'Jokowi Identik Tidak Waras'
Oleh: Gate 25 Medina
Kita hidup di zaman ketika kebingungan logis tidak lagi jadi aib, tapi justru dirayakan dalam struktur kekuasaan.
Di sinilah kita menyaksikan Joko Widodo mempertontonkan gejala penyimpangan pemikiran serius—kalau tidak ingin disebut sebagai kecenderungan defective reasoning—yang kian merajalela dalam upaya memutlakkan kekuasaan di atas hukum, norma, bahkan logika.
Yang paling mencolok dari Jokowi hari ini bukan hanya kebiasaan menabrak rambu konstitusi atau membelokkan hukum demi anak kandungnya, tapi juga cara berpikirnya yang mulai menyerupai megalomania.
Ketika ijazah sarjananya dipersoalkan publik, ia malah mengangkat seorang rektor menjadi pejabat negara.
Seolah ingin berkata: “Saya tidak perlu pembuktian, saya bisa angkat siapa saja jadi simbol validasi.”
Alih-alih menyanggah dengan bukti, ia memilih mendekorasi narasi.
Ketika hukum menuntut standar minimal—seperti SIM C bagi pengendara motor—ia malah menganggap enteng.
“Yang penting SIM A atau B Umum,” katanya dalam banyak kesempatan.
Padahal dia sendiri saban hari naik motor ke pasar, beli pelitur, amplas, atau utang cat—aktivitas riil yang justru menuntut SIM C.
Ini bukan sekadar pengabaian administratif. Ini adalah bentuk defleksi akal sehat.
Bayangkan jika wacana jabatan tiga periode benar-benar dijalankan.
Bukan tidak mungkin Jokowi akan menertawakan keberadaan strata S2 dan S3.
Bahkan, jika kritik terhadap Gibran terus menyeruak, mungkin S1 pun akan dianggap beban demokrasi.
Ia bisa saja membuat pernyataan: “Yang penting bisa kerja, ngapain kuliah tinggi-tinggi?”
Sebab, dalam kepalanya, pendidikan bukanlah fondasi berpikir, melainkan alat dekorasi loyalitas.
Tiga orang aktivis pernah menceritakan pengalaman mereka ketika bertamu ke rumah Jokowi—di kawasan yang identik dengan kisah persidangan Gus Nur dan BTM.
Di ruang tamu itulah, sang presiden mengucapkan kalimat yang membuat mereka termenung dalam absurditas: “Cuma S1 kok dipermasalahkan. Kecuali S2, S3… saya bingung.”
Lalu ia ulangi dengan versi berbeda: “Cuma S1, bukan S2 atau S3 dipermasalahkan.”
Kalimat yang terdengar ringan ini, diucapkan dengan nada sinis dan percaya diri, memperlihatkan betapa nalar kekuasaan bisa terjerumus menjadi nalar pengabaian.
Ia sedang mengolok-olok struktur intelektualitas sembari menyelamatkan dirinya dari pembuktian publik.
Maka sangat beralasan jika banyak yang menilai Jokowi kini menunjukkan gejala berpikir otoriter dan menolak koreksi.
Ia seperti pemimpin yang merasa hukum adalah perpanjangan dirinya.
Persis para Firaun yang menganggap bahwa kebenaran hanya ada dalam bayangan mereka sendiri.
Defleksi berpikir seperti ini bisa sangat berbahaya.
Karena ia tidak lagi menimbang keputusan dengan kerangka hukum dan akal sehat, tetapi dengan standar “saya bisa, maka saya benar.”
Pola pikir seperti ini adalah jalan licin menuju otoritarianisme.
Kita harus berhenti tertawa ketika logika penguasa mulai mirip dagelan.
Karena di balik dagelan itu, ada kuasa yang sedang membusuk, dan rakyat yang sedang dipermainkan. ***