CATATAN EDUKASI POLITIK

UGM, Markus, dan Aroma 'Black Lawyer': Kala Kampus Sunyi Hadapi Dugaan Ijazah Palsu Jokowi!

Democrazy Media
April 08, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
EDUKASI
POLITIK
UGM, Markus, dan Aroma 'Black Lawyer': Kala Kampus Sunyi Hadapi Dugaan Ijazah Palsu Jokowi!


UGM, Markus, dan Aroma 'Black Lawyer': Kala Kampus Sunyi Hadapi Dugaan Ijazah Palsu Jokowi!


Oleh: Damai Hari Lubis

Pengamat KUHP dan Aktivis Kebebasan Berpendapat


Publik kian gamang menatap wajah lembaga pendidikan tinggi negeri, khususnya Universitas Gadjah Mada (UGM). 


Alih-alih menjulang sebagai mercusuar ilmu dan moralitas, kampus ini justru terjerembab dalam citra suram sebagai “sarang sindikat ijazah palsu.” 


Tuduhan itu tak main-main. Sejumlah petingginya—mulai dari rektor, dekan, hingga Guru Besar Hukum Pidana—terseret dalam pusaran polemik dugaan pemalsuan ijazah Presiden Joko Widodo.


Di tengah badai keraguan itu, nama Prof. Dr. Markus Priyo Gunarto, SH, MHum, mencuat. Alih-alih memberi klarifikasi berbasis akademik, ia justru melontarkan pernyataan yang terkesan menyamarkan substansi persoalan. 


Sebagai seorang guru besar hukum pidana, pendapat Markus tak hanya problematik secara akademis, tetapi juga rawan ditafsir sebagai pembelaan halus terhadap dugaan pelanggaran hukum. Ia seperti tengah memainkan peran—meminjam istilah populer—black lawyer.


Pernyataan Markus yang memberi kesan bahwa ijazah Jokowi asli tapi hilang, lalu dibuat ulang adalah bentuk advokasi berbalut diksi akademik yang samar. 


Padahal, dua pakar teknologi informasi—Dr. Roy Suryo dan Dr. Eng. Rismon H. Sianipar—secara tegas menyatakan bahwa, berdasarkan analisis digital forensik, ijazah Jokowi palsu. 


Publik pun menanti klarifikasi berbasis data dan metode ilmiah dari pihak UGM, bukan opini yang terkesan membelokkan arah diskusi.


Ironisnya, alih-alih menggerakkan fakultas teknik atau pusat studi forensik digital UGM untuk menguji data Roy dan Rismon secara akademik, Markus justru tampil memberi narasi pengaburan. 


Ia tidak hanya mengabdi pada kekaburan, tapi juga menutup pintu pertanggungjawaban ilmiah.


Apakah Markus lupa, bahwa opini yang dilemparkannya bisa dianggap sebagai bagian dari strategi melemahkan upaya hukum masyarakat sipil—dalam hal ini Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA)—yang tengah menempuh jalur litigasi dan non-litigasi terkait dugaan pemalsuan ijazah Jokowi?


TPUA telah mengajukan gugatan perdata dan laporan pidana atas dugaan pemalsuan ijazah ke pengadilan negeri hingga Mabes Polri, didukung bukti berupa putusan pengadilan dan pendapat pakar IT. Bahkan hingga hari ini (7 April 2025), TPUA masih terus melengkapi bukti.


Sebagai konseptor gugatan tersebut, saya menilai pernyataan Markus berbahaya. Ia berpotensi mengacaukan logika hukum publik. 


Advokasi yang ia bangun tak ubahnya debat kusir ala warung kopi, bukan refleksi dari guru besar di institusi yang lahir dari rahim republik.


Jika benar ijazah Jokowi hilang, bukankah seharusnya UGM memiliki berita acara kehilangan, laporan resmi ke kepolisian, atau setidaknya arsip pembanding yang bisa diuji secara forensik? 


Dan jika memang hilang, mengapa Jokowi menggunakan foto yang diduga palsu pada dokumen pengganti?


Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini tak pernah dijawab. Justru yang muncul adalah narasi pembelaan tak berbasis bukti. 


Di sinilah Markus, dan mungkin sebagian elite UGM, tampak abai terhadap asas fundamental dalam hukum: Mala in se—perbuatan yang salah secara moral, bukan semata formal.


Pertanyaannya kini: apakah UGM tengah kehilangan suara nuraninya? Apakah para akademisinya sedang menanggalkan etika intelektual demi selimut kekuasaan?


Markus boleh bersuara, tapi publik juga berhak bertanya: apakah ini suara guru besar, atau suara dari balik bayang-bayang kekuasaan? 


***

Penulis blog