'Siapa Saja di Balik Ijazah Palsu Jokowi?'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Pada mulanya adalah selembar ijazah. Di permukaannya, kertas itu tampak biasa—tertulis nama Joko Widodo, cap universitas, dan tahun kelulusan.
Namun, di balik sederet informasi formal itu, muncul suara-suara sumbang: “Apakah ini benar adanya?”
Pertanyaan itu tak lagi bisa dibungkam. Dugaan bahwa Presiden Joko Widodo menggunakan ijazah palsu telah menjadi bola salju yang terus menggelinding, dan seperti semua kasus besar yang menyangkut simbol kekuasaan, bola itu tak mungkin menggelinding sendirian.
Sebab, kalau memang benar palsu, pertanyaannya tidak lagi berhenti pada “apakah,” melainkan “siapa saja yang terlibat?”
Ijazah adalah artefak administratif yang lintas lembaga. Ia melewati banyak meja: meja kepala sekolah, meja rektorat, meja Mendikbud, hingga akhirnya disodorkan ke Komisi Pemilihan Umum saat sang pemilik hendak mencalonkan diri sebagai Wali Kota, Gubernur, bahkan Presiden.
Dengan kata lain: terlalu banyak mata, terlalu banyak tangan, terlalu banyak institusi yang mesti terlibat agar kebohongan sebesar ini bisa lolos begitu saja. Dan itu mengkhawatirkan.
Siapa pun yang menyimak jalur karier politik Jokowi sejak dari Solo ke Jakarta lalu ke Istana, tahu betul bahwa proses verifikasi administratif adalah prosedur wajib.
Bagaimana mungkin KPU meloloskan seseorang yang dokumennya tidak diverifikasi secara ketat?
Apakah hanya kelalaian birokrasi? Atau ada sesuatu yang sengaja dibiarkan?
Kalau ijazah itu palsu, maka ada institusi yang membubuhkan legalisasi atas sesuatu yang tidak pernah dikeluarkan.
Itu berarti ada pejabat universitas—rektor, dekan, kepala biro akademik—yang harus diperiksa.
Bukan hanya soal siapa yang menandatangani, tapi siapa yang menyuruh, siapa yang membiarkan, dan siapa yang menutup mata.
Kementerian Pendidikan pun tak bisa cuci tangan. Di era digital, rekam data mahasiswa bukan barang langka.
Satu klik, satu NIK, satu nama, dan sistem akan menjawab: apakah ia pernah terdaftar? Kalau tidak, mengapa sistem diam?
Skandal ini, kalau terbukti benar, bukan sekadar perkara pemalsuan ijazah. Ini adalah konspirasi politik kelas berat.
Kejahatan yang ditutup dengan lem perekat bernama kekuasaan. Orang-orang yang terlibat bukan hanya mereka yang memalsukan, tetapi juga mereka yang membungkam, menutupi, dan mengalihkan isu.
Sebab, mempertahankan kebohongan butuh lebih banyak energi daripada mengakui kebenaran.
Dan di negeri yang setiap lapis kuasanya sering kali diduduki oleh loyalis, kita tahu, energi itu tak pernah kehabisan pasokan.
Karena itu, ini bukan lagi soal Jokowi semata. Ini soal kejujuran sistem, soal keberanian negara mengoreksi diri.
Jika terbukti palsu, maka bukan hanya Jokowi yang harus bertanggung jawab.
Semua pihak yang ikut mengantar ijazah itu ke panggung politik tertinggi harus dipanggil. Mereka adalah pelaku kejahatan administratif, kriminal, dan politis.
Sebaliknya, jika ternyata tuduhan itu tidak terbukti, maka rakyat berhak tahu dengan jelas dan transparan: seperti apa proses verifikasi itu dilakukan, di mana saja titik rawan disinformasi, dan siapa yang memproduksi narasi palsu.
Karena, satu hal yang pasti: kebenaran, seperti sejarah, tidak boleh dipalsukan.
***
Sumber: FusilatNews