'Seruan Copot Gibran dan Jalan Terjal Menurunkan Wakil Presiden'
Seruan untuk mencopot Gibran Rakabuming Raka dari kursi Wakil Presiden menyeruak dari sebuah forum purnawirawan jenderal.
Mereka menyebut kehadiran Gibran di puncak kekuasaan sebagai hasil rekayasa politik yang mencederai demokrasi. Suara-suara lantang itu menuntut perubahan.
Tapi, dalam republik yang sudah tersandera kekuasaan, menggulingkan seorang Wakil Presiden bukan perkara mudah.
Konstitusi telah membentangkan jalan panjang, penuh jebakan dan ranjau politik.
UUD 1945 mengatur, Wakil Presiden hanya bisa dimakzulkan jika melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai pejabat negara.
Tuduhan harus berdiri di atas bukti, bukan semata karena ketidaksukaan atau kegeraman politik.
Langkah pertama bergulir di DPR. Usul pemberhentian harus diputuskan lewat rapat paripurna dengan persetujuan minimal dua pertiga dari anggota yang hadir, dari dua pertiga total anggota DPR.
Padahal, saat ini DPR lebih mirip ruang gema kekuasaan: mayoritas fraksi adalah perpanjangan tangan pemerintah.
Membayangkan DPR mengajukan pemakzulan terhadap Gibran, anak manta presiden yang masih bercokol kuat di belakang layar, sama sulitnya dengan berharap hujan turun di tengah kemarau panjang.
Jika keajaiban itu terjadi, Mahkamah Konstitusi menjadi arena berikutnya.
MK harus mengadili tuduhan secara objektif dan memutuskan apakah Wakil Presiden terbukti bersalah.
Tapi kredibilitas MK sendiri, setelah luka besar akibat putusan kontroversial soal batas usia capres-cawapres — yang menguntungkan Gibran — masih dalam sorotan publik.
Masyarakat yang kritis tentu bertanya: mungkinkah MK yang sama mengadili Gibran dengan nalar hukum yang jernih?
Asumsikan lagi keajaiban kedua terjadi: MK memutuskan Gibran bersalah. Maka MPR harus menggelar sidang untuk mengesahkan pemberhentian.
Lagi-lagi, syarat dua pertiga suara dari anggota MPR menjadi tembok tinggi.
Dalam konstelasi politik hari ini, ketika hampir semua partai besar telah dipeluk dalam barisan kekuasaan, menggoyang posisi Gibran di MPR seperti melawan badai dengan sebatang lidi.
Demikianlah mekanisme itu dirancang: bukan untuk mencegah pemakzulan yang sah, tetapi untuk memastikan hanya alasan paling berat dan bukti paling telak yang bisa meluluhkan seluruh benteng kekuasaan.
Namun dalam praktik, benteng itu kerap menjadi alat perlindungan bagi kekuasaan yang melanggar batas.
Seruan para purnawirawan jenderal barangkali melambangkan kegelisahan banyak kalangan terhadap masa depan demokrasi Indonesia.
Tapi, tanpa kekuatan politik besar, keberanian hukum, dan kesadaran kolektif, seruan itu akan berakhir sebagai desah di tengah padang kekuasaan yang membatu.
***
Sumber: FusilatNews