DEMOCRAZY.ID - Pengamat politik, Muhammad Said Didu, melalui kanal YouTube pribadinya pada Rabu (25/6/2025), mengulas secara kritis sepuluh aspek kebijakan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang ia sebut diwarnai praktik “makelar”.
Setelah sebelumnya membahas infrastruktur dan utang, kali ini Said Didu secara khusus menyoroti dugaan penggunaan hukum sebagai alat makelar oleh rezim Jokowi.
Didu mengklaim bahwa puncak pembelokan hukum terjadi di era Jokowi.
Ia menuduh pemerintah memanfaatkan hukum untuk kepentingan tertentu, bahkan mengubah konstitusi demi kepentingan pribadi, merujuk pada isu terkait putra Presiden.
“Puncaknya pembelokan hukum memang terjadi di rezim Jokowi,” ujar Said Didu.
Ia juga menyinggung revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang, menurutnya, dirampungkan secara terburu-buru dan dihadiri hanya sebagian kecil anggota DPR.
Didu menduga perubahan UU ini bertujuan memindahkan KPK di bawah kendali Presiden, sehingga memungkinkan praktik tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi.
Ia bahkan secara spesifik menyebut peran Fahri Hamzah dalam proses tersebut.
Lebih lanjut, Didu menuduh rezim Jokowi berulang kali memanfaatkan kasus hukum untuk kepentingan kekuasaan.
Ia mengklaim ada sejumlah ketua partai atau pemimpin politik yang kasus hukumnya diancam, dan bisa “bebas” asalkan memenuhi keinginan Jokowi.
Ia memberikan beberapa contoh dugaan kasus. Kasus Ketua PAN.
Diduga terkait pelepasan aset lahan yang kemudian “tertutup” setelah yang bersangkutan tetap loyal kepada Jokowi.
Kasus Airlangga Hartarto. Didu menyebut Ketua Umum Partai Golkar itu dipanggil dan diminta mundur, lalu seluruh Partai Golkar tunduk dan menyerahkan kepemimpinan kepada Bahlil Lahadalia.
Kasus Minyak Kelapa Sawit Mentah (CPO). Terungkapnya praktik suap kepada jaksa, hakim, dan pengacara dalam kasus pengaturan tata niaga CPO.
Didu juga mengingatkan kembali dugaan pelanggaran hutan di awal masa jabatan Jokowi yang sempat diisukan berdenda puluhan triliun rupiah.
Namun, pada akhirnya, para oligarki terkait hanya membayar sejumlah kecil.
Anehnya, menurut Said Didu, setelah itu, keluarga-keluarga yang diduga terlibat pelanggaran tersebut justru menjalin kerja sama bisnis dengan keluarga Presiden Jokowi, mendirikan perusahaan di bidang kuliner dan lainnya.
Selain itu, Didu menyoroti temuan 3,3 juta hektar lahan sawit yang melanggar aturan.
Ia mengklaim bahwa Menko Marinvest saat itu, Luhut Binsar Pandjaitan, sempat ingin menegosiasikan pemutihan pelanggaran tersebut.
Namun, tindakan tegas Presiden Prabowo Subianto yang mengambil alih lahan tersebut untuk dikelola oleh BUMN khusus (Agri Palma) menjadi langkah positif.
Didu juga mengkritik kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Undang-Undang Cipta Kerja, yang disebutnya sebagai contoh nyata “makelar hukum”.
Menurutnya, kedua kebijakan ini memberikan kemudahan bagi oligarki untuk menggusur rakyat dan menerobos aturan yang ada, termasuk terkait lingkungan.
“Saya menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo betul-betul memanfaatkan hukum untuk kekuasaannya dan beliau menjadi biang daripada keberanian seluruh instansi untuk memanfaatkan hukum untuk kepentingan mereka masing-masing,” tegas Didu.
Ia berharap praktik penggunaan aparat hukum untuk kepentingan kekuasaan tidak terulang di masa mendatang.
“Hukum adalah hukum, tidak ada kaitannya dengan kekuasaan, maka kekuasaan penguasa tidak boleh menggunakan aparat hukum untuk kepentingan kekuasaannya atau kepentingan dinastinya,” tutupnya.
👇👇
Sumber: JakartaSatu