'Pecinya Suci, Tangannya Kotor': Yaqut Cholil Kader Terbaik PBNU!
Oleh: M Yamin Nasution,S.H
Pemerhati Hukum
Di langit Palestina, rudal-rudal Iran melesat. Bukan sebagai pembebas, tapi sebagai tanda bahwa dunia Arab, betapapun lama tidur dan saling tikam, masih punya sisa keberanian meski disisipi agenda geopolitik.
Rudal itu menembus pagar-pagar besi Iron Dome, menampar wajah zionisme yang telah menginjak-injak Gaza selama puluhan tahun.
Sementara itu, dari tanah yang mengaku “berkeadaban” dan “beragama”, tak satu pun suara pemuka NU terdengar menggema untuk keadilan Palestina.
Pimpinan-pimpinan organisasi keagamaan sibuk membuka konferensi internasional bertema perdamaian, tapi tak pernah menyebut satu nama pun Israel. Seolah menyebut nama itu bisa mencabut izin ormas.
Yang terdengar hanya selamatan, bukan seruan. Hanya forum, bukan kutukan. Dan lebih parah “hanya proyek, bukan sikap.”
Di antara mereka, ada yang dikenal sebagai Holil Kaumas, tokoh yang sempat memimpin Kementerian Agama. Peci bersih, tapi lembar SPJ-nya kotor.
Diduga mengarahkan dana honor penyuluh agama ke kantong sendiri, dan kini menjadi bagian dari daftar panjang “pembela moral” yang menangguk dunia dari atas nama akhirat.
Para koleganya diam. Tak ada yang menyerukan ayat. Padahal Al-Qur’an jelas berseru:
“Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia letakkan neraca (keadilan). Maka janganlah kamu merusak neraca itu.” — Surah Al-Rahman: 7-8
Tapi neraca itu, kini ditimang-timang oleh tim jaksa. Bukan oleh mufti. Bukan oleh ulama.
Karena saat keadilan dilanggar oleh sesama mereka, suara mereka lebih tipis dari doa fajar.
Genosida di Palestina bukan hanya krisis kemanusiaan. Itu ujian teologis. Tapi para petinggi NU gagal. Mereka memilih diam. Tidak karena tidak tahu, tapi karena tidak untung.
Mereka tahu betul cara menyusun kitab, tapi tak tahu cara menegakkan isinya. Mereka tahu ayat tentang wudhu, tapi lupa bahwa darah yang tertumpah juga najis.
Mereka bicara negara, tapi diam ketika negara digunakan untuk membunuh rakyatnya sendiri di tempat lain.
Kini, ketika rudal Iran melayang ke langit Israel, dunia bicara. Tapi di sini, para ulama diam.
Mereka lebih sibuk menyiapkan Muktamar, bukan menyiapkan keberpihakan.
Mereka lebih gelisah jika kursi direbut sesama, daripada jika tanah Palestina dirampas musuh bersama.
Apakah mereka takut? Atau sudah terbeli? Atau, yang lebih mengerikan, sudah terbiasa hidup dalam kebohongan berjubah suci?
Kita tak tahu pasti. Tapi satu hal jelas, kitab suci yang mereka bacakan tiap hari, kini sedang bersaksi terhadap kemunafikan mereka. Dan untuk itu, bahkan rudal Iran pun tak cukup sebagai pengingat.
Praktik Lancung Jual Beli Kuota Haji: 'Yaqut Cholil Melenggang Bebas!'
Penetapan kuota haji 2025 ini telah mengingatkan kembali pada kasus dugaan jual beli kuota haji di era Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Yaqut disebut melakukan pengalihan kuota haji hingga jual beli kuota.
Buntutnya, Yaqut pun dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yaqut dilaporkan lima kelompok masyarakat dan Aliansi Mahasiswa dan Pemuda untuk Keadilan Rakyat atau Amalan Rakyat.
Koordinator Amalan Rakyat Raffi Maulana menilai Yaqut diduga menyalahgunakan wewenang dan melakukan perbuatan melawan hukum terkait pengalihan kuota haji reguler ke haji khusus sebesar 50 persen secara sepihak.
Hal ini dianggap melanggar Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Sebab, berdasarkan undang-undang tersebut, kuota haji khusus ditetapkan hanya sebesar 8 persen dari kuota haji Indonesia.
Sementara itu, laporan dari lima kelompok masyarakat itu menilai Yaqut melanggar ketentuan Pasal 64 ayat 2 UU Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Pasal itu menyatakan kuota haji khusus hanya sebesar 8 persen dari total kuota haji Indonesia.
Realisasinya, Kementerian Agama menetapkan kuota haji khusus sebesar 27.680 atau 11 persen dari total 241 ribu kuota haji Indonesia. Hingga saat ini, kasus tersebut tak kunjung diusut KPK.
Adapun dugaan penyelewengan kuota haji 2024 berawal dari temuan Pansus Angket Haji pada tahun lalu.
Pansus Haji sendiri dibentuk ketika Tim Pengawas atau Timwas Haji DPR menemukan sejumlah masalah krusial penyelenggaraan haji di bawah kewenangan Kemenag tersebut.
DPR kemudian menyepakati pembentukan Pansus Haji untuk mengevaluasi pelaksanaan ibadah haji 1445 Hijriah.
Pansus ini resmi dibentuk melalui rapat paripurna pada Kamis, 4 Juli 2024. Bahwa kala itu, Pansus Haji DPR meyakini Kemenag melanggar ketentuan pembagian kuota jemaah haji 2024.
Anggota Pansus Haji DPR, Wisnu Wijaya mengatakan pelanggaran pembagian kuota haji terjadi ketika Kemenag merinci kuota jemaah haji menjadi 221.000 kuota haji reguler dan 20.000 kuota haji tambahan.
Dari jumlah kuota tambahan itu, Kemenag membaginya menjadi masing-masing 10 ribu slot untuk haji reguler dan khusus.
Padahal, berdasarkan hasil rapat Panitia Kerja Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), kuota jemaah haji 2024 sudah ditetapkan sebanyak 241.000, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2024,
“Rinciannya, 221.720 jemaah reguler dan 19.280 jemaah haji khusus,” kata Wisnu pada Sabtu, 14 September 2024 lalu.
Kemenag tak perlu membagi kuota haji tambahan menjadi dua kategori. Sebab, ketentuan pembagian kuota haji telah diatur dalam Keppres tentang BPIH.
“Kuota tambahan 20 ribu itu sudah diakomodir di dalam 241.000 kuota jemaah haji 2024, ini disepakati dalam rapat Komisi VIII dengan Kemenag pada 27 November 2023,” bebernya.
Menurutnya keputusan Kemenag membagi kuota tambahan menjadi dua kategori berpotensi melanggar UU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Penetapan kuota haji tambahan itu, kata Wisnu, tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 64 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah karena melebihi delapan persen dari total kuota jemaah haji.
“Artinya, pembagian kuota haji tambahan menjadi masing-masing 10 ribu untuk haji reguler dan khusus lewat Keputusan Menteri Agama tidak sah alias ilegal karena tidak ada dasar hukumnya,” kata Wisnu.
Selain pembagian kuota yang tidak sesuai aturan, Pansus Haji juga menemukan 3.500 kuota tanpa masa tunggu.
Pansus juga menemukan dugaan manipulasi data di Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) yang membuat jadwal keberangkatan jemaah tidak sesuai dengan ketentuan.
“Ada yang dimajukan lebih awal dan ada yang diundur sehingga memunculkan kecurigaan adanya transaksi di luar prosedur resmi di sini,” kata Wisnu.
Pelaporan data keberangkatan haji khusus melalui sistem Siskohat dan Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (Siskopatuh) juga tidak berjalan real-time, sehingga data keberangkatan sering kali terlambat atau tidak lengkap.
“Bahkan setelah operasional haji selesai, beberapa Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) belum melaporkan jumlah jemaah yang berangkat. Ini menyebabkan ketidakpastian jumlah jemaah yang berangkat,” kata Haji.
Selain itu, Pansus Haji menemukan bahwa proposal penambahan kuota haji tambahan bukan dari Arab Saudi, tapi dari Kemenag.
Menurut Pansus Haji, hal itu melanggar aturan karena kuota haji khusus hanya boleh 8 persen dari seluruh kuota haji.
Pansus haji juga menemukan tidak ada regulasi jelas soal pelunasan kuota, sehingga hanya jemaah yang memiliki akses informasi dan sumber daya dari PIHK tertentu bisa lebih diuntungkan dibanding yang lain, yakni terkait percepatan keberangkatan.
Wisnu juga mencurigai adanya praktik lancung jual beli kuota pemberangkatan Ibadah haji. Sebab, dalam beberapa informasi di lapangan, diperoleh adanya jemaah haji jalur khusus yang membayar biaya lebih besar dari umumnya.
"Informasi yang kami temukan, ada jemaah yang jika ingin diberangkatkan mesti membayar dengan jumlah biaya furoda, atau sekitar Rp 300 juta," kata Wisnu.
Padahal, biaya haji jalur khusus, umumnya menarifkan jemaah untuk membayar Rp 160 juta. Namun, mereka yang membayar biaya tarif standar acapkali ditakut-takuti akan dimundurkan waktu keberangkatannya.
"Kami belum mengetahui siapa pihak yang bermain, namun disinyalir kuat ini dilakukan tidak oleh satu pihak saja alias kongkalikong," ujar dia.
Di sini lah Wisnu mencurigai terdapat indikasi jual-beli kuota pemberangkatan. Sebab, celah tersebut dapat dimanfaatkan oleh segelintir pihak tanpa mendapat pengawasan dari tim pengawas haji DPR selaku pengawas eksternalnya.
INFO! KPK Digugat Karena Dinilai 'Hentikan' Kasus Korupsi Kuota Haji Eks Menag Yaqut Tanpa Alasan Yang Jelas
DEMOCRAZY.ID - Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (Arruki) menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Gugatan ini dilayangkan karena KPK dinilai menghentikan penyidikan dugaan korupsi dalam penyelenggaraan haji yang diduga melibatkan mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas.
Ketua Umum Arruki, Marselinus Edwin Hardhian mengungkapkan, laporan dugaan korupsi tersebut telah disampaikan oleh kelompok masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Perempuan Indonesia (JPI) pada Agustus 2024.
Namun, hingga Mei 2025, belum ada perkembangan signifikan dari KPK terkait laporan dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tersebut.
“Bahwa pada tanggal 6 Agustus 2024, kelompok masyarakat yang tergabung dalam JPI mengajukan laporan kepada KPK terkait dugaan tindak pidana KKN yang diduga dilakukan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas,” kata Marselinus, dalam keterangannya, Rabu (14/5/2025).
“Termohon mengatakan bahwa pihaknya sedang melakukan pemeriksaan terhadap laporan tersebut,” tambah dia.
Marselinus menjelaskan bahwa dalam laporan tersebut terdapat dugaan penyimpangan serius, termasuk masalah pungutan biaya haji yang melebihi ketentuan dan pengalihan kuota haji reguler ke haji khusus secara sepihak.
Selain laporan di KPK, Marselinus juga merujuk pada temuan Panitia Khusus Angket DPR yang menyebut adanya indikasi korupsi dalam penyelenggaraan haji 2024.
Ia menyebut pelaksanaan ibadah haji tahun lalu sebagai yang “terburuk sepanjang sejarah”, dengan banyak jemaah mengalami masalah serius, bahkan ada yang meninggal dunia.
“Banyak jemaah yang tidak mendapatkan tenda, makanan, kamar hotel, bahkan ada laporan beberapa orang meninggal dunia akibat ketidakberesan penyelenggaraan haji,” kata Marselinus.
“Ada juga korban yang gagal berangkat ke Tanah suci karena tindak pidana korupsi dalam kuota haji ini,” tambah dia.
Menurut Marselinus, setidaknya sudah ada lima laporan yang masuk ke KPK terkait dugaan pelanggaran oleh Menteri Agama, namun semuanya belum menunjukkan penanganan yang transparan.
Ia menilai, lambannya tindak lanjut oleh KPK dapat dikategorikan sebagai bentuk penghentian penyidikan secara diam-diam atau materiil, yang tidak sah menurut hukum.
“Tindakan KPK yang tidak menindaklanjuti berbagai laporan tersebut dapat dikatakan sebagai penghentian penyidikan secara diam-diam yang tidak sah dan melawan hukum,” ujar dia.
Berdasarkan informasi yang dimuat di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan, perkara ini telah teregister dengan nomor 59/Pid.Pra/2025/PN.Jkt.Sel.
Sidang perdana perkara praperadilan melawan KPK dijadwalkan berlangsung pada Selasa, 20 Mei 2025 mendatang.