CATATAN POLITIK

'Anomali Politik Bila Mantan Presiden Memimpin Partai Anaknya'

DEMOCRAZY.ID
Mei 27, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Anomali Politik Bila Mantan Presiden Memimpin Partai Anaknya'
'Anomali Politik Bila Mantan Presiden Memimpin Partai Anaknya'


'Anomali Politik Bila Mantan Presiden Memimpin Partai Anaknya'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Tak ada kandidat ketua umum PSI yang mendaftar, kecuali wacana liar tentang Jokowi yang kian menguat. 


Apa jadinya jika mantan presiden itu benar-benar jadi ketum partai anak bungsunya?


Di tengah lengangnya bursa calon ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sebuah nama besar tiba-tiba bergema kuat: Joko Widodo. 


Ya, mantan Presiden RI dua periode yang belum genap setahun lengser dari jabatannya itu kini menjadi poros diskusi panas di internal PSI. 


Bukan Kaesang, putra bungsu Jokowi sekaligus ketua umum saat ini, bukan pula kader lama seperti Giring Ganesha atau Isyana Bagoes Oka. 


Justru sang ayah, yang selama ini konon dikenal “netral” dalam berpartai, kini disebut-sebut sebagai satu-satunya figur yang potensial mengisi kekosongan pendaftaran ketum PSI. 


Hingga tenggat terakhir penjaringan, tak satu pun kandidat mendaftarkan diri.


Absennya pendaftar itu tentu bukan tanpa sebab. PSI hari ini tak lebih dari satelit kekuasaan, tak punya cukup daya magnet untuk menarik kader muda idealis seperti semangat awalnya. 


Basis suara rapuh, elektabilitas tak juga menanjak, dan kecurigaan publik terhadap kedekatannya dengan Istana membuat partai ini kehilangan identitas. 


PSI pasca-Giring hanya hidup dalam bayang-bayang Jokowi.


PSI dan Kultur Dinasti


Bila Jokowi benar-benar menjadi ketua umum PSI, Indonesia akan mencatat sebuah bab baru dalam sejarah politik: mantan presiden memimpin partai anaknya. Ini bukan sekadar anomali, tapi bentuk baru politik dinasti dalam wajah yang lebih terang. 


Selama ini publik hanya menduga bahwa Jokowi memainkan peran di balik layar PSI. Kini, andai skenario itu terwujud, maka layar itu dibuka lebar.


Tentu tak ada aturan yang melarang Jokowi menjadi ketua umum partai. Tapi dalam konteks etika dan demokrasi, langkah itu menyisakan pertanyaan besar: mengapa mantan kepala negara yang pernah berjanji akan kembali ke rumah setelah pensiun justru ingin berkecimpung dalam dunia politik partisan?


Bergabungnya Jokowi sebagai ketua umum PSI akan memberi keuntungan jangka pendek. 


Popularitas mantan presiden bisa menjadi mesin elektoral instan bagi partai. Nama PSI akan mendadak seksi, dilirik media dan investor politik. Tapi euforia itu bisa berubah menjadi bumerang.


PSI: Partai atau Kendaraan?


Kehadiran Jokowi justru bisa mengkonfirmasi anggapan bahwa PSI bukanlah partai kader, melainkan kendaraan politik keluarga. 


Keputusan-keputusan partai akan dinilai bukan berdasar mekanisme kolektif, melainkan titah personal. 


Bahkan, bisa jadi PSI akan menjadi alat negosiasi Jokowi terhadap partai-partai besar seperti Golkar dan PDIP, terutama dalam menyelamatkan kepentingannya pasca-kekuasaan.


Publik juga akan sulit membedakan PSI dengan “Jokowi Incorporated”, jaringan politik dan bisnis yang dibangun sejak menjabat wali kota Solo. 


Lantas, jika Jokowi menjadi ketum, apakah PSI akan menjadi institusi atau justru instrumen keluarga?


Dampak ke Peta Politik Nasional


Kepemimpinan Jokowi di PSI bisa mengganggu keseimbangan politik di kubu Prabowo-Gibran. 


Apalagi PSI telah menyatakan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju. Di saat yang sama, PDIP terus menjaga jarak. 


Bila Jokowi benar-benar mengambil alih PSI, bisa jadi partai ini digunakan untuk membangun poros baru — semacam “oposisi loyal” yang berpura-pura dekat dengan penguasa, tapi sesungguhnya menyusun strategi penyelamatan.


Mungkin Jokowi ingin menyiapkan jalan bagi Kaesang untuk maju lebih tinggi—gubernur, menteri, atau bahkan presiden di masa depan. 


Menjadi ketua umum partai adalah posisi strategis untuk merancang masa depan politik anaknya, di tengah sistem kepartaian yang belum dewasa.


Ke Mana Idealisme PSI?


PSI pernah lahir dengan semangat menghapus politik lama yang kolutif dan nepotistik. Kini partai itu justru menjadi simbol dari semua yang dulu mereka tolak. 


Jika Jokowi benar menjadi ketua umum, maka paradoks itu lengkap sudah. Partai anak muda menjadi partai bapak tua.


Mungkin ini momen refleksi: apakah Indonesia masih punya ruang bagi partai yang tumbuh dari bawah, ataukah semua kendaraan politik akan dikuasai oleh dinasti, oleh para pensiunan kekuasaan yang enggan turun dari panggung?


Penutup: Politik Tak Pernah Kosong


Dalam politik, kekosongan jarang bertahan lama. Ketika tak ada yang mendaftar jadi ketum PSI, bukan berarti tidak ada yang diinginkan. 


Bisa jadi itu bagian dari skenario besar: membuka jalan mulus bagi Jokowi masuk, tanpa kompetisi, tanpa resistensi.


Kalau benar terjadi, publik layak bertanya: apakah ini partai, atau sekadar perpanjangan tangan keluarga? 


Apakah ini masa depan demokrasi, atau justru tanda-tanda kejatuhannya? **


Sumber: FusilatNews

Penulis blog