CATATAN HUKUM POLITIK

Fufufafa, Ijazah Jokowi, dan Gibran: Waktunya Prabowo Selamatkan Negara, Bukan Keluarga Jokowi!

DEMOCRAZY.ID
Juni 22, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
HUKUM
POLITIK
Fufufafa, Ijazah Jokowi, dan Gibran: Waktunya Prabowo Selamatkan Negara, Bukan Keluarga Jokowi!
Fufufafa, Ijazah Jokowi, dan Gibran: Waktunya Prabowo Selamatkan Negara, Bukan Keluarga Jokowi!


Fufufafa, Ijazah Jokowi, dan Gibran: Waktunya Prabowo Selamatkan Negara, Bukan Keluarga Jokowi!


Oleh: Damai Hari Lubis

Pengamat Kebijakan Umum Hukum dan Politik (KUHP)


Abstrak

Polemik ijazah D-1, S.E., dan M.M. milik Joko Widodo (Jokowi), serta dugaan pelanggaran etik dan hukum oleh Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka, tak bisa terus dibiarkan mengambang. 


Negara hukum tak menunggu laporan rakyat untuk memulai penyelidikan atas dugaan pemalsuan dokumen publik. 


Saatnya Presiden Prabowo Subianto bertindak. Ia bukan hanya menyelamatkan masa depan pemerintahannya, tetapi juga kehormatan bangsa.


Jokowi seolah lupa cara berterima kasih. Prabowo telah “menyelamatkan” Jokowi dari keretakan politik pasca Pilpres 2019 dengan bersedia menjadi Menteri Pertahanan. 


Namun menjelang akhir masa jabatannya, Jokowi malah mencoba memaksakan wacana tiga periode melalui pembiaran atas suara-suara inkonstitusional dari lingkaran dekatnya: Luhut Binsar Pandjaitan, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, Bahlil Lahadalia, bahkan Ketua MPR dan DPD.


Wacana tersebut akhirnya kandas. Penolakan keras dari Megawati Soekarnoputri, tekanan publik, serta jatuhnya korban jiwa dan luka fisik membuat skenario tiga periode tak bisa dilanjutkan. Tapi aroma kerakusan kekuasaan tak serta merta padam. 


Jokowi justru mengalihkan strategi: menghambat Ganjar Pranowo dan terutama Anies Baswedan melalui manuver hukum—membuka jalan bagi putranya, Gibran, sebagai cawapres melalui “potong usia” oleh Mahkamah Konstitusi.


Namun sejarah mencatat, “jalan pintas” itu mencederai konstitusi. MKMK menjatuhkan sanksi kepada Anwar Usman—paman Gibran dan Ketua MK kala itu—karena terbukti melanggar etik berat. Sebutan “anak haram konstitusi” pun melekat pada Gibran.


Menjelang pelantikan presiden-wapres, publik digegerkan akun “Fufu Fafa”—yang diduga kuat milik Gibran. 


Akun ini merendahkan martabat Prabowo Subianto dan keluarganya. Yang mencengangkan, nomor ponsel yang digunakan akun tersebut identik dengan nomor Gibran saat mendaftar ke KPUD Solo. 


Meski dituduh oleh 99% warganet, Gibran memilih diam. Tak ada klarifikasi, tak ada tanggung jawab.


Jika Jokowi benar-benar negarawan, ia mestinya sadar bahwa langkah terbaik adalah meminta Gibran mundur dari kursi RI-2. 


Bukan hanya karena soal etika dan wibawa, tetapi juga kapasitas intelektual Gibran yang sering jadi bahan cibiran karena tampak kesulitan menjawab pertanyaan media sederhana. 


Ia juga diterpa rumor negatif soal penyalahgunaan, serta keterlibatan keluarganya (Kaesang, Bobby, Kahiyang) dalam isu-isu yang menyerempet KPK.


Ditambah lagi, kebenaran ijazah Gibran setara D-1 juga tengah diragukan publik. 


Seorang alumni D-1 dengan jam terbang politik secuil tentu tidak layak mendampingi Jenderal bintang empat alumni Akmil. 


Maka, wajar jika sebagian besar elite TNI dan menteri kabinet Prabowo kelak hanya akan menghormati Gibran secara formal, bukan karena kapabilitas.


Kini Jokowi hanya disokong oleh relasi personal dengan Kapolri Listyo Sigit. Namun, kendali politik dan hukum sepenuhnya berada di tangan Prabowo. 


Bila Prabowo memerintahkan Kapolri atau Jaksa Agung untuk mengusut tuntas kasus “Fufu Fafa” dan dugaan ijazah palsu Jokowi, maka baik Gibran maupun Jokowi sendiri bisa jadi bukan lagi penguasa—melainkan terdakwa di pengadilan.


Lucunya, Jokowi malah mengeluarkan pernyataan defensif, “Pilpres kemarin kan satu paket, bukan sendiri-sendiri…” seolah menolak pemakzulan Gibran karena khawatir efek domino terhadap posisinya sendiri. 


Padahal, tanggung jawab hukum atas kejahatan individu—seperti dugaan akun Fufu Fafa—bukanlah tanggung jawab kolektif. Presiden tidak ikut terseret karena wakilnya melakukan pelanggaran.


Jika Gibran mengundurkan diri secara sadar, ia dan Jokowi masih punya ruang untuk dipuji sebagai negarawan. 


Namun bila kelak dipaksa turun lewat jalan konstitusional, maka badai hukum akan menyapu tidak hanya Gibran, tapi juga seluruh keluarga Jokowi. 


Tuduhan soal ijazah palsu, nepotisme, abuse of power, hingga keabsahan gelar-gelar akademik keluarga Jokowi akan menjadi titik awal gelombang pengusutan besar-besaran.


Indonesia adalah negara hukum. Dalam konteks dugaan pemalsuan ijazah—sebagai delik umum—penyidik tidak perlu menunggu laporan masyarakat. 


Fakta bahwa ijazah itu telah digunakan dalam jabatan publik sudah cukup menjadi alasan penyelidikan.


Jika Prabowo sungguh mencintai negeri ini, saatnya ia berhenti menjadi pelindung keluarga Jokowi. 


Sebaliknya, ia harus berdiri sebagai pelindung konstitusi dan masa depan bangsa. ***

Penulis blog