CATATAN HUKUM POLITIK

Pendapat 2 Pakar: 'Jokowi Dapat Dihukum Mati?'

DMCRZ NEWS
Februari 01, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
HUKUM
POLITIK
Pendapat 2 Pakar: 'Jokowi Dapat Dihukum Mati?'


Pendapat 2 Pakar: 'Jokowi Dapat Dihukum Mati?'


1. JOKOWI DAPAT DIHUKUM MATI


Oleh : M Yamin Nasution

Pemerhati Hukum



JOKOWI, orang yang dahulu terlihat polos, santun, baik, dan merakyat menjadi harapan besar bagi rakyat untuk menjadi pemimpin seperti pohon besar nan rindang, dimana daunnya tempat berteduh rakyat dari panas dan hujan, batangnya tempat bersandar rakyat dari ketidakadilan, dan urat pohon menjadi tempat duduk bagi rakyat yang letih berjuang dari  beban kehidupan dan kemiskinan.


Harapan rakyat itu sirna, Jokowi lebih memilih memberikan pekerjaan pada pengangguran rakyat China yang sengaja didatangkan ke Indonesia untuk bekerja, dan seluruh kebijakan yang dilahirkan Jokowi terlihat lebih memihak pada RRC.


Jokowi tidak hanya ingkari janji-janji politik pada rakyat, bahkan dia tega mengusir rakyat dari pemukimannya demi investasi, selain itu banyaknya rakyat yang tewas seperti tragedi Kanjuhruan, Mutilasi dan pembunuhan lain di Papua, KM 50, semua ini keadilan yang tak di penuhinya. 


Privatisasi, Swastanisasi dan Korupsi besar-besaran terjadi di masa Jokowi, dan lagi-lagi dia ingkari janji pemberantasan korupsi.


Lebih-lebih saat memasuki akhir masa jabatannya, JOKOWI semakin memperlihatkan Syndrome Episodik Politik, kejiwaan yang tak bisa lepas dari pengalaman indah sebagai pemimpin politik tertinggi, sehingga dia melakukan banyak skandal untuk memperpanjang kekuasaanya, termasuk memuluskan jalan putranya maju dalam Pemilu 2024 melalui tangan iparnya Usman (Tercatat di Jurnal Hukum Konstitusi I-Connect 2023, Stefanus Hendrianto – Gregorian University).


Konsep Hukum Pidana Indonesia mengatur dua jenis kejahatan, yaitu: kejahatan khusus dan kejahatan umum. Kedua bentuk kejahatan ini secara umum diketahui diatur pada KUHP.


Paska Amandemen ke empat, berdasarkan kesepakatan politik, pengaturan kejahatan khusus dalam Hukum Pidana Indonesia terbagi atas dua hal :


1. Kejahatan khusus seperti terorisme, pemberontakan (makar), korupsi, dll, semua ini di atur di KUHP dan prosesnya merujuk pada KUHAP


2. Kejahatan Khusus tentang pembangkangan terhadap Konstitusi, atau secara universal disebut Kejahatan Konstitusi, hal ini khusus di atur bagi pejabat tertinggi negara yaitu Presiden, Pengaturannya terdapat pada Pasal 7A UUD-NRI 1945 dan Proses Hukum Acaranya pada DPR-RI, MPR-RI, dan MK;


Pasal 7A


Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.


Johann Gotlieb Fitche, 2018 (Das System der Rechtslehre) mengatakan: “Hukum praktis ada dua, a). memerintah tanpa syarat dalam kategori hukum moral, dan b). perintah dengan syarat, kategori hukum kondisional. 


Pengaturan kebebasan seorang presiden dalam menjalankan tugas hanya berada terdapat pada UU Konstitusi atau hukum moral yang disebutkan oleh Fitche, tuntutan kehati-hatian dalam bersikap, baik bicara, sikap dan kebijakan dengan landasan moralitas yang di tuntun oleh Agama dan Budaya berkaitan dengan kepantasan, nilai-nilai yang hikmah dan bijaksana.


Penghianatan terhadap Negara adalah pembangkangan terhadap konstitusi dan ini adalah kejahatan besar yang memungkinkan dilakukan oleh seorang presiden, perbuatan tercela yang di maksud berupa gagalnya seorang presiden melindungi rakyat seperti terjadi pembunuhan namun tidak di proses dengan benar secara hukum, atau mengusir rakyat seperti kejadian di Rempang.


Kejahatan yang dimaksud adalah penghianatan terhadap kesepakatan seluruh rakyat yang dijadikan dasar kesepakatan dalam bernegara, kejahatan terhadap konstitusi dapat menyebabkan bubarnya suatu negara, atau terjadinya kerusuhan yang menyebabkan korban atas reaksi dari kelompok masyarakat yang tidak terima, dalam konsep hukum pidana disebut delik formil. 


Pembakangan, penghianatan konstitusi adalah kejahatan besar bernegara, dan tercela adalah gagal dalam melindungi rakyat atau melakukan kesewenang-wenangan kekuasaan (pembiaran).


Perhatikan frasa tindak “pidana korupsi”, penyelidikan dan penyidikan bagi seorang presiden mustahil dapat dilakukan karena kekuasaanya membawahi seluruh penegak hukum, dan seandainya proses ini dapat dilakukan, lalu di proses sesuai bunyi pasal dan presiden di makzulkan, tidak masuk akal seorang presiden hanya berhenti, tanpa proses pengaturan pidana berikutnya. 


Artinya, yang memungkinkan hanya dua kejahatan yaitu ; pembangkangan terhadap konstitusi, dan perbuatan tercela yang memungkinkan seorang presiden untuk di pidana.


Sebagian mengatakan: “Putusan MK tersebut tidak dikeluarkan oleh presiden, melaikan Iparnya”, pandangan ini benar, namun perlu di fahami bahwa, positivisme hukum tidak dapat di negasikan tentang kriminologi, Gerardus Peter Hoefnegels, 2013 (The Other Side of Criminolgy: An Inversion of the Concept of Crime) mengatakan: bahwa hukum pidana mencari pelaku utama selain pelaku itu sendiri yang berkaitan dengan kekuasaan. 


Hanya pemegang kekuasaan yang paling potensi menjadi pelaku utama kejahatan, dalam hal ini merujuk pada pernyataan Faizal Assegaf (Metro TV, Kompas TV), bahwa orang-orang yang meresahkan rakyat hanya lima: Jokowi, Istri, dua anaknya dan Usman. 


Maka Konsep Pidana Indonesia yang melandasakan beberapa kasus pidana pada UUD sejalan dengan Belanda dan Swedia. Dan Jokowi dapat di Makzulkan dan dapat di Hukum Mati.


2. JOKOWI DAPAT DIHUKUM MATI?


Oleh: Abdullah Hehamahua

Ketua Majelis Syuro Partai Masyumi



OCCRP akhir tahun lalu menetapkan Jokowi sebagai presiden terkorup nomor dua di dunia. Namun, Jokowi dan para pedukungnya menganggap hal tersebut sebagai fitnah. Bahkan, tanpa malu, mereka minta bukti.


Jokowi dan pendukungnya, dapat mengikuti beberapa seri artikel berikut agar paham, mengapa OCCRP menetapkannya sebagai koruptor kelas dunia. Artikel seri ini menginformasikan salah satu jenis korupsi berdasarkan motif.


Korupsi Berdasarkan Motif


Memahami rumusan OCCRP harus didahului dengan mengetahui jenis dan bentuk korupsi. Referensi internasional menyebutkan, korupsi berdasarkan motif ada 4 jenis yakni: corruption by need, corruption by greedy; corruption by opportunity; dan corruption by expose.


“Corruption by need” adalah korupsi yang dilakukan seseorang karena kebutuhan. Mayoritas PNS waktu Orde Baru korupsi karena gaji mereka sangat kecil.


Penulis pernah menjabat Wakil Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), 2001 – 2004. 


Penulis ketika memeriksa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pejabat, menemukan banyak keunikan. Salah satunya, ada pejabat yang melakukan perjalanan dinas selama 200 hari dalam setahun.


Aneh tapi nyata. Sebab, masa Orde Baru, salah satu sumber penghasilan PNS yang signifikan adalah biaya perjalanan dinas. 


Ini karena, biaya perjalanan dinas diberikan dalam bentuk lumpsum. Aplikasinya, berapa pun sisa uang perjalanan dinas, tidak dikembalikan ke kantor. Ia sudah menjadi milik pegawai bersangkutan.


Pemerintah menetapkan waktu itu, PNS yang melakukan perjalanan dinas harus menggunakan pesawat Garuda. 


Faktanya, banyak yang menggunakan pesawat lain yang lebih murah harganya seperti Merpati atau Mandala.


Bagaimana mengakali laporan perjalanan dinas.? PNS terkait membeli tiket “bodong” di travel biro, Jakarta dengan harga Rp.75 ribu.


Olehnya, ketika sudah punya Peraturan Kepegawaian, SOP dan Kode Etik (2005), KPK meminta PNS menggunakan sistem “at cost” dalam perjalanan dinas. Aplikasinya, berapa pun sisa uang perjalanan dinas, harus dikembalikan ke kantor.


KPK dalam mengaudit laporan perjalanan dinas pegawainya, tidak memeriksa tiket penerbangan. KPK memeriksa “boarding pass.” 


Namun, salah seorang petugas di bandara Soeta menginformasikan, “boarding pass” pun dapat dipalsukan. “Pantas, iblis pun tidak mau bertugas di Indonesia,” batinku.


Jokowi tidak termasuk kelompok yang melakukan jenis “korupsi karena kebutuhan.” Sebab, beliau bukan PNS, apalagi pejabat. 


Jokowi seorang pengusaha meubel di Solo. Beliau lalu dicalonkan PDIP untuk menjadi walikota Solo, 2005 – 2015.


Jokowi dan “Corruption by Greedy”


“Corruption by greedy” adalah korupsi yang dilakukan karena keserakahan. Jokowi ketika menjadi walikota Sola, mulai menunjukkan keserakahannya. Sebab, Jokowi sebelum mengakhiri masa jabatan sebagai walikota Solo periode kedua 2010 – 2015, beliau maju dalam pilkada Jakarta, 2012. 


Bahkan, sebelum mengakhiri masa jabatan sebagai gubernur DKI sesuai janjinya waktu kampanye, Jokowi maju sebagai capres dalam Pilpres 2014.


Sikap serakah Jokowi tersebut dalam dilihat dari salah satu pidatonya ketika kampanye Pilpres 2019 di stadion Sriwedari, Solo, 9 Aparil 2019. 


Jokowi dengan birahi yang tinggi berucap: “Tahun 2014 kita menang 66 persen. Tapi saya enggak mau lagi hanya menang 66 persen. Enggak mau. Minimal 70 persen.”


Apakah sikap serakah kekuasaan dapat dijerat pidana korupsi.? Bisa. Sebab, pasal 3 UU Tipikor menyebutkan: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."


Perkataan “dapat” merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dalam undang-undang tersebut, mengisyaratkan adanya potensi terjadinya kerugian keuangan/perekonomian negara. 


Maknanya, sekalipun tidak terjadi kerugian keuangan negara secara kuantitatif, seorang PN dapat dipidana jika beliau menyalah-gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada di dirinya.


Jokowi dalam Pilkada DKI telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana sebagai walikota Solo dalam proses kampanye Pilkada DKI. Sebab, beliau tidak mengundurkan diri sebagai walikota Solo ketika mengikuti Pilkada DKI, 2012.


Bahkan, Jokowi mengalami masalah dalam pelantikannya sebagai gubernur DKI. Sebab, timbul persoalan administrasi kenegaraan akibat beliau secara resmi masih menjabat walikota Solo.


Jokowi Cawe-Cawe dalam Pilpres 2024


Keserakahan Jokowi dalam kekuasaan kembali muncul ketika beliau aktif kampanye dalam Pilpres 2024. 


Padahal, UU No 7/2017 tentang Pemilu, pasal 2009 sampai dengan pasal 305, melarang presiden dan wakil presiden yang bukan capres/cawapres ikut kampanye. 


Hanya presiden dan wakil presiden yang menjadi capres/cawapres kembali dapat berkampanya. Itu pun harus mengambil cuti resmi.


Faktanya, Jokowi dalam Pilpres 2024, aktif kampanye. Bahkan, tanpa mengambil cuti. Padahal, fasilitas yang digunakan selama kampanye adalah milik negara, sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan pasal 3 UU Tipikor.


Keserakahan Jokowi sangat telanjang ketika melalui adik iparnya yang Ketua MK, memaksakan anaknya, Gibran bisa menjadi cawapres. 


Jokowi, dalam kontek ini, berdasarkan pasal 3 UU Tipikor, telah melakukan pidana korupsi sehingga dapat dijatuhi hukuman minimal setahun, maksimal 20 puluh tahun penjara.


Namun, jika perbuatan Jokowi tersebut menimbulkan kerusakan luar biasa terhadap tatanan hukum, kenegaraan, dan keuangan/perekonomian negara, maka beliau dapat dikenakan pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. 


Aplikasinya, Jokowi dapat dijatuhi hukuman mati. Semoga !!! (bersambung). Shah Alam, 30 Januari 2025. ***


Sumber: FUSILATNEWS

Penulis blog