DEMOCRAZY.ID - Bentrokan terjadi antara penggembala sapi nomaden dan petani di Benue, Nigeria tengah. Masalah lahan menjadi penyebabnya.
Gejolak terbaru pun muncul dari bentrokan itu. Orang-orang bersenjata dilaporkan membunuh 23 orang dalam empat serangan terpisah di negara bagian tersebut Sabtu malam.
"Orang-orang bersenjata membunuh 23 orang dalam empat serangan terpisah di negara bagian Benue, Nigeria tengah," kata seorang pejabat Palang Merah Minggu, dikutip AFP, Senin (12/5/2025).
"Laporan dari lapangan telah mengonfirmasi pembunuhan sedikitnya 23 orang dari berbagai serangan," tegas sekretaris Palang Merah.
Dilaporkan bagaimana delapan orang tewas di Ukum sementara sembilan tewas di wilayah dekat kota Logo serta tiga nyawa lain terlihat masing-masing di Guma dan Kwande. Beberapa lainnya terluka meski tak dilaporkan angka pastinya.
"Kami mendengar tiga pembunuhan, termasuk pasangan yang disergap saat mengendarai sepeda motor yang dibawa pergi oleh para penggembala," kata seorang pensiunan manajer umum perusahaan listrik negara, Cephas Kangeh.
"Operator China menambang emas di daerah tersebut. Tapi serangan itu tidak terjadi di dekat lokasi penambangan," katanya lagi.
Bentrokan pengembala dan petani di Nigeria Tengah dipicu perbedaan agama dan etnis.
Para pengembali berasal dari kelompok etnis Muslim Fulani sedangkan para petani beragama Kristen.
Sebulan ini saja kerusuhan telah menewaskan 56 orang.
Sebelumnya dua serangan oleh orang bersenjata tak dikenal pada awal April di negara bagian tetangga Plateau menewaskan lebih dari 100 orang.
Di Nigeria tengah, lahan yang digunakan oleh petani dan penggembala mengalami tekanan akibat perubahan iklim dan perluasan wilayah oleh manusia.
Ini juga memicu persaingan mematikan untuk mendapatkan lahan yang makin terbatas.
Kacau! Satu Negara Ini Diacak-acak & Dikuasai Preman
Situasi di Haiti semakin memanas. Gangster-gangster alias 'preman' kian menguasai berbagai wilayah negeri itu pasca runtuhnya pemerintahan di Kepulauan Karibia tersebut.
Melansir The Economist Minggu (11/5/2025), koalisi geng terbesar di Haiti, Viv Ansanm (yang artinya 'Hidup Bersama'), telah mengambil alih lebih dari 85% wilayah Port-au-Prince, ibu kota negara.
Di Port-au-Prince, setiap hari terjadi baku tembak, di mana polisi dan warga sipil berhadapan dengan koalisi geng Viv Ansanm.
Warga sendiri tak bisa kabur lantaran bandara internasional telah ditutup.
Satu-satunya jalan masuk atau keluar adalah dengan helikopter atau dengan tongkang yang menyusuri pantai untuk menghindari wilayah geng di selatan.
"Ini adalah bencana yang tidak dapat dipertahankan. Kita bisa kehilangan Port-au-Prince kapan saja," kata Claude Joseph, mantan perdana menteri.
Berbagai geng juga telah mengepung kantor Digicel.
Ini merupakan perusahaan jaringan seluler utama Haiti yang digunakan sebagian besar orang untuk terhubung ke internet.
"Jika Digicel mati, negara akan gelap," kata seorang pakar keamanan memperingatkan.
Dilaporkan pula bagaimana gangster tersebut menggunakan sistem satelit Starlink milik Elon Musk untuk berkomunikasi, mengorganisasi diri mereka sendiri hingga mampu mengendalikan akses ke pelabuhan Haiti.
Mereka juga memeras pengemudi truk dan operator bus yang melintas di sepanjang jalan utama negara itu.
Sementara itu, PBB melaporkan bahwa pada Februari dan Maret lebih dari 1.000 orang tewas.
Sebanyak 60.000 orang mengungsi, menambah 1 juta orang atau hampir 10% dari populasi, yang telah meninggalkan rumah mereka dalam dua tahun terakhir.
Haiti Tengah, yang dulunya relatif damai, juga terpecah menjadi wilayah kekuasaan.
Mirebalais, kota yang terletak di antara Port-au-Prince dan perbatasan dengan Republik Dominika, sekarang dikuasai oleh geng-geng.
"Negara ini telah menjadi perusahaan kriminal. Ini adalah dunia barat yang liar," kata seorang pejabat asing.
Perlu diketahui, pada 2 Mei, Amerika Serikat (AS) telah menetapkan Viv Ansanm dan organisasi sejenisnya sebagai kelompok teroris.
Penetapan ini membuka pintu bagi hukuman pidana yang lebih berat bagi mereka yang memberi mereka uang dan senjata.
Saat ini kehidupan publik di Haiti sudah tak berfungsi. Sebagian besar sekolah ditutup sedangkan penyakit kolera menyebar.
Sumber: CNBC