis bahwa “negara adalah kisah yang dituturkan oleh yang berkuasa.”
Dan Polri hari ini, tampaknya bukan hanya sekadar penonton dalam kisah itu—ia ikut menjadi dalang, atau setidaknya, mengatur bayang.
Maka ketika Kapolri bilang, “Kami paham, karena kecintaannya masyarakat kadangkala memberikan masukan…,” kita hanya bisa menunduk getir.
Kritik itu sudah datang. Tapi yang terjadi bukanlah perbaikan, melainkan penyesuaian: menyesuaikan langkah agar tak menyinggung kekuasaan.
Apa artinya Polri untuk masyarakat jika kritik tak mampu menyentuh pusat kekuasaan? Apa gunanya evaluasi kalau tak menyentuh yang paling atas?
Apa gunanya bersih di pinggiran kalau di tengah kita membiarkan kebohongan berakar?
Kapolri mungkin sedang bicara dengan tulus. Tapi sejarah tak menilai niat, melainkan hasil.
Dan sejarah sedang mencatat: saat rakyat bertanya soal keaslian ijazah seorang presiden, Polri tak berdiri bersama masyarakat—ia memilih diam. Atau lebih tepatnya: melindungi.
Di negeri ini, dalang bisa siapa saja. Tapi selama yang memegang wayang adalah kekuasaan, kebenaran akan terus jadi bayang-bayang yang tak pernah punya panggung.
Ada Apa dengan Kapolri?
Kita tak tahu apa yang sedang terjadi di dalam hati seorang jenderal. Tapi kadang, dalam terang cahaya blencong wayang kulit, sesuatu yang tersembunyi mencuat ke permukaan.
Bukan karena tokoh Pandawa berkata, bukan karena dalang menuding, tapi karena bayang-bayang itu sendiri bicara.
Pada malam perayaan Hari Bhayangkara ke-79, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kapolri, bicara bukan dalam nada komando, melainkan seperti seseorang yang sedang berusaha memahami tubuhnya sendiri—tubuh besar bernama Kepolisian Republik Indonesia.
Ia berkata, “Kami selalu minta dan membuka ruang untuk dikoreksi dan dievaluasi.”
Pernyataan ini keluar tidak lama setelah aroma perubahan—bahkan pergantian—Kapolri berembus dari lorong-lorong istana kekuasaan.
Di negeri ini, pernyataan seorang pejabat tinggi tidak pernah hanya tentang makna katanya, tapi juga tentang momen ketika ia mengatakannya.
Kata-kata sang jenderal hadir di tengah riuh rendah suara publik tentang buruknya citra Polri: kasus penyiksaan, pemerasan, penyalahgunaan wewenang, hingga aparat yang tak segan jadi centeng bagi para penguasa.
Dan di tengah segala itu, ada bisik-bisik yang makin nyaring: “Kapolri akan diganti.”
Lalu, mengapa tiba-tiba bicara tentang evaluasi? Apakah ini penyesalan, peringatan, atau permintaan maaf yang disampaikan dalam bahasa simbolik? Atau sekadar strategi bertahan?
Ataukah, justru, ini yang paling menyakitkan: bahwa ia sendiri tahu ada yang tak bisa lagi dikendalikan, bahkan dari balik pangkat bintang empat dan segala protokoler institusinya?
Goenawan Mohamad pernah menulis bahwa kekuasaan seringkali tak memiliki wajah, hanya bayangannya yang tampak.
Maka pernyataan Kapolri, dalam suasana yang seremonial, bisa jadi adalah bentuk keputusasaan yang dibungkus dengan kesantunan. Seperti dalang yang tahu bahwa lakon yang dimainkannya tak lagi miliknya.
Lakon itu sudah dikuasai oleh penonton yang mendesak, oleh pemilik hajatan, oleh “istana” yang tak selalu tampak tapi mengatur segala.
Sungguh ironis. Ketika seorang jenderal tertinggi meminta masyarakat untuk memberi kritik, justru karena kritik telah datang tanpa diminta.
Ia datang dalam bentuk kemarahan di media sosial, dalam laporan-laporan jurnalis, dalam obrolan warung kopi, bahkan dalam ketakutan yang diam-diam di kampung-kampung.
Ia datang karena masyarakat tahu: Polri adalah lembaga yang paling dekat dengan kekuasaan—dan kadang, menjadi wajah kekuasaan itu sendiri.
Maka, ketika Jenderal Listyo Sigit menyebut bahwa kritik adalah tanda cinta, itu terdengar seperti doa seorang ayah yang tahu anak-anaknya mulai muak, tapi ia masih ingin diyakini bahwa cinta mereka belum mati.
Tapi cinta, seperti juga kepercayaan, bukan soal doa atau kata-kata. Ia lahir dari laku.
Dan jika ada yang bisa menjelaskan bagaimana cinta pada institusi bisa pulih, maka ia bukan datang dari pidato, tapi dari keberanian: membersihkan tubuh sendiri, meski itu berarti menanggalkan atribut, melepas kebanggaan palsu, dan mengakui luka yang tak bisa lagi ditutup oleh seragam.
Ada apa dengan Kapolri? Mungkin ia sedang bicara pada dirinya sendiri.
Dan pada malam yang sunyi, di bawah bayang tokoh-tokoh wayang yang diam namun bercerita, seorang jenderal mungkin tahu: bahwa ia memimpin sebuah institusi yang tengah kehilangan makna.
Dan dalam dunia yang terus berubah—kadang yang paling menakutkan bukanlah ketika rakyat tak mencintai lagi, tapi ketika mereka sudah tidak peduli.
Sumber: FusilatNews