DEMOCRAZY.ID - Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyebut pernyataan sikap Forum Purnawirawan Prajurit TNI khususnya soal pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, kampungan.
Istilah kampungan ini sebelumnya juga diungkapkan menantu Luhut, Kepala Staf Angkatan Darat atau KSAD Maruli Simanjuntak kala menanggapi para pengkritik Rencana Undang-undang atau RUU TNI.
Pernyataan Luhut ini menambah blunder buruknya komunikasi pejabat pemerintah.
Beberapa waktu lalu, Kepala Kantor Komunikasi Presiden Hasan Nasbi juga disorot kala menanggapi teror kepala babi yang dikirim kepada redaksi Tempo.
Selaku juru bicara pemerintah, Hasan menyarankan agar kepala babi tersebut dimasak, alih-alih menanggapi serius intimidasi terhadap kebebasan pers.
“Sudah dimasak saja,” kata dia di Kompleks Istana Kepresiden, Jakarta Pusat, Jumat, 21 Maret 2025.
Hasan Nasbi bukan yang pertama, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana juga pernah mengundang kritik kala menyebut Timnas Indonesia sulit bersaing di kancah internasional karena pemain lokal kekurangan gizi.
Dia bahkan menyebut peningkatan kualitas Tim Garuda tembus kualifikasi Piala Dunia 2026 berkat pemain keturunan Belanda yang memiliki asupan gizi lebih baik.
“Jadi jangan heran kalau PSSI itu sulit menang, karena main 90 menit berat, kenapa? Karena gizinya tidak bagus. Banyak pemain bola lahir dari kampung,” ujar Dadan dalam sambutannya saat penandatanganan MoU antara BGN dan Kementerian Pekerjaan Umum di Kantor Kementerian PU, Jakarta, Sabtu, 22 Maret 2025.
Ada pula Wakil Menteri Ketenagakerjaan atau Wamenaker Immanuel alias Noel Ebenezer.
Media sosial sempat ramai dengan tagar Kabur Aja Dulu berisi ajakan bekerja di luar negeri.
Fenomena ini bentuk kekecewaan anak muda yang melihat pendidikan di Indonesia mahal, tapi minim lapangan pekerjaan.
Menanggapi itu, Noel, justru mengimbau agar WNI yang telah pergi untuk tidak kembali lagi ke Indonesia.
“Mau kabur, kabur aja lah. Kalau perlu jangan balik lagi,” ujar Immanuel, usai hadir di sebuah acara di Kementerian Desa dan Pembangunan Desa Tertinggal, Jakarta Pusat, pada Senin, 17 Februari 2025
Dilansir dari Antara, sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto saat diwawancarai enam jurnalis di kediamannya, Hambalang, Jawa Barat, Minggu, 6 April 2025 mengakui dan bertanggung jawab atas buruknya komunikasi pejabat di lingkungan pemerintah.
Prabowo berdalih bahwa para pembantunya beberapa adalah orang baru di dalam pemerintahan.
Hal itu, kata dia, membuat mereka kurang waspada karena belum berpengalaman.
“Saya akui bahwa selama 150 hari, menurut pendapat saya, saya yang bertanggung jawab, saya yang salah. Masalah salah ucap, tim saya ‘kan orang-orang baru dalam pemerintahan. Banyak orang baru dalam pemerintahan. Sebagian menteri yang senior, ada yang dari kabinet lama, tetapi banyak yang baru. Jadi, mungkin kurang waspada, kurang hati-hati dalam mengucap,” katanya.
Sementara itu, menurut Pakar komunikasi politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo, perlu langkah perbaikan setelah Presiden Prabowo meminta maaf terkait dengan komunikasi pemerintahannya.
Ia mengingatkan, komunikasi merupakan bagian strategis dari pembuatan kebijakan pemerintahan.
Bukan sebatas pemadam kebakaran saat kebijakan ditolak atau menimbulkan kontroversi.
“Ke depannya tentu butuh evaluasi yang lebih bagus, bukan sekadar mengakui salah, melainkan memperbaiki kesalahan itu yang penting,” ujar Kunto saat dihubungi Antara, Senin 14 April 2025.
Pernyataan Luhut Sebut Ide Pemakzulan Gibran oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI Kampungan
Namun, langkah perbaikan gaya komunikasi pemerintahan Prabowo tampaknya belum dilakukan.
Menilik cara Luhut menanggapi usulan para bekas prajurit TNI dari Forum Purnawirawan TNI menunjukkan indikasi itu.
Adapun Forum Purnawirawan Prajurit TNI sebelumnya menyampaikan delapan tuntutan kepada Prabowo, salah satunya usulan pemakzulan Gibran.
Dalam pernyataannya pada 17 April 2025, forum itu menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi atau MK terkait Pasal 169 huruf q Undang-undang atau UU Pemilu melanggar hukum acara MK dan UU Kekuasaan Kehakiman.
Oleh karena itu, mereka mengusulkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mengganti Gibran dari posisi Wakil Presiden.
“Mengusulkan pergantian Wakil Presiden kepada MPR karena keputusan MK terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman,” demikian bunyi salah satu dari delapan tuntutan mereka yang dibacakan pada 17 April 2025.
Tuntutan tersebut ditandatangani oleh sejumlah tokoh militer senior, antara lain Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, serta disebut diketahui oleh mantan Wakil Presiden 1993–1998, Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno.
Menanggapi pernyataan sikap itu, Luhut menyampaikan kritik keras.
Bekas Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi itu bahkan menilai tindakan forum tersebut kampungan.
Luhut mengatakan situasi dunia saat ini membutuhkan kekompakan. Menurut dia, ribut-ribut yang justru memecah belah di tengah kondisi seperti ini sangat tidak bijak.
"Kita harus kompak. Ini keadaan dunia begini. Ribut-ribut ini kampungan,” katanya ini di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin, 5 Mei 2025.
Sebagai pensiunan perwira tinggi TNI, Luhut juga menyinggung soal solidaritas dan loyalitas para purnawirawan terhadap pemerintah.
Ia menyatakan bahwa Forum Purnawirawan Prajurit TNI seharusnya fokus mendukung pemerintahan yang sah, yaitu pasangan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
“Kita harus fokus mendukung pemerintahan,” kata Luhut.
Pernyataan KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak Sebut Pengkritik UU TNI Kampungan
Pada Maret lalu, ramai penolakan dari sejumlah pihak seiring rencana pemerintah mengesahkan RUU TNI.
Mereka menolak rancangan UU TNI disahkan karena sejumlah pasal dinilai bermasalah. Sejumlah pasal dinilai memperluas jabatan TNI di ranah sipil.
Pengesahan tersebut menuai kritik keras masyarakat yang menentang kembalinya aparat TNI ke jabatan sipil seperti era Orde Baru.
Menurut masyarakat, pengesahan Revisi UU TNI tersebut membawa kembali dwifungsi TNI zaman Soeharto.
Menanggapi penolakan itu, dalam keterangan resmi yang diterima oleh Tempo pada Rabu, 12 Maret 2025, KSAD Maruli Simanjuntak menilai kekhawatiran terkait kembalinya Orde Baru menyusul pembahasan RUU TNI sebagai suatu hal yang kampungan.
Isu-isu tersebut, kata menantu Luhut ini, hanya ingin menyerang institusi TNI.
“Orde Baru lah, tentara dibilang hanya bisa membunuh dan dibunuh. Menurut saya, otak-otak (pemikiran) seperti ini, kampungan menurut saya,” ujarnya.
Isu kembalinya model kepemimpinan selayaknya Orde Baru memang banyak bergulir seiring pembahasan RUU TNI.
Musababnya, ada banyak prajurit TNI aktif yang menempati jabatan sipil. Peran ganda militer aktif itu kemudian disebut sebagai dwifungsi TNI, suatu yang pernah terjadi dalam masa pemerintahan Orde Baru.
Maruli menilai banyaknya prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil tersebut tidak perlu dijadikan polemik yang berlebihan.
“Masuknya personel militer ke ranah sipil tersebut sudah pasti berdasarkan kompetensi yang mereka miliki. Karena kami melihat anggota-anggota TNI AD punya potensi,” ucap jenderal bintang empat itu.
Maruli memastikan, TNI akan selalu patuh pada keputusan negara dan mengikuti aturan hukum yang berlaku, termasuk soal ketentuan prajurit aktif dalam jabatan sipil.
Hal tersebut, kata Maruli, bisa didiskusikan.
“Tapi jangan menyerang institusi,” ujarnya.
Sumber: Tempo