Paradoks Kebijakan: Menteri Bahlil vs Presiden Prabowo – 'Gas Melon Dinormalkan Kembali'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Keputusan pemerintah terkait distribusi gas LPG 3 kg belakangan ini menimbulkan polemik di masyarakat.
Awalnya, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana melarang pengecer menjual gas LPG 3 kg.
Kebijakan ini sontak menimbulkan kegaduhan karena gas melon, yang diperuntukkan bagi masyarakat kecil, menjadi sulit didapatkan. Kelangkaan ini bahkan memicu antrean panjang di pangkalan resmi.
Namun, hanya dalam hitungan hari, Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan instruksi yang bertolak belakang dengan kebijakan Kementerian ESDM.
Ia memutuskan untuk kembali memperbolehkan pengecer menjual LPG 3 kg, sambil menata ulang regulasi agar harga tetap terkendali.
Paradoks kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana bisa seorang presiden membatalkan kebijakan kementerian yang berada di bawahnya? Apakah ini menunjukkan disharmoni dalam pemerintahan?
Inkonsistensi dan Dampaknya
Keputusan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dan Kementerian ESDM sebelumnya bertujuan untuk menertibkan harga gas LPG 3 kg agar tidak melambung di tingkat pengecer.
Dalam teori regulasi, langkah ini tampak rasional: dengan memusatkan distribusi pada pangkalan resmi, diharapkan subsidi tepat sasaran.
Namun, kenyataan di lapangan berkata lain. Pasokan LPG 3 kg terbatas, sementara pangkalan resmi tidak selalu mudah dijangkau masyarakat, terutama di daerah terpencil.
Keputusan mendadak ini juga mencerminkan kurangnya koordinasi dalam pemerintahan.
Jika kebijakan pelarangan pengecer sudah dikaji dengan matang, mengapa Presiden Prabowo harus mengintervensi dan mencabutnya begitu cepat? Apakah ini indikasi bahwa kebijakan sebelumnya dibuat tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi secara menyeluruh?
Paradoks Kepemimpinan Prabowo
Langkah Prabowo yang membatalkan kebijakan kementeriannya sendiri bisa dibaca dalam dua sudut pandang.
Pertama, ia berusaha menunjukkan kepeduliannya terhadap rakyat dengan mengambil keputusan cepat yang pro-masyarakat.
Ini sejalan dengan citra populis yang kerap ia tampilkan. Namun, di sisi lain, keputusan ini memperlihatkan lemahnya konsolidasi kebijakan dalam kabinetnya.
Sebagai presiden, Prabowo seharusnya memastikan bahwa setiap kebijakan telah melalui koordinasi yang matang sebelum diterapkan.
Jika kebijakan pelarangan pengecer dianggap merugikan, mengapa tidak dikoreksi sejak awal?
Sebaliknya, jika kebijakan tersebut benar, mengapa buru-buru dibatalkan setelah mendapat tekanan publik dan DPR? Inkonsistensi ini berpotensi membuat kebijakan pemerintahan terlihat reaktif dan kurang berbasis kajian yang kuat.
Dinamika Politik dan Kepentingan
Kasus ini juga menyoroti dinamika politik dalam pemerintahan Prabowo. Menteri Bahlil adalah sosok yang dikenal dekat dengan Jokowi, sementara Prabowo, sebagai presiden, berusaha membangun otoritasnya sendiri.
Tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam kabinetnya terdapat berbagai kepentingan yang saling bersinggungan.
Keputusan Prabowo untuk membatalkan kebijakan ini bisa juga dilihat sebagai upaya untuk menegaskan dominasi kekuasaannya atas kebijakan nasional, menunjukkan bahwa ia memiliki kontrol penuh terhadap arah pemerintahan.
Namun, jika kebijakan-kebijakan terus berubah dengan cepat tanpa perencanaan matang, ini dapat menciptakan ketidakpastian bagi masyarakat dan pelaku usaha.
Kepercayaan publik terhadap pemerintah pun bisa menurun jika kebijakan yang diambil cenderung bersifat reaktif alih-alih strategis.
Kesimpulan
Paradoks antara kebijakan Menteri Bahlil dan Presiden Prabowo dalam kasus LPG 3 kg menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam koordinasi pemerintahan.
Di satu sisi, kebijakan awal pemerintah bertujuan untuk menertibkan harga, tetapi di sisi lain, intervensi presiden justru memperlihatkan adanya ketidaksiapan dalam eksekusi kebijakan tersebut.
Keputusan yang berubah-ubah ini mencerminkan lemahnya perencanaan strategis dalam pemerintahan baru Prabowo.
Ke depan, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan, memastikan ada kajian yang matang sebelum diterapkan.
Selain itu, koordinasi antar kementerian dan presiden harus diperkuat agar tidak terjadi lagi inkonsistensi kebijakan yang justru menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Sumber: FusilatNews