DEMOCRAZY.ID - Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) meminta Bareskrim Polri melakukan gelar perkara khusus kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
Usulan ini disampaikan buntut keberatan atas keputusan polisi menghentikan laporan soal ijazah Jokowi.
Anggota TPUA Rizal Fadillah mengatakan gelar perkara khusus itu diatur dalam Pasal 13 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019.
Setidaknya ada tujuh poin penting yang mendasari tuntutan ini, berikut ini daftarnya:
1. Penghentian penyelidikan kasus ijazah Jokowi dianggap cacat hukum
TPUA menilai penghentian penyelidikan dan gelar perkara yang dilakukan Bareskrim Polri pada Rabu, 21 Mei 2025 cacat hukum.
Sebab, tidak menghadirkan pelapor, terlapor, ahli, dalam proses keputusan yang sangat fundamental.
"Saya kira itu adalah keputusan yang sangat fundamental. Dan itu harus dalam gelar perkara yang dihadiri oleh pelapor maupun terlapor. Saya kira ini faktor pertama. Kita menilainya ini cacat hukum," ujar Rizal di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin, 26 Mei 2025.
2. Proses penyelidikan dianggap tak lengkap
Rizal mengaku punya ahli forensik Rismon Sianipar dan pakar telematika Roy Suryo.
Kedua orang itu masuk dalam bukti-bukti yang diajukan dalam pengaduan masyarakat (Dumas) TPUA terhadap Jokowi.
"Tapi tidak pernah diperiksa, tidak pernah diminta keterangan. Pasti tidak lengkap itu hasil penyelidikan secara keseluruhan," ungkap Rizal.
Rizal menyebut Bareskrim Polri juga tidak meminta keterangan Kasmujo dosen pembimbing Jokowi dan Pratikno.
Padahal, kata dia, dua tokoh itu di samping krusial juga telah diduga ikut serta dalam proses-proses diduga ijazah palsu Joko Widodo.
3. Tidak meminta keterangan putri dekan Fakultas Kehutanan UGM
Rizal mengatakan polisi tidak meminta keterangan Aida Grenduri, putri dari Prof. Dr. Ir. Ahmad Sumitro yang kala itu dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada.
Aida disebut alumnus Fakultas Kehutanan. Sumitro disebut bukan ejaan Soemitro.
"Nah, itu diajukan oleh kita ke Bareskrim dan itu menentukan sebab lembar pengesahannya skripsi Pak Joko Widodo itu tanda tangannya beda dengan tanda tangan Sumitro. Dan itulah yang diajukan oleh Aida Grenduri," ungkapnya.
Aida Grenduri dinilai seharusnya dimintai keterangan agar penyelidikan lengkap dan tuntas. Bareskrim Polri juga dinilai tendensius dan menyesatkan.
Hal ini mengacu pada ungkapan identik nonidentik. Padahal, kata Rizal, keaslian itu disebut dengan autentik bukan identik.
Kemudian, identik dengan tiga pembanding. Sosok ketiga rekan Jokowi yang ijazahnya menjadi pembanding tidak diungkap Polri.
"Apakah dijamin bahwa yang dibandingkan itu ijazahnya asli? Kalau saja tidak asli, ya identik. Tapi identik palsu. Padahal kami juga punya data. Pak Jokowi itu ijazahnya nomor 1120. Sedangkan, ada data lain ijazah nomor 115 dan 117. Dari 117, 115 dibandingkan 1120 tidak identik. Jadi non-identik," terang dia.
4. Kesimpulan Bareskrim Polri terlalu sederhana
Rizal menilai Bareskrim Polri terlalu menyederhanakan pembuktian lembar pengesahan sekripsi Jokowi hanya dengan meraba cekung.
Hal itu, kata dia, tidak masuk kategori scientific crime investigation. Namun, tetap disimpulkan asli.
Sebab, Rizal mengatakan Bareskrim Polri hanya memastikan dengan meraba ada cekungan dan disebut itu handpress dan letter press.
Kemudian, dianggap selesai. Padahal, kata dia, harus berdasarkan ilmiah pengujiannya mulai dari uji kertas hingga uji tinta.
"Benar tintanya diuji tahun berapa. Sama tidak kertasnya. Sama tidak yang ijazah dengan lembar pengesahan. Dengan kontennya yang diketik-ketik itu. Bener nggak sama usianya. Itu tidak dilakukan. Itu harusnya terbuka," ucap dia.
5. Bareskrim Polri diminta gelar perkara khusus
TPU mendorong polisi melakukan gelar perkara khusus dengan sejumlah dasar hukum yang tertuang dalam poin-poin keberatan.
Selain pelapor tidak dilibatkan dalam gelar perkara awal, faktor lainnya perlu gelar khusus karena kasus menjadi perhatian umum.
6. Pelapor tak boleh dituntut
Rizal mengingatkan Pasal 10 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Pelapor, korban tidak boleh dituntut pidana dan tidak boleh dituntut perdata. Itu disebut juga ditegaskan dal Pasal 17 UU tersebut. Termasuk Pasal 10 ayat 1, Pasal 10 ayat 2.
"Dan kita mengingatkan lagi, Peraturan MA Nomor 1 Tahun 1956, bahwa kalau ada kasus perdata sedang berjalan untuk konten yang sama, maka hentikan dulu yang pidana. Sekarang kasus itu sedang berjalan di Solo dan di Sleman. (Kasus) perdata untuk perbuatan melawan hukum ijazah palsu Joko Widodo," katanya.
7. Uji laboratorium forensik diragukan
TPUA meragukan uji laboratorium forensik secara mendalam yang dilakukan Dittipdium Bareskrim Polri terhadap berkas-berkas ijazah Jokowi.
Sebab, kata Rizal, tidak terlihat adanya face recognition. Semua pihak disebut meragukan foto dalam ijazah itu adalah Jokowi.
"Harusnya ada uji face recognition. Orang melihat di sana ada cap, capnya kok di dalam foto dan itu dianalisis oleh Dr. Rismon dengan RGB yaitu red, green, blue analysis. Kesimpulannya kok ada cap di dalam foto, karena ini pertanyaan ini, jelas. Oleh karena itu, itu tidak diuraikan oleh Bareskrim kemarin," beber dia.
Sumber: MetroTv