GRIB, Gibran, dan Dinamika Politik Kita: 'Cermin Kegelisahan Publik'
DINAMIKA politik pasca-Pilpres 2024 kian menarik untuk dicermati.
Di balik suasana transisi pemerintahan yang seharusnya damai, publik justru disuguhi tontonan ketegangan baru: dari wacana pergantian wapres, dukungan terbuka dari ormas, hingga pertengkaran terbuka antara tokoh-tokoh nasional.
Terbaru, organisasi Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) yang dipimpin Hercules Rosario Marshal menyatakan dukungan penuh terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Namun, yang membuat perhatian publik tersedot bukan semata dukungannya, melainkan pernyataan kontroversial ketua GRIB yang menantang secara terbuka Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo dan menyebut nama Letjen (purn) Sutiyoso dalam konteks negatif.
Video tantangan itu viral di media sosial. Gatot merespons keras, menyebut tindakan tersebut sebagai pelecehan terhadap martabat TNI dan mengkritik keras dugaan aksi anarkis anggota GRIB yang terjadi di beberapa daerah.
Itu bukan sekadar soal ego personal, melainkan pertanda adanya ketegangan serius dalam tubuh elite politik dan simpatisannya.
APA YANG SEBENARNYA SEDANG TERJADI?
Jika kita telaah lebih dalam, ini bukan semata konflik horizontal antarormas atau antartokoh. Ini adalah refleksi dari dua arus besar.
Pertama, kegelisahan sebagian elite terhadap proses politik yang dianggap melenceng dari semangat demokrasi konstitusional.
Misalnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal usia capres-cawapres.
Kedua, upaya sebagian kelompok untuk mengonsolidasikan kekuasaan, termasuk lewat ormas dan jejaring informal, untuk memastikan stabilitas pemerintahan baru.
Dukungan GRIB kepada Gibran bisa dibaca sebagai bagian dari skenario untuk mengukuhkan posisi wapres yang dinilai masih menuai resistansi publik.
Namun, ketika ormas mulai masuk ke wilayah intimidasi, bahkan menyeret nama jenderal purnawirawan dengan nada tantangan, publik berhak merasa resah.
Demokrasi sesungguhnya bukan soal menang atau kalah.
Melainkan, tentang ethics dan checks and balances terhadap apa yang patut dan siapa yang pantas.
Pun, semuanya itu perlu disampaikan dalam koridor yang sehat, terbuka, jujur, dengan tujuan membangun peradaban yang lebih baik.
DI MANA KITA BERDIRI?
Indonesia membutuhkan keteduhan politik. Jika elite dan simpatisannya saling menyerang secara terbuka, yang rusak bukan hanya reputasi orang per orang, melainkan wibawa institusi negara secara keseluruhan.
Ormas seperti GRIB tentu boleh berpendapat dan menyatakan dukungan.
Tapi, ketika itu dibarengi dengan sikap konfrontatif dan terkesan mengintimidasi tokoh-tokoh bangsa, itu jadi bumerang –tidak hanya bagi mereka, tetapi juga bagi sosok yang mereka dukung.
Sebaliknya, tokoh-tokoh seperti Gatot dan Sutiyoso juga perlu bijak dalam merespons.
Publik berharap agar para senior bangsa tetap menjaga adab politik, menjadi penyejuk di tengah suhu yang kian panas.
UNTUK RENUNGAN BERSAMA
Indonesia memasuki babak baru. Presiden Prabowo tidak hanya membutuhkan dukungan kuat, tapi juga kontrol yang sehat.
Pun, wapres ideal –siapa pun itu– harus menjadi sosok yang melengkapi, tidak sekadar mengikuti.
Yang memberikan keseimbangan dalam kekuasaan, bukan hanya menyemarakkan pesta kemenangan.
Semoga polemik ini tidak membelah kita, tapi justru jadi momentum refleksi bersama: bahwa politik bukan panggung ego, tapi jalan panjang menuju keadilan dan kemajuan. ***