Jika Bobby Masuk Bui, Apakah Edy Bisa Naik Lagi? Uji Materi UU Pilkada Bisa Jadi Jalan Pulang!
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Berapa banyak dan apa saja kasus yang menghantui Bobby Nasution, menantu Presiden Joko Widodo?
Pertanyaan ini layak diajukan seiring dengan bayangan-bayangan kasus hukum yang terus mengikuti langkah politik Bobby, mirip seperti bayangan masalah yang selama ini membayangi sang mertua—mulai dari dugaan ijazah palsu hingga isu ijazah ganda (Drs. dan Ir.) yang masih kabur asal-usul legalitasnya.
Sejak menjabat sebagai Wali Kota Medan, Bobby sudah disorot publik dalam berbagai dugaan pelanggaran hukum.
Salah satunya adalah dugaan gratifikasi yang bahkan pernah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, kekuatan politik Jokowi saat itu tampaknya masih terlalu besar untuk disentuh.
Bandingkan dengan nasib Hasto Kristiyanto—sosok yang tak begitu dekat dengan Jokowi—yang langsung diperiksa intensif oleh KPK.
Lembaga antirasuah itu bak ‘banteng perkasa’ terhadap Hasto, tetapi seolah menjadi ‘anak kucing jinak’ saat menyentuh lingkar dalam keluarga Jokowi.
Kini, badai kembali datang. Bobby kembali terseret dalam dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatra Utara. Beberapa tangan kanannya telah ditangkap KPK.
Salah satunya berinisial TOP, yang diketahui menjabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Medan saat Bobby menjabat wali kota.
Tak hanya itu, Bobby dan istrinya, Kahiyang Ayu, disebut-sebut terkait dengan sebuah kode wilayah tambang di Blok Medan.
Dugaan ini mengejutkan banyak pihak karena blok tersebut diduga berkaitan langsung dengan keluarga Presiden.
Jika Bobby benar-benar ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dalam kasus ini, maka secara otomatis ia harus diberhentikan sementara dari jabatannya melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Dalam skenario seperti ini, jabatan Gubernur Sumatera Utara—jika ia terpilih dalam Pilkada 2024—akan diisi oleh Wakil Gubernur sebagai Pelaksana Tugas (Plt), sesuai dengan Pasal 78 jo. Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Lalu, bagaimana dengan nasib calon gubernur yang kalah?
Secara logika dan etika hukum, apabila Bobby dalam posisi sebagai Wali Kota Medan sebelum Pilkada sudah terbukti melakukan tindak pidana, maka ia seharusnya tidak layak maju dalam Pilgub Sumut.
Namun sayangnya, tak ada ketentuan eksplisit dalam hukum positif yang melarangnya sejauh belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Dalam hal ini, pasangan calon yang kalah, misalnya Edy Rahmayadi atau kandidat lain, dapat menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 78 jo. Pasal 76 UU 23/2014.
Tujuannya adalah mendorong MK agar menambahkan klausul penting yang memberikan keadilan elektoral dan moral dalam pilkada, berbunyi:
“Apabila calon gubernur terpilih, setelah pemilihan diketahui melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terbukti melakukan tindak pidana umum atau korupsi, maka demi kepastian hukum dan rasa keadilan, jabatan gubernur diserahkan kepada pasangan yang memperoleh suara terbanyak berikutnya.”
Lebih lanjut, sebelum inkracht, DPRD Provinsi dapat mengangkat penjabat sementara (PJS) Gubernur dengan kewajiban untuk melanjutkan program lama dan berkonsultasi secara aktif dengan Kemendagri.
Kenapa Ini Penting?
Masyarakat Sumut sebagai pemilih berhak mendapatkan pemimpin yang tidak hanya sah secara administratif, tetapi juga bersih secara moral dan hukum.
Jika seorang calon kepala daerah terbukti melakukan tindak pidana berat, maka ia tidak layak mengelola uang rakyat dan membuat kebijakan publik.
Karena itu, Mahkamah Konstitusi wajib mempertimbangkan hak-hak konstitusional calon yang kalah dan para pemilihnya—mereka adalah bagian dari rakyat yang secara langsung menanggung beban moral, material, dan bahkan fisik akibat dari dipilihnya seorang pemimpin yang bermasalah hukum.
Sebab dalam negara hukum, keadilan bukan hanya milik pemenang.
Keadilan juga harus ditegakkan untuk mereka yang kalah secara elektoral namun unggul secara etika dan moral.
Jika tidak, maka publik akan terus dipaksa memilih antara pemimpin yang kuat tapi rapuh secara hukum, atau pejabat pelaksana yang hanya “numpang lewat” dan tak punya legitimasi rakyat.
Apakah Edy Rahmayadi akan kembali menjadi Gubernur Sumut?
Bisa jadi jika Bobby benar-benar tersandung kasus besar dan jika Mahkamah Konstitusi bersedia membongkar logika hukum yang selama ini tumpul ke atas. ***