DEMOCRAZY.ID - Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda, membocorkan sedikit hasil kajian sementara yang dilakukan DPR dalam menyikapi soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dengan daerah.
Kajian itu dibahas dalam rapat konsultasi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/6/2025) dihadiri pimpinan DPR, Komisi II DPR, Komisi III DPR, dan Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Kemudian perwakilan pemerintah yang hadir Menteri Hukum (Menkum), Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), serta unsur penyelenggara pemilu.
Menurutnya, dari kajian sementara ada beberapa persoalan yuridis dari apa yang dilakukan MK.
"Belum sampai pada kesimpulan. Jadi kami sedang melakukan kajian saya tadi udah bocorin dari kajian sementara kami paling tidak, ada beberapa persoalan yuridis yang sangat serius," kata Rifqi di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.
Pertama, kata dia, adanya putusan MK soal pemisahan pemilu sudah mendahului pembentuk Undang-Undang Dasar.
"Dimana pembentuk Undang-Undang Dasar menyebutkan bahwa gubernur, bupati, wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten, kota dipilih secara demokratis. Demokratis itu maknanya bisa langsung bisa tidak langsung tapi kemudian MK dalam tanda kutip menyimpulkan bahwa harus dilakukan pemilu yang itu artinya dipilih secara langsung," katanya.
Kemudian persoalan kedua, kata dia, MK sebelumnya sudah memberikan keputusan pada 2019 terkait 6 varian keserantakan pelaksanaan pemilu.
"Yang oleh MK sendiri disebutkan Pembentuk Undang-Undang diberikan hak untuk melakukan open legal policy. Artinya kami diminta untuk memilih satu di antara enam. Nah sekarang kami sedang mau revisi, kan pemilunya juga masih lama, 2029 kok tiba-tiba MK menetapkan sendiri salah satu daripada itu," katanya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, posisi MK kekinian telah melampaui, tidak hanya menentukan UU konstitusional atau inkonstitusional tapi juga telah membuat norma sendiri.
"Nah kalau kemudian ini terus terjadi maka kemudian kita kan tidak akan menghasilkan satu demokrasi konstitusional dan negara hukum yang baik. Nanti kami revisi Undang-Undang pemilu, belum dilaksanakan di judicial review diterbitkan norma baru. Kemudian kita hadirkan lagi," katanya.
"Nah kalau seperti ini terus menurut pandangan saya Kita tidak bisa saling menghargai antar lembaga negara. Karena itu kemudian izinkan sekali lagi DPR dan Pemerintah melakukan pencermatan yang sangat serius terhadap putusan MK terbaru ini," sambungnya.
Kendati begitu, kata dia, putusan MK itu mengikat dan harus dilaksanakan. DPR masih akan terus melakukan kajiannya.
"Jadi kami pastikan apapun yang akan dilakukan oleh DPR pasti akan mengacu pada konstitusionalitas konstitusi," pungkasnya.
NasDem Tolak Pemisahan Pemilu: Langgar UUD, Inkonstitusional!
Partai NasDem menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan skema Pemilu karena dinilai melanggar UUD 1945 serta bersifat inkonstitusional.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat menyebut pemisahan Pemilu Presiden, DPR, DPD, Kepala Daerah dan DPRD yang dilakukan MK lewat putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah melanggar UUD 1945.
Rerie yang juga merupakan Wakil Ketua MPR mengatakan hal itu bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali.
"Oleh karenanya Putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional," ujarnya dalam konferensi pers di NasDem Tower, Senin (30/6).
Ia menjelaskan pemilihan DPRD dan Kepala Daerah juga telah termasuk dalam bagian Pemilu. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 22E UUD 1945 dan Putusan MK 95/2022.
Sehingga, kata dia, secara konstitusional Pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda.
Di sisi lain, Rerie mengatakan jika putusan MK tersebut dilaksanakan maka hanya akan menimbulkan krisis atau deadlock constitutional, sebab akan bertentangan dengan ketentuan di Pasal 22E UUD 1945.
Lebih lanjut, NasDem menilai MK dalam kapasitas sebagai guardian of constitution tidak diberikan kewenangan untuk merubah norma dalam UUD.
Sehingga putusan MK terkait pergeseran pemilihan kepala daerah dan DPRD diyakini melampaui masa pemilihan 5 tahun inkonstitusional dan bertentangan dengan pasal 22B UUD 1945.
"MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah)," tuturnya.
Sebelumnya, DPR RI ternyata diam-diam sudah menggelar Rapat Konsultasi bersama pemerintah untuk menyikapi adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan Pemilu nasional dengan daerah. Rapat digelar secara tertutup.
Dari informasi yang dihimpun awak media, rapat konsultasi itu dihadiri pimpinan DPR, Komisi II DPR, Komisi III DPR, dan Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Lalu dari perwakilan pemerintah hadir Menteri Hukum (Menkum), Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), serta unsur penyelenggara pemilu.
"Ya tadi kami baru saja diundang oleh pimpinan DPR, Bapak Prof. Dr. Sufmi Dasco Ahmad dan pimpinan yang lain, membicarakan terkait dengan respons DPR soal putusan Mahkamah Konstitusi terbaru yang memberikan gambaran kepada kita bahwa pemilu ke depan harus dilakukan dengan dua model pemilu," kata Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/6/2025).
Menurutnya, diskusi dengan pemerintah berlangsung mendalam dan komprehensif.
Ia mengatakan, bahwa DPR masih melakukan penelaahan, sehingga belum bisa menyampaikan sikap resmi menyikapi putusan MK tersebut.
"DPR belum memberikan sikap resmi, izinkan kami melakukan penelaahan secara serius terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut," ujarnya.
Sumber: Suara