CATATAN HUKUM POLITIK

Setelah di Laut, Kini Ditemukan HGU di Kawasan Hutan: 'Bukti Oligarki Menguasai Tanah Negeri!'

DEMOCRAZY.ID
Februari 01, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
HUKUM
POLITIK
Setelah di Laut, Kini Ditemukan HGU di Kawasan Hutan: 'Bukti Oligarki Menguasai Tanah Negeri!'



DEMOCRAZY.ID - Kasus kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang sebelumnya ditemukan di atas laut, kini semakin menegaskan absurditas tata kelola agraria di Indonesia dengan ditemukannya HGU di kawasan hutan. 


Fenomena ini kembali membuktikan bahwa kepemilikan lahan dalam skala besar tidak berada di tangan rakyat biasa, melainkan dikuasai oleh elite pengusaha besar yang terus mengakumulasi keuntungan tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem.


Pengakuan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid bahwa terdapat sertifikat HGU yang diterbitkan di atas lahan hutan semakin memperjelas permasalahan kronis dalam pengelolaan tanah di Indonesia. 


Hal ini ia sampaikan dalam rapat dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (30/1/2025).


Dalam rapat tersebut, Nusron Wahid menjelaskan bahwa ada dua skenario penyebab tumpang tindih kepemilikan lahan di kawasan hutan. 


Pertama, terdapat perusahaan yang telah memiliki sertifikat dalam bentuk Sertifikat Hak Milik (SHM) atau SHGU, tetapi dalam perjalanannya, lahan tersebut tiba-tiba masuk ke dalam kawasan hutan. 


Kedua, ada lahan yang sejak awal dipetakan sebagai kawasan hutan, namun tetap diterbitkan sertifikat kepemilikan di atasnya. 


Ironisnya, Nusron tidak memberikan data jumlah SHGU yang bermasalah atau daftar perusahaan yang terlibat, seolah mengaburkan transparansi yang seharusnya menjadi prinsip utama dalam pengelolaan lahan negara.


Konflik Kepentingan dan Lemahnya Regulasi


Fakta bahwa kepemilikan lahan dalam jumlah besar didominasi oleh segelintir elite menegaskan bahwa kebijakan agraria di Indonesia masih sarat dengan konflik kepentingan. 


Pemegang HGU/HGB bukanlah petani kecil atau rakyat miskin yang membutuhkan tanah untuk bertahan hidup, melainkan korporasi besar yang memiliki kekuatan politik dan finansial. 


Regulasi yang seharusnya menjadi instrumen keadilan justru kerap kali ditekuk agar mengakomodasi kepentingan mereka.


Nusron Wahid menyebutkan bahwa pemerintah telah menemukan solusi dengan menetapkan aturan: jika suatu lahan telah ditetapkan sebagai kawasan hutan sebelum SHGU atau SHM diterbitkan, maka sertifikat akan dibatalkan dan hutannya tetap dipertahankan. 


Namun, jika sertifikat kepemilikan diterbitkan lebih dahulu sebelum kawasan itu dipetakan sebagai hutan, maka status hutannya akan dihapus. 


Kebijakan ini justru membuka ruang bagi legalisasi eksploitasi hutan oleh pemegang sertifikat lama, yang umumnya adalah korporasi besar.


Eksploitasi Hutan dan Ancaman Ekologis


Keberadaan HGU di kawasan hutan bukan hanya soal ketimpangan kepemilikan lahan, tetapi juga merupakan ancaman besar bagi lingkungan. 


Hutan yang seharusnya menjadi penyangga ekosistem kini semakin tergerus akibat alih fungsi lahan. 


Penebangan liar, pembukaan lahan untuk perkebunan skala besar, serta ekspansi properti semakin mengancam keberlanjutan hutan Indonesia. 


Alih-alih memperkuat perlindungan terhadap kawasan hutan, pemerintah justru menawarkan solusi yang memperbesar celah eksploitasi.


Kasus ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih berpihak pada pemilik modal dibandingkan dengan kepentingan rakyat dan lingkungan. 


Tidak adanya data rinci mengenai perusahaan yang memiliki lahan di kawasan hutan semakin menunjukkan lemahnya transparansi dalam kebijakan pertanahan di Indonesia. 


Jika pemerintah serius dalam menyelesaikan persoalan ini, seharusnya audit menyeluruh dilakukan dan daftar pemegang HGU di kawasan hutan diumumkan ke publik.


Kembali ke Prinsip Keadilan Agraria


Reformasi agraria sejati seharusnya tidak hanya menjadi retorika politik, tetapi diwujudkan dalam kebijakan konkret yang berpihak kepada rakyat kecil dan keberlanjutan lingkungan. 


Penguasaan lahan oleh segelintir elite harus dihentikan, dan kepemilikan tanah harus dikembalikan kepada rakyat yang benar-benar membutuhkannya. 


Jika tidak, maka permasalahan tumpang tindih lahan ini akan terus berulang, dengan rakyat dan lingkungan sebagai korban utama.


Pemerintah harus menegakkan supremasi hukum tanpa pandang bulu, melakukan evaluasi terhadap kebijakan pertanahan yang selama ini cenderung menguntungkan korporasi besar, serta memastikan bahwa perlindungan terhadap kawasan hutan tidak hanya sekadar wacana. 


Tanpa langkah nyata, kasus ini hanya akan menjadi catatan panjang dari lemahnya tata kelola agraria di Indonesia.


Sumber: FusilatNews

Penulis blog