'Dampak Hukum & Legitimasi Politik Pasca Kasus Ijazah Palsu Jokowi'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Pernyataan Jokowi mengenai tidak adanya kewajiban untuk memperlihatkan ijazahnya membawa dampak signifikan dalam konteks hukum dan politik, terutama ketika kita menyentuh masalah keabsahan ijazah yang kini menjadi sorotan utama dalam gugatan hukum terhadapnya.
Meskipun Jokowi sudah tidak menjabat sebagai presiden, kasus ini tetap membawa pengaruh besar terhadap reputasi dan legalitas politik yang ia miliki.
Implikasi Hukum: Legitimasi Kepemimpinan yang Terancam
Dalam ranah hukum, klaim bahwa seseorang terpilih sebagai presiden tanpa dokumen pendidikan yang sah mengundang pertanyaan serius tentang keabsahan proses pemilihannya.
Sebagai seorang pemimpin negara, ia harus menunjukkan bahwa ia memenuhi syarat, baik secara moral, sosial, maupun hukum.
Dalam konteks ini, ijazah bukan hanya soal simbol pendidikan, tetapi juga soal integritas dan kredibilitas dalam proses demokrasi.
Gugatan hukum yang kini tengah berjalan bisa berpotensi meruntuhkan dasar hukum yang selama ini membenarkan jabatan Jokowi sebagai presiden.
Jika terbukti bahwa ijazah yang dimilikinya palsu atau tidak sah, maka bukan hanya integritasnya sebagai individu yang dipertanyakan, tetapi juga proses pemilihan yang mendukungnya—yang menurut banyak pihak sudah dilalui dengan penuh legitimasi—akan tercoreng.
Sebagai contoh, jika suatu dokumen penting yang digunakan dalam pencalonan presiden ternyata palsu, konsekuensi hukum bisa berlanjut pada pembatalan hasil pemilu tersebut.
Meskipun hal ini jarang terjadi, preseden hukum terkait pelanggaran syarat administratif dalam pemilu bisa menyebabkan perubahan dalam sistem pemilihan umum Indonesia ke depan.
Hal ini juga bisa menimbulkan preseden buruk terhadap integritas proses demokrasi Indonesia yang sudah lama dipercaya.
Dampak Politikal: Kejatuhan Legitimasi Pasca-Kepemimpinan
Dari sisi politik, kasus ini mengguncang legitimasi Jokowi, meskipun ia telah turun dari jabatannya.
Di mata publik, terutama bagi mereka yang pernah memberikan dukungan padanya, kepercayaan bisa tergerus dengan cepat.
Apalagi, Jokowi yang sebelumnya dikenal sebagai sosok yang dekat dengan rakyat kini terperangkap dalam tuduhan ketidaktransparanan yang dapat mempengaruhi citranya sebagai pemimpin yang “merakyat.”
Jika kemudian terbukti bahwa ijazah yang dimilikinya tidak sah, ini bisa menggoyahkan pandangan masyarakat tentang integritas kepemimpinannya.
Sebagai mantan presiden, Jokowi tetap memiliki pengaruh besar dalam politik Indonesia, dan setiap langkah atau skandal yang menempel padanya bisa memengaruhi dinamika partai politik dan bahkan menentukan arah dukungan bagi kandidat-kandidat politik yang akan datang.
Dampak lainnya adalah pada citra Golkar dan partai politik yang mendukung Jokowi selama masa kepresidenannya.
Mereka yang terhubung dengan pemilihan presiden bisa dilihat sebagai bagian dari jaringan yang mungkin mengabaikan atau bahkan membenarkan kekeliruan administratif semacam ini.
Dalam jangka panjang, partai-partai ini harus menghadapi beban politik untuk menjelaskan apakah mereka mendukung proses pemilu yang adil dan bebas dari manipulasi.
Tantangan Demokrasi Indonesia: Membangun Kepercayaan Kembali
Jika kasus ini berkembang dan membuktikan bahwa ada kejanggalan terkait legalitas ijazah Jokowi, ini akan menjadi tamparan bagi demokrasi Indonesia.
Kepercayaan publik terhadap sistem pemilu dan proses politik di Indonesia bisa terancam, karena rakyat mulai mempertanyakan apakah pemilu di Indonesia benar-benar adil dan transparan.
Lebih lanjut, publik bisa mempertanyakan sejauh mana pemerintah dan lembaga-lembaga negara, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), memastikan bahwa kandidat presiden memenuhi persyaratan yang sah.
Tanpa transparansi dan akuntabilitas yang kuat, politik Indonesia akan terus dihantui oleh ketidakpercayaan, yang pada akhirnya dapat melemahkan fondasi demokrasi yang telah susah payah dibangun selama beberapa dekade.
Penutup: Ketika Hukuman Sosial Lebih Keras dari Hukuman Hukum
Kasus dugaan ijazah palsu Jokowi adalah bukti nyata bahwa dalam demokrasi, akuntabilitas adalah segalanya.
Sebagai mantan presiden, Jokowi mungkin dapat menghindari dampak hukum langsung atas kesalahan administratif tersebut—terutama jika tidak ada proses hukum yang jelas mengenai pembatalan pemilu.
Namun, dampak sosial dan politikal yang ditimbulkan bisa jauh lebih menghancurkan.
Pernyataan Jokowi yang terkesan menghindari pertanggungjawaban hanya menambah bahan bakar bagi spekulasi dan ketidakpercayaan publik terhadap elit politik Indonesia.
Tanpa sebuah jawaban yang memadai, ia berisiko kehilangan posisi moral di hadapan rakyat yang pernah memberinya mandat untuk memimpin.
Inilah tantangan terbesar bagi para pemimpin Indonesia: bahwa kata-kata dan tindakan mereka tidak hanya dipertanyakan di ruang publik, tetapi juga dihadapkan pada ujian akuntabilitas yang lebih besar—yakni mempertahankan kepercayaan rakyat setelah kekuasaan ditinggalkan.
***
Sumber: FusilatNews