DEMOCRAZY.ID - Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) menegaskan bahwa seragam loreng yang dikenakan pasukan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) bukan simbol kekuatan militer, melainkan warisan sejarah perjuangan.
Di tengah sorotan pemerintah terhadap larangan atribut ormas yang menyerupai seragam TNI/Polri, GP Ansor menilai persepsi tersebut keliru dan tidak berdasar.
Ketua Pimpinan Pusat GP Ansor, Dwi Winarno, menyatakan bahwa loreng Banser bukan untuk menakut-nakuti atau menunjukkan kekuasaan.
Sebaliknya, motif loreng dengan dominasi warna cokelat dan krem itu mewakili nilai-nilai kesederhanaan dan kerendahhatian yang telah diwariskan sejak era gerilya.
“Membumi itu maksudnya apa? Kalau diperhatikan, loreng-loreng Banser itu lebih didominasi warna cokelat. Nah, cokelat ini identik dengan bumi, kesuburan, ketahanan, keramahan, dan kerendah hatian,” ujar Dwi kepada saat ditemui di kantor DPP GP Ansor, Jakarta, Kamis (19/6/2025).
GP Ansor juga menepis anggapan bahwa Banser termasuk dalam kategori ormas yang kerap melakukan pelanggaran hukum atau aksi intimidatif.
Menurut Dwi, tidak pernah ada kasus hukum yang melibatkan Banser dalam aksi-aksi kekerasan yang selama ini diidentikkan dengan ormas berpakaian militeristik.
“Nama Banser tidak pernah muncul ketika ada ormas yang melakukan pelanggaran hukum. Itu menunjukkan kami menjaga etika dan nilai perjuangan kami,” tegasnya.
Banser sendiri merupakan badan semi-otonom di bawah GP Ansor, organisasi pemuda Nahdlatul Ulama (NU) yang bergerak dalam bidang kemasyarakatan dan keamanan sosial.
Dalam sejarahnya, Banser kerap terlibat aktif dalam penanganan bencana, pengamanan keagamaan, serta kegiatan kemanusiaan lainnya.
Makna Filosofis dan Warisan Kiai-Kiai NU
Dwi menjelaskan bahwa motif loreng Banser telah ditetapkan sejak 1960-an melalui keputusan para kiai, termasuk KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjabat Ketua Umum PBNU.
Warna cokelat dipilih bukan untuk meniru TNI, melainkan mencerminkan perjuangan rakyat saat masa Agresi Militer Belanda.
“Loreng Banser ini didominasi warna cokelat. Ini hasil pertimbangan para kiai, termasuk Gus Dur,” kata Dwi.
GP Ansor pun berharap pemerintah tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga membuka ruang komunikasi untuk memahami konteks kultural dan historis atribut Banser.
Mereka menyatakan siap mengikuti ketentuan hukum, namun menekankan pentingnya tafsir yang adil dan tidak merugikan identitas yang sudah berakar puluhan tahun.
“Kami tunggu arahan. Tapi penting juga membuka ruang komunikasi agar tidak salah tafsir terhadap sejarah dan simbol kami,” tutup Dwi.
Tindak Tegas Ormas Pakai Seragam ala Aparat
Pemerintah memperingatkan organisasi kemasyarakatan (ormas) untuk tidak lagi mengenakan seragam yang menyerupai aparat penegak hukum seperti TNI, Polri, dan Kejaksaan.
Kepala daerah pun diminta bertindak tegas sesuai ketentuan hukum agar tidak terjadi penyalahgunaan simbol negara.
“Kepala daerah wajib menertibkan ormas yang mengenakan atribut serupa aparat penegak hukum. Ini sudah diatur dalam Pasal 59 dan 60 UU Ormas,” ujar Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto, Selasa (18/6/2025).
Berikut poin-poin utama kebijakan Kemendagri larangan ormas mengenakan atribut termasuk seragam mirip TNI/Polri, Kejaksaan dan lebaga negara:
Pemerintah melalui Kemendagri menegaskan larangan seragam ormas yang menyerupai TNI/Polri/Kejaksaan.
Kepala daerah diperintahkan untuk menindak tegas ormas yang melanggar, sesuai UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya menekankan bahwa penertiban harus dilakukan tanpa kompromi.
Dirjen Polpum Kemendagri, Bahtiar, menyatakan bahwa kebebasan berserikat tetap dibatasi oleh hukum dan hak warga negara lain.
Penggunaan seragam mirip aparat dinilai berpotensi menyesatkan publik dan melemahkan kewibawaan institusi negara.
Pemerintah menyebut larangan ini sebagai langkah preventif demi menjaga ketertiban umum dan mencegah penyalahgunaan simbol negara.
Kepala daerah diminta segera memastikan tidak ada ormas di wilayahnya yang melanggar ketentuan atribut tersebut.
Sumber: Tribun