CATATAN POLITIK

Bobby Nasution, Gubernur “Rasa” CEO!

DEMOCRAZY.ID
Juni 24, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Bobby Nasution, Gubernur “Rasa” CEO!
Bobby Nasution, Gubernur “Rasa” CEO!


Bobby Nasution, Gubernur “Rasa” CEO!


Kalau begitu, mohon maaf. Ini republik, bukan perusahaan keluarga. Kita ingin tertawa, tapi malah mual.


Di negara yang konon menjunjung demokrasi dan meritokrasi, Sumatera Utara saat ini seperti sedang menjalani eksperimen aneh: bagaimana jika seorang kepala daerah memerintah seolah negara ini warisan mertuanya?


Bobby Nasution, Gubernur Sumut periode 2025–2030, tampaknya lebih nyaman memimpin bergaya CEO perusahaan keluarga. 


Birokrasi digerakkan bukan berdasarkan kompetensi, tetapi koneksi. Rekam jejak tak penting, asal punya jejak yang sama di lingkaran dekat. 


Dari jabatan Wali Kota Medan hingga kini menjabat Gubsu, satu hal yang konsisten: mereka yang berada dekat Bobby selalu lebih cepat naik jabatan, meski tak jelas prestasinya.


Coba tengok nama Topan Ginting. Dalam tempo sesingkat-singkatnya, ia bisa menjabat Kadis SDA BMBK, lalu melesat jadi Plt Sekda, lalu berganti baju jadi Kadis PUPR. 


Semua posisi strategis itu ia duduki, bukan karena rakyat menuntutnya, melainkan karena Bobby menunjuknya. 


Bahkan kini dipercaya pula menjadi Ketua Kwarda Pramuka Sumut. Hebat betul.


Tak berhenti di situ, kursi empuk Komisaris Bank Sumut diisi oleh nama-nama akrab di ruang makan keluarga Bobby. 


Ada Firsal Dida Mutyara, kerabat sendiri. Ada juga sang paman, Hatunggal Siregar, yang tak perlu lagi repot ikut seleksi. 


Dan tentu saja, Agus Fatoni, sang pelindung lama, duduk manis sebagai Komisaris Non-Independen. Lengkap sudah orkestra penguasa dan kroni.


Kita ingin tertawa, tapi malah mual!


Sumatera Utara bukan kerajaan. Dan Bobby Nasution bukan rajanya. 


Tapi gejala yang dipertontonkan sejak ia menjabat Wali Kota Medan hingga kini menjadi Gubernur lebih mirip dinasti politik bergaya feodal, dibungkus jas demokrasi.


Lebih menjengkelkan, ia menampilkan diri sebagai pemimpin yang antikritik dan alergi transparansi. 


Anggota DPRD Kota Medan, dulu, yang sejatinya menjadi mitra kerja, malah kerap diabaikan. 


Wartawan yang mengajukan konfirmasi, pertanyaan, dan verifikasi, tak dianggap. Pesan centang dua, tapi dibaca pun tak dibalas.


Apakah karena ia menantu Presiden? Atau sekarang, karena sudah menjadi mantu bekas Presiden, sehingga merasa boleh tidak tunduk pada aturan dan etika pemerintahan? Kalau begitu, mohon maaf. Ini republik, bukan perusahaan keluarga.


Bobby kerap bicara pembangunan. Tapi pembangunan macam apa kalau dasarnya adalah nepotisme? 


Apa yang mau dibangun kalau tukang bangunnya adalah kolega kampanye, tim sukses, dan kerabat serumah?


Lalu datanglah proyek-proyek bermasalah. Lapangan Merdeka dikeruk, tapi pondasinya diduga cacat. Drainase dikerjakan, tapi spesifikasinya ngaco. 


BPK, Badan Pemeriksa Keuangan—bukan Babi Panggang Karo yang diendors Bobby ke luar negeri—mencium aroma ketidaksesuaian senilai Rp1,04 miliar, dan itu baru satu proyek. Belum lagi fee proyek yang katanya melampaui batas wajar. Apakah itu harga loyalitas?


Bobby seperti lupa, jabatan itu bukan warisan mertua.


Ia dipilih rakyat—meski kemenangannya pun diduga berlumur kecurangan. Ia digaji oleh rakyat, bukan oleh “menantuannya”. 


Maka ia berkewajiban melayani, menjawab pertanyaan media, mendengar suara oposisi, dan tidak bersembunyi di balik tembok kekuasaan.


Editorial ini tidak lahir dari kebencian. Ini lahir dari kecintaan pada akal sehat. 


Karena kalau nepotisme dibiarkan berjaya di Sumatera Utara, maka kita sedang mencetak generasi pejabat yang lebih sibuk menjaga koneksi ketimbang membangun kompetensi. 


Birokrasi menjadi lembek, rakyat menjadi apatis, dan korupsi tinggal menunggu waktu.


Sudah cukup rakyat jadi korban elite politik yang merasa kebal hukum karena punya hubungan kekeluargaan. 


Sudah cukup Sumut menjadi ladang kekuasaan segelintir orang. Sudah cukup Bobby memimpin seperti bos kecil di lahan luas yang bukan miliknya.


Sumatera Utara butuh pemimpin. Bukan pemilik. Butuh integritas. Bukan kolusi. 


Dan rakyat berhak tahu, bukan hanya melihat centang dua di layar chat WhatsApp saja.


Melihat kondisi abnormal ini, rakyat pasti tak akan diam. Karena yang diam dalam kebusukan, adalah bagian dari kebusukan itu sendiri. 


Selamat datang di panggung orkestrasi pemerintahan gubernur “rasa” CEO! ***

Penulis blog