CATATAN POLITIK

Ketika Tentara Sudah Turun Gunung, Sebaiknya Gibran Segera Mengundurkan Diri!

Democrazy Media
Juni 04, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Ketika Tentara Sudah Turun Gunung, Sebaiknya Gibran Segera Mengundurkan Diri!
Ketika Tentara Sudah Turun Gunung, Sebaiknya Gibran Segera Mengundurkan Diri!


Ketika Tentara Sudah Turun Gunung, Sebaiknya Gibran Segera Mengundurkan Diri!


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Di negeri ini, sejarah kekuasaan tidak pernah hanya ditulis oleh tinta birokrasi atau getar suara rakyat. 


Ada babak-babak penting yang justru ditentukan oleh mereka yang berbaju loreng—para tentara. Mereka yang diam, tetapi tegas. 


Mereka yang tak banyak bicara, tapi ketika bergerak, berarti segalanya telah melewati titik balik: the point of no return.


Kita tahu, jatuhnya Bung Karno pada 1965 bukan semata karena gerakan mahasiswa. 


Ada Angkatan Darat yang dengan sistematis dan penuh strategi mengambil alih posisi kepemimpinan nasional. 


Jenderal Soeharto bukan hanya menghentikan pengaruh PKI, tapi sekaligus mengambil alih kendali negara, dengan landasan legal dan narasi penyelamatan bangsa.


Begitu pula Soeharto pada 1998. Demonstrasi mahasiswa memang dahsyat, bahkan ada yang gugur di medan demonstrasi. 


Tapi sejarah akan mencatat: Soeharto baru benar-benar tumbang ketika para jenderalnya—Wiranto, Prabowo, dan lainnya—berdiri tak lagi di belakangnya. 


Saat tentara bersikap ambigu, itulah isyarat kuat bahwa kekuasaan berada di ujung tanduk. Maka keesokan harinya, Soeharto pun meletakkan jabatan.


Namun semua itu tidak terjadi dalam era Susilo Bambang Yudhoyono maupun Joko Widodo. 


Meski unjuk rasa meledak di berbagai kota, bahkan sering berlangsung berbulan-bulan, tak satu pun yang menggoyahkan kekuasaan. 


Sebab, satu elemen penting tidak hadir dalam gerakan rakyat tersebut: restu dari kekuatan bersenjata.


SBY aman karena ia sendiri bagian dari militer. Jokowi bertahan karena ia menguasai dan menjinakkan institusi militer melalui berbagai pendekatan politis, penempatan loyalis, serta pemberian ruang kepada perwira aktif dan purnawirawan untuk berada dalam lingkar kekuasaan. 


Selama barak-barak tentara tetap diam, maka tidak ada ancaman nyata terhadap kekuasaan. Tetapi kini angin berubah.


Surat terbuka dari para jenderal senior—purnawirawan dari tiga matra TNI—yang mendesak pemakzulan Gibran Rakabuming Raka bukanlah sekadar kritik moral. Ini adalah pernyataan sikap yang penuh risiko. 


Ini bukan peringatan biasa. Ini pertanda bahwa pagar negara mulai goyah oleh ulah sang penghuni rumah itu sendiri.


Dalam doktrin militer, ketika seorang prajurit diberangkatkan ke medan tempur, ia membawa prinsip yang tidak main-main: point of no return. Artinya, tidak ada jalan mundur. 


Ketika pistol sudah dikokang, ketika sepatu sudah melewati garis perbatasan operasi, maka satu-satunya arah adalah maju — dan menang.


Surat terbuka dari para jenderal itu adalah sinyal bahwa mereka telah turun gunung, bukan untuk kembali ke barak, tapi untuk menyelesaikan sebuah misi. 


Misi konstitusional, demi menyelamatkan republik dari nepotisme dan pembajakan hukum yang terang-terangan.


Jika para jenderal ini bergerak, maka bukan tidak mungkin mereka sudah menimbang segala risikonya. Mereka bukan politisi. 


Mereka tidak mencari popularitas. Mereka adalah penjaga negeri. Jika mereka bicara, itu karena bahaya sudah terlalu dekat dengan jantung republik.


Maka, sebaiknya Gibran mundur. Demi meredam krisis konstitusi yang bisa meluas. Demi menjaga martabat ayahnya yang sudah terlalu dalam menjerumuskan negara ke dalam jebakan dinasti. 


Dan demi menghormati suara moral dari mereka yang dulu mengorbankan hidupnya untuk merah putih — para jenderal itu.


Mengundurkan diri bukan bentuk kelemahan. Itu justru jalan kehormatan terakhir. 


Karena ketika tentara sudah turun gunung, permainan kekuasaan bukan lagi soal menang atau kalah. Ia telah berubah menjadi soal menjaga atau menghancurkan republik ini.


Indonesia telah melewati banyak badai. Tapi selalu ada satu kekuatan yang memastikan kapal ini tetap berlayar lurus: militer yang setia pada rakyat, bukan pada kekuasaan.


Jika para jenderal kini memilih untuk bersuara, maka demokrasi kita sedang berada di titik kritis.


Dan jika Gibran masih ingin menyelamatkan sejarah keluarganya — maka sebelum badai benar-benar menerjang, sebelum kekuasaan kehilangan kendali, mundurlah. Karena ketika tentara sudah turun gunung, jalan pulang tidak lagi tersedia. ***


4 Jenderal Purnawirawan TNI Surati MPR-DPR Dorong Pemakzulan Gibran, Siapa Saja?


4 Jenderal Purnawirawan TNI Surati MPR-DPR Dorong Pemakzulan Gibran, Siapa Saja?


DEMOCRAZY.ID - Forum Purnawirawan Prajurit TNI menyurati DPR dan MPR untuk memproses pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dari posisi Wakil Presiden.


Sekretaris Forum Purnawirawan Prajurit TNI Bimo Satrio membenarkan surat tersebut. 


Surat bernomor 003/FPPTNI/V/2025 itu telah dikirimkan ke Sekretariat Jenderal MPR dan Sekretariat Jenderal DPR pada Senin (2/6/2025).


"Ya betul sudah dikirim dari Senin. Sudah ada tanda terimanya dari DPR, MPR, dan DPD," ujar Bimo saat dihubungi, Selasa (3/6/2025).


Dorongan pemrosesan pemakzulan Gibran tersebut tertera dalam surat tertanggal 26 Mei 2025, yang ditujukan kepada Ketua MPR Ahmad Muzani dan Ketua DPR Puan Maharani.


"Dengan ini, kami mengusulkan kepada MPR RI dan DPR RI untuk segera memproses pemakzulan (impeachment) terhadap Wakil Presiden berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku," demikian bunyi surat tersebut.


Surat tersebut ditandatangani oleh empat purnawirawan, yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto.


Siapa empat jenderal purnawirawan yang menandatangani surat yang mendorong pemakzulan Gibran itu? Berikut profil singkat keempatnya.


1. Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi


Fachrul Razi merupakan pria yang lahir pada 26 Juli 1947. Ia merupakan sosok purnawirawan yang pernah menduduki kursi Menteri Agama (Menag) pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi).


Sebelum pensiun dari kemiliteran, Fachrul Razi sempat menduduki sejumlah jabatan bergengsi di TNI. Mulai dari Kepala Staf Umum TNI pada 20 Maret 1998 hingga 26 Januari 1999.


Kemudian, Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Keamanan pada 11 Februari 1999 sampai 29 November 1999. Lalu, Wakil Panglima TNI pada 26 Oktober 1999 hingga 20 September 2000.


Fachrul Razi juga merupakan pendiri Bravo 5, yang merupakan salah satu relawan pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019.


2. Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan


Nama lain yang menandatangani surat dorongan untuk memproses pemakzulan Gibran adalah Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan.


Ia lahir pada 7 November 1945, di Bangkalan, Jawa Timur. Hanafie Asnan mengawali karier sebagai militer di TNI Angkatan Udara setelah menyelesaikan pendidikan di Akabri Bagian Udara pada 1 Desember 1969.


Hanafie Asnan diketahui pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) pada 3 Juli 1998 hingga 25 April 2002.


3. Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto


Tyasno Soedarto merupakan pria kelahiran 14 November 1948, di Magelang, Jawa Tengah. Ia menyelesaikan pendidikan militernya di Akabri pada 1970.


Ia pernah menjabat sebagai Pangdam IV/Diponegoro. Kemudian, Tyasno Soedarto dipromosikan menjadi Kepala Badan Intelijen Strategis TNI pada 1999.


Setelah itu, Tyasno Soedarto menempati posisi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada periode 20 November 1999 hingga 9 Oktober 2000.


4. Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto


Nama terakhir yang menandatangani surat permintaan untuk memproses pemakzulan Gibran adalah Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto.


Ia lulus dari pendidikan militer Akabri Bagian Laut pada 1973. Slamet Soebijanto kemudian menempuh pendidikan Alut Baru/Ops. School, Belanda, pada 1980.


Slamet Soebijanto pernah menduduki sejumlah posisi, seperti Kasie Navi KRI Thamrin (1974), Kadep Navop KRI Rakata (1980), Kasilingstra Ditdik Seskoal (1991), dan Waasrenum TNI (2000).


Setelah itu, ia menjabat sebagai Wagub Lemhannas pada 2003. 


Kemudian pada 18 Februari 2005 hingga 7 November 2007, ia ditunjuk sebagai Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL).


Sumber: FusilatNews

Penulis blog