Dari Solo ke Istana: Sebuah Perjalanan Penuh Tipu Daya!
Oleh: Damai Hari Lubis
Barangkali sejarah akan mencatat Jokowi sebagai sosok yang penuh paradoks. Ia disebut sederhana tapi dikelilingi kemewahan kekuasaan.
Disebut jujur, namun jejak langkahnya dibayang-bayangi tanya tak terjawab.
Ia dielu-elukan rakyat kecil, tapi langkah-langkahnya menjulang di atas pundak aparat yang justru kerap membungkam suara kecil itu sendiri.
Andai, ya andai. Sebab sejarah di negeri ini kerap ditulis dengan tinta spekulasi.
Bila saja saat mendaftarkan diri sebagai calon Wali Kota Solo pada 2005, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) benar-benar menjalankan fungsi verifikasi ijazah Jokowi dengan penuh kehati-hatian, mendatangi UGM dan SMA-nya, memeriksa legalitas dokumen yang ia sodorkan—bukan hanya salinannya yang dilegalisir—bisa jadi cerita kita hari ini bukan tentang Presiden dua periode, melainkan perkara pidana pemalsuan dokumen.
Pasal demi pasal bisa membelitnya: Pasal 68 UU Pendidikan Nasional, disusul pasal-pasal dalam KUHP—263, 264, 266.
Sebab jika dua gelar sekaligus—Drs dan Ir—ia sandang dari UGM dalam waktu yang sama, ini bukan cuma tak lazim, tapi mendekati mustahil.
Kecuali kita percaya, UGM adalah Hogwarts dan Jokowi adalah penyihirnya.
Tapi siapa yang sudi memeriksa terlalu dalam, jika gelombang kekuasaan mengangkat seseorang lebih tinggi dari keraguan?
Jokowi bukan cerdas. Ia hanya nekad. Dan dalam dunia yang dikuasai oleh ketakutan dan loyalitas murah para aparat, kenekadan seringkali lebih berharga ketimbang kecerdasan. Ia memulai dari dukungan partai, dari relasi yang penuh kepentingan.
Ia dibesarkan oleh jejaring kekuasaan yang tak segan menyodorkan peran kepada siapa pun yang siap bersekutu. Maka yang lahir bukan seorang negarawan, tapi manajer kekuasaan.
Sejak Solo, Jakarta, hingga ke Istana, yang Jokowi gunakan bukan alat pemikir, melainkan alat pengaman.
Ia memanen para aparat yang bisa dibeli loyalitasnya, didisiplinkan diamnya, dijinakkan sumpahnya.
Simbiosis mutualisme: ia naik, mereka kenyang. Dan rakyat? Tinggal menghitung sisa remah.
Seandainya aparat bersih dan tegak lurus, barangkali Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) tidak perlu bersuara lantang ke Dumas.
Laporan mereka tentang dugaan pemalsuan dokumen cukup disambut aparat yang bekerja atas dasar hukum, bukan pesanan politik. Karena delik semacam itu bukan delik aduan, cukup bukti dan nyali.
Namun kenyataannya, tak hanya laporan mereka yang tak digubris, bahkan mereka justru berbalik dibidik.
Roy dan Rismon Sianipar—dua ilmuwan IT yang bicara berdasar riset—dituding macam-macam.
Mereka dianggap pembuat gaduh, bukan pembawa terang. Padahal yang mereka sampaikan bukan retorika politik, tapi hasil riset ilmiah. Tapi siapa peduli pada ilmu jika kuasa bisa membungkam logika?
Sejak Jokowi pertama kali menginjakkan kaki di KPUD Surakarta, andai hukum berjalan sebagai hukum, bukan alat kekuasaan, barangkali kita tidak menyebut namanya hari ini. Tapi negeri ini kerap membiarkan mitos menjadi fakta, fakta menjadi dongeng.
Maka jangan heran bila muncul pertanyaan-pertanyaan yang absurd tapi menggugah: apakah di balik kenekadan Jokowi, ada kekuatan tak kasat mata?
Apakah semua ini bagian dari misi “alien” yang ingin menguji daya tahan demokrasi Indonesia?
Atau ini hanya skenario gelap dari sebuah guci bernama Pandora—yang ketika dibuka, seluruh bencana dunia keluar kecuali satu: harapan?
Namun sampai kapan harapan itu bisa bertahan, bila aparat terus menjadi bagian dari guci gelap itu sendiri?
Bila hukum hanya berlaku untuk yang lemah dan para penanya dibungkam oleh pasal-pasal karet?
Di titik ini, kita tak sedang bicara tentang Jokowi semata. Kita sedang menguliti sistem yang membuat seseorang seperti Jokowi bisa memanfaatkan aparat, dan aparat pun menikmati dimanfaatkan.
Sebuah sistem yang melahirkan para pemimpin bukan karena keutamaan, tapi karena keberanian bermain api. Dan api ini, kini mulai membakar wibawa negeri.
Apakah kita akan terus membiarkannya? Atau justru mulai menyibak guci itu, agar yang tersisa benar-benar hanya satu: harapan.
Sebab tanpa harapan, kita semua hanya akan menjadi barisan saksi dari republik yang dikhianati oleh keberaniannya sendiri. ***
[FLASHBACK] 'Kaleidoskop Kebohongan Jokowi, Memori Menjelang Lengser'
Dalam kehidupan politik, kebohongan sering kali menjadi alat untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Seperti sebuah rantai yang tak terputus, satu kebohongan memerlukan kebohongan lain untuk menutupinya, hingga akhirnya membentuk jaringan kebohongan yang rumit dan sulit diputus.
Fenomena ini terlihat jelas dalam janji-janji yang disampaikan oleh Presiden Jokowi sejak masa kampanyenya, yang sayangnya banyak di antaranya kini dianggap hanya omong kosong belaka.
Kebohongan ini tidak hanya menipu rakyat, tetapi juga melahirkan kebohongan lain yang lebih besar, dan pada akhirnya menuntut pertanggungjawaban yang serius.
Pada masa kampanye 2014, Jokowi muncul sebagai sosok yang membawa harapan baru bagi rakyat Indonesia.
Dengan citra sederhana, ia menjanjikan berbagai perubahan besar yang menyentuh sektor-sektor fundamental, seperti kemandirian pangan, pendidikan berkualitas, infrastruktur, hingga pemberantasan korupsi.
Namun, realitas politik membuktikan bahwa banyak dari janji tersebut tidak terealisasi, bahkan berbalik menjadi kebohongan yang dirasakan secara nyata oleh rakyat.
Salah satu janji yang paling mencolok adalah kemandirian pangan. Jokowi berjanji untuk menghentikan impor bahan pangan strategis seperti beras, jagung, dan garam, dengan mengandalkan potensi dalam negeri.
Namun, seiring berjalannya waktu, pemerintahannya justru terus melakukan impor bahan pangan tersebut.
Ironisnya, Indonesia yang dulu dikenal sebagai salah satu pusat rempah-rempah terbesar di dunia, kini bahkan harus mengimpor garam dan beras dari negara tetangga.
Kebohongan terkait ketahanan pangan ini menjadi semakin sulit untuk ditutupi, karena jelas bertolak belakang dengan kenyataan yang dialami para petani dan masyarakat luas.
Tak berhenti di situ, janji reformasi pendidikan juga menjadi sebuah retorika yang tidak kunjung terbukti.
Meskipun pembangunan infrastruktur fisik berjalan masif, kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan.
Sebaliknya, dana dan perhatian lebih banyak tercurah pada proyek ambisius seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang menelan anggaran besar, termasuk biaya upacara Hari Kemerdekaan yang mencapai Rp 87 miliar.
Ketika rakyat menghadapi kesulitan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan, prioritas pemerintah yang condong pada proyek-proyek besar ini hanya menambah kekecewaan.
Kebohongan lain yang sering kali muncul adalah soal mobil Esemka. Mobil ini diangkat sebagai simbol kebanggaan dan janji lahirnya mobil nasional di masa Jokowi menjadi Wali Kota Solo.
Namun, setelah bertahun-tahun, mobil ini hanya menjadi ilusi yang tidak pernah benar-benar diproduksi secara massal.
Proyek ini seolah dijadikan alat politik semata, dengan rakyat yang tetap menunggu tanpa kejelasan.
Janji-janji semacam ini, yang gagal terwujud, menciptakan kesan bahwa pemerintah tidak hanya abai, tetapi juga sengaja menipu rakyat dengan janji palsu.
Salah satu kebohongan paling serius terkait penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Jokowi dalam berbagai kesempatan menyuarakan dukungannya untuk memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, revisi Undang-Undang KPK pada 2019 justru membuat lembaga ini lemah dan kurang efektif.
Ini tidak hanya bertolak belakang dengan janji awal Jokowi, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai komitmennya dalam memberantas korupsi.
Ketika KPK dilemahkan, kebohongan ini meluas, karena pemerintah terlihat mendukung agenda politik tertentu alih-alih benar-benar membangun pemerintahan yang bersih.
Kasus paling kontroversial adalah terkait tuduhan ijazah palsu. Meski tuduhan ini telah dibantah oleh Jokowi dan pihak universitas yang bersangkutan, kasus ini tetap menjadi duri di tengah masyarakat yang meragukan keabsahan klaim-klaim yang disampaikan oleh presiden.
Ijazah palsu, jika benar adanya, akan menjadi kebohongan dasar yang menggerogoti seluruh legitimasi kepemimpinannya.
Kebohongan-kebohongan ini, jika ditilik lebih dalam, bukan hanya soal janji yang tidak ditepati.
Mereka telah menipu harapan rakyat dan menciptakan disonansi antara apa yang dijanjikan dan apa yang direalisasikan.
Seperti pepatah, untuk menutupi satu kebohongan, dibutuhkan dua kebohongan lain, dan begitu seterusnya hingga kebohongan itu menumpuk menjadi gunung yang pada akhirnya tak bisa lagi disembunyikan.
Inilah yang terjadi pada banyak janji Jokowi, di mana untuk menutupi kegagalan satu janji, kebohongan lain muncul, menambah kebingungan dan frustrasi rakyat.
Pada titik ini, kebohongan tidak lagi menjadi masalah politik semata, tetapi sudah menyentuh ranah hukum dan etika.
Jokowi sebagai kepala negara harus bertanggung jawab atas janji-janjinya yang tak terealisasi.
Dalam sistem demokrasi, kebohongan kepada rakyat adalah bentuk pengkhianatan terhadap mandat yang diberikan.
Jokowi harus mempertanggungjawabkan kegagalan-kegagalannya, tidak hanya kepada rakyat, tetapi juga di hadapan hukum.
Rakyat Indonesia berhak mendapatkan kejelasan dan kejujuran dari pemimpinnya. Ketika pemimpin memilih untuk menipu, maka kepercayaan pun hancur. Dan ketika kepercayaan hancur, legitimasi kepemimpinan runtuh.
Jokowi, dengan segala kebohongan yang telah terungkap, harus mempertanggungjawabkannya.
Sebuah pertanggungjawaban yang bukan hanya moral, tetapi juga legal, demi menjaga integritas demokrasi di negeri ini. ***