CATATAN HUKUM POLITIK

Sertifikat HGB-HGU: 'Asli Tapi Palsu - Alat Legalisasi Untuk Mengusir Rakyat'

DEMOCRAZY.ID
Februari 01, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
HUKUM
POLITIK
Sertifikat HGB-HGU: 'Asli Tapi Palsu - Alat Legalisasi Untuk Mengusir Rakyat'


Sertifikat HGB-HGU: 'Asli Tapi Palsu - Alat Legalisasi Untuk Mengusir Rakyat'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Dalam sistem administrasi pertanahan, sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU) merupakan dua instrumen legal yang seharusnya menjadi jaminan kepastian hukum bagi pemiliknya. 


Namun, di era pemerintahan Jokowi, dua dokumen ini sering kali menjadi alat legitimasi kepentingan tertentu, bahkan diduga dipermainkan untuk melayani segelintir elit dengan mengabaikan asas keadilan bagi rakyat kecil. 


Klaim bahwa semua proses legalitas telah dilalui pun kerap dipertanyakan, mengingat kasus-kasus sengketa tanah yang tak kunjung usai dan semakin maraknya penguasaan tanah oleh korporasi besar dengan dalih sertifikasi formal yang sah.


HGB dan HGU: Manipulasi Legalitas?


Dalam beberapa kasus, pemerintah Jokowi kerap mengklaim bahwa penerbitan sertifikat HGB dan HGU telah melalui proses hukum yang benar. 


Namun, apakah legalitas yang diklaim ini benar-benar mencerminkan keadilan? 


Banyak tanah yang sebelumnya merupakan tanah adat atau milik masyarakat kecil tiba-tiba berubah statusnya menjadi lahan konsesi korporasi dengan dasar sertifikat yang dilegalkan oleh negara. 


Fenomena ini tidak hanya terjadi di wilayah perkotaan tetapi juga di daerah pedesaan dan wilayah adat yang kaya akan sumber daya alam.


Kasus-kasus seperti konflik agraria di Rempang, konsesi perkebunan sawit di Kalimantan, hingga penggusuran warga di berbagai daerah demi proyek strategis nasional menunjukkan betapa dokumen legal bisa menjadi alat perampasan terselubung. 


Dalam banyak kasus, warga yang telah bertahun-tahun menempati tanahnya tiba-tiba digusur dengan alasan lahan tersebut telah memiliki sertifikat HGU yang diberikan kepada korporasi tertentu. 


Mereka yang mempertanyakan keabsahan sertifikat tersebut sering kali dihadapkan pada ketidakjelasan proses penerbitannya dan minimnya transparansi pemerintah dalam menangani sengketa tanah.


Asli Tapi Palsu: Legalisasi yang Dipaksakan


Fenomena sertifikat HGB-HGU yang “asli tapi palsu” mencerminkan bagaimana legalitas di era Jokowi lebih banyak berfungsi sebagai alat justifikasi daripada sebagai jaminan keadilan. 


Dokumen yang secara hukum sah, namun dalam praktiknya dibuat dengan cara yang merugikan masyarakat, sama halnya dengan bentuk pemalsuan yang dilegalkan. 


Legalitas tidak hanya tentang ada atau tidaknya dokumen resmi, tetapi juga tentang bagaimana dokumen itu diterbitkan dan apakah prosesnya adil serta berpihak pada kepentingan rakyat.


Dalam konteks ini, praktik pemerintah Jokowi dalam mengelola isu pertanahan mirip dengan polemik yang hingga kini masih menyelimuti ijazah Jokowi sendiri. Hingga saat ini, keaslian ijazahnya masih menjadi misteri yang terus dipertanyakan. 


Berulang kali ia mengklaim bahwa ijazahnya sah, namun tidak pernah memperlihatkan dokumen aslinya secara terbuka kepada publik. 


Hal ini menimbulkan keraguan, bukan hanya mengenai pendidikan Jokowi, tetapi juga tentang transparansi dan akuntabilitas pemerintahannya secara keseluruhan.


Menimbang Kredibilitas Pemerintah dalam Legalitas


Jika pemerintah bisa mengklaim bahwa sertifikat HGB-HGU sah karena telah melalui prosedur administrasi yang formal, maka seharusnya hal yang sama berlaku untuk dokumen-dokumen lainnya, termasuk ijazah presiden. 


Namun, kenyataannya, transparansi dalam kedua hal ini sangat berbeda. Dalam kasus sertifikasi tanah, rakyat dipaksa untuk menerima klaim legalitas meskipun faktanya banyak kejanggalan terjadi di lapangan. 


Sementara itu, dalam kasus ijazah, pemerintah justru bersikeras menolak untuk membuka fakta yang seharusnya bisa menjernihkan segala keraguan.


Keberpihakan pemerintah terhadap oligarki, serta kecenderungan untuk menggunakan legalitas sebagai alat justifikasi, menunjukkan bahwa hukum dan dokumen resmi di era Jokowi lebih sering digunakan untuk melanggengkan kekuasaan daripada sebagai alat untuk menegakkan keadilan. 


Jika rakyat terus-menerus dipaksa menerima legalitas yang “asli tapi palsu”, maka kepercayaan terhadap institusi negara akan semakin terkikis, dan ini bisa menjadi bom waktu bagi stabilitas sosial dan politik di Indonesia.


Kesimpulan


Ketika pemerintah bermain-main dengan legalitas, baik dalam urusan sertifikasi tanah maupun dalam klaim atas dokumen pribadi, maka yang terancam bukan hanya hak-hak masyarakat tetapi juga kredibilitas negara itu sendiri. 


Jika legalitas hanya menjadi alat manipulasi kekuasaan, maka yang terjadi bukanlah kepastian hukum, melainkan legalisasi ketidakadilan. 


Dalam konteks ini, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: apakah pemerintah benar-benar menjalankan hukum untuk melindungi rakyat, ataukah justru menggunakannya sebagai tameng untuk kepentingan tertentu? Sampai transparansi ditegakkan, rakyat akan terus mempertanyakan: apakah yang sah benar-benar adil, dan apakah yang legal benar-benar jujur?


Sumber: FusilatNews

Penulis blog