CATATAN HUKUM POLITIK

Ijazah Jokowi dan Politik Delegitimasi: 'Antara Hukum, Persepsi, dan Kekuasaan'

DEMOCRAZY.ID
Mei 17, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
HUKUM
POLITIK
Ijazah Jokowi dan Politik Delegitimasi: 'Antara Hukum, Persepsi, dan Kekuasaan'
Ijazah Jokowi dan Politik Delegitimasi: 'Antara Hukum, Persepsi, dan Kekuasaan'


Ijazah Jokowi dan Politik Delegitimasi: 'Antara Hukum, Persepsi, dan Kekuasaan'


Isu mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali mencuat dan memanas menjelang transisi kekuasaan pasca Pemilu 2024. 


Gugatan hukum terhadap Universitas Gadjah Mada (UGM), klarifikasi dari institusi pendidikan, serta keterlibatan tokoh-tokoh nasional dalam mempermasalahkan dokumen akademik Presiden, membuat publik kembali bertanya: ada apa sebenarnya di balik semua ini?


Apakah ini murni isu administratif, ataukah ini merupakan bagian dari strategi delegitimasi politik yang dirancang secara sistematis?


Mengapa Isu Ini Terus Menguat?


Isu ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia muncul dalam lanskap politik yang sangat dinamis, di mana posisi Jokowi pasca dua periode kepemimpinannya tetap menjadi pusat perhatian. 


Terlebih setelah Gibran Rakabuming Raka, putra sulungnya, menduduki kursi Wakil Presiden melalui jalur politik yang dinilai kontroversial. 


Tuduhan mengenai keaslian ijazah Jokowi menjadi semacam simbol atau "entry point" untuk menyerang integritas pribadi dan politiknya.


Publik yang mulai jenuh dengan hegemoni kekuasaan, ditambah iklim politik yang penuh kecurigaan, menjadikan isu ini mudah mendapatkan ruang. 


Ketika seorang presiden diragukan latar belakang pendidikannya, maka semua legitimasi yang pernah dibangunnya ikut dipertanyakan.


Selain itu, narasi di media sosial turut memperkuat opini bahwa negara dan institusi pendidikan ikut terlibat dalam "pemalsuan" yang sistematis. 


Walau belum ada bukti hukum yang menguatkan tuduhan ini, persepsi publik telah terbentuk terlebih dahulu.


Apa yang Terjadi di Balik Layar?


Ada dugaan kuat bahwa isu ijazah palsu ini bukan semata gugatan hukum, melainkan strategi politik yang sengaja ditiupkan. 


Sejumlah tokoh oposisi, seperti Roy Suryo, aktif membahas perbedaan tanda tangan, font, dan format dokumen akademik Jokowi. 


Pendekatan ini serupa dengan teknik "character assassination" yang digunakan untuk menghancurkan kredibilitas seorang tokoh tanpa harus menyerang program atau kebijakannya.


Keterlibatan penggugat seperti Komardin yang menuntut UGM hingga Rp69 triliun menimbulkan tanda tanya besar. 


Apakah ini sekadar bentuk protes atau justru ada agenda lain di balik layar? 


Beberapa pihak menduga ini adalah bagian dari gerakan politik balas dendam pasca pemilu, atau upaya kelompok tertentu untuk mengerdilkan pengaruh Jokowi dalam pemerintahan baru yang dipimpin Prabowo-Gibran.


Kenyataan bahwa proses mediasi di pengadilan tidak membuahkan hasil dan Jokowi tidak hadir langsung semakin memperkuat opini bahwa ada "sesuatu yang disembunyikan", meskipun secara hukum tidak dapat disimpulkan demikian.


Prediksi ke Depan: Dampaknya Lebih Politik daripada Hukum


Melihat perkembangan yang ada, dapat diprediksi bahwa:


1. Polarisasi akan terus meningkat

Kelompok pendukung Jokowi akan semakin defensif, sementara oposisi akan menjadikan isu ini sebagai bahan bakar untuk memperluas tekanan. 


Polarisasi ini bisa mengancam stabilitas narasi nasional dan memperlemah kepercayaan terhadap institusi hukum dan pendidikan.


2. Proses hukum akan berjalan panjang tapi stagnan

Meskipun dibawa ke pengadilan, kemungkinan besar penggugat tidak akan bisa membuktikan tuduhannya. 


Namun, proses hukum itu sendiri sudah cukup untuk "mengganggu" citra Jokowi secara publik.


3. Warisan politik Jokowi akan diuji

Jika narasi ini terus berkembang, maka warisan kepemimpinan Jokowi bisa tercoreng. 


Generasi mendatang mungkin akan mengingatnya bukan hanya sebagai presiden dua periode, tetapi juga sebagai tokoh yang terlibat dalam kontroversi ijazah.


4. Legitimasi Prabowo-Gibran bisa terdampak

Sebagai pasangan terpilih yang dihubungkan dengan Jokowi, isu ini bisa menjadi batu sandungan moral bagi Prabowo-Gibran, terutama jika tekanan publik dan oposisi tidak mereda.


Penutup


Isu ijazah Jokowi adalah cerminan dari bagaimana politik Indonesia belum sepenuhnya beranjak dari logika "serangan personal" dan perang persepsi. 


Meski secara institusional telah ada klarifikasi dari UGM dan SMA Negeri 6 Surakarta, ruang digital dan opini massa tetap memelihara keraguan.


Dalam negara demokratis, kritik adalah wajar, namun bila tak berbasis bukti dan hanya didorong oleh ambisi kekuasaan, maka yang rugi adalah kepercayaan rakyat terhadap seluruh sistem. 


Maka, perlu kehati-hatian dalam menanggapi isu ini, agar Indonesia tidak terjebak dalam politik fitnah yang merusak substansi demokrasi itu sendiri. ***


Sumber: Kompasiana

Penulis blog