Polemik Ijazah Bikin Publik Resah: 'Bila Terjadi di Jepang, Jokowi Sudah Gantung Diri atau Digantung!
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Dalam tatanan bangsa yang beradab, kepercayaan adalah mahkota tertinggi yang dikenakan oleh seorang pemimpin.
Ia bukan diberikan secara cuma-cuma, melainkan dipinjamkan oleh rakyat dengan harapan besar bahwa kepercayaan itu akan dibalas dengan integritas.
Namun betapa hina dan rendahnya seorang pemimpin ketika ia ketahuan berdusta.
Sebab dusta dari seorang pemimpin bukan hanya mencederai akhlaknya, tapi juga mengoyak kepercayaan publik dan menghina akal sehat rakyatnya.
Presiden Joko Widodo adalah contoh nyata bagaimana dusta politik menjadi bara yang membakar legitimasi moral seorang pemimpin.
Ia pernah berkata, “Saya tidak pernah berpikir apalagi berniat menjadikan anak atau keluarga saya untuk masuk ke dalam politik.”
Pernyataan itu disampaikan di depan publik dengan nada tegas dan wajah tenang, seolah meyakinkan.
Tapi waktu membuktikan: anaknya menjadi Walikota, lalu melesat menjadi Wakil Presiden; menantunya menjadi Walikota dan kini Gubernur Sumatera Utara; dan putra bungsunya kini dipersiapkan maju di Pilkada Jakarta?
Apakah ini bukan dusta yang telanjang?
“The trust of the innocent is the liar’s most useful tool.” ― Stephen King
Betapa kepercayaan rakyat yang polos—yang menanti pemimpin jujur—dikhianati demi syahwat kekuasaan keluarga.
Inilah dusta yang tidak hanya memalukan, tapi juga menelanjangi kemunafikan di balik jubah populisme.
Rakyat bukan lagi dijadikan subjek pembangunan, melainkan objek pembohongan.
Dalam perspektif Islam, kebohongan adalah sifat yang sangat dibenci Allah. Rasulullah SAW menyebut dusta sebagai salah satu dari tiga tanda kemunafikan:
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila diberi amanah ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang melampaui batas dan pendusta.” (QS. Ghafir: 28)
Jelaslah bahwa pemimpin yang berdusta bukan saja telah gagal secara moral dan sosial, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip ilahiah yang seharusnya menjadi kompas batin seorang pemimpin.
Ia bukan saja menghina rakyat, tapi juga menghina Tuhan.
Dusta bukan sekadar kebohongan—ia adalah penghinaan terhadap akal budi kolektif sebuah bangsa.
Ia menciptakan ruang gelap dalam demokrasi, membunuh harapan, dan melahirkan generasi yang apatis.
Ketika rakyat melihat bahwa kebohongan bisa dijadikan strategi politik, maka kejujuran akan dianggap bodoh, dan tipu daya akan dianggap cerdas.
Sebuah bangsa yang hidup dalam atmosfer kebohongan tidak akan pernah tumbuh sehat, karena ia dibangun di atas tanah yang rapuh: tanah ketidakpercayaan.
Seorang pemimpin yang ketahuan berdusta tidak layak dikenang dengan hormat.
Ia layak dicatat dalam sejarah sebagai simbol kegagalan moral, bukan kebesaran politik.
Kepemimpinan bukan soal memenangkan pemilu, tapi memenangkan kepercayaan dan menjaga martabat.
Maka, jangan salahkan rakyat bila mereka mulai melawan, bersuara lantang, atau bahkan turun ke
jalan.
Karena ketika pemimpin berdusta, rakyat tak lagi berurusan dengan sekadar kebijakan, tapi dengan hakikat: bahwa mereka telah dikhianati.
***
Sumber: FusilatNews