CATATAN HUKUM POLITIK

Jokowi Tantang Siap Diperiksa: 'Mengikuti Proses Hukum'

DEMOCRAZY.ID
Februari 03, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
HUKUM
POLITIK
Jokowi Tantang Siap Diperiksa: 'Mengikuti Proses Hukum'


Jokowi Tantang Siap Diperiksa: 'Mengikuti Proses Hukum'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Sidang perkara hukum adalah artefak yuridis yang menjadi dasar dalam memeriksa apakah terdapat perbuatan melawan hukum atau delik hukum. 


Salah satu kasus yang baru-baru ini mencuat ke permukaan adalah dugaan penyalahgunaan proyek Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) untuk menutupi utang kampanye Pilpres 2019 Joko Widodo. 


Pengakuan yang muncul dalam sidang kasus korupsi proyek jalur kereta api ini mengindikasikan adanya dugaan kuat penyalahgunaan wewenang yang berujung pada tindak pidana korupsi.


Kesaksian Kunci: Pengondisian Proyek untuk Pendanaan Pilpres


Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Semarang pada Senin (3/2/2025), terdakwa Yofi Okatrisza, mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah, DJKA, mengungkap bahwa dirinya diperintahkan untuk mengondisikan pemenang paket pekerjaan bagi kontraktor Muhamad Syarif Abubakar alias Haji Mamad.


Yofi menjelaskan bahwa biasanya setiap pemenang proyek dikenakan fee, tetapi untuk proyek yang dimenangkan oleh Haji Mamad, tidak ada fee yang diminta. 


Hal ini dikarenakan proyek tersebut digunakan sebagai pengganti utang dana kampanye Pilpres Jokowi di Sumatera Selatan.


“Uang Haji Mamad dipakai untuk membiayai Pilpres di Sumsel,” ungkap Yofi dalam persidangan. 


Setelah Pilpres 2019 usai, Haji Mamad menagih dana yang telah ditalangi dengan meminta proyek kepada pejabat DJKA Kementerian Perhubungan. Proyek tersebut pun diberikan melalui intervensi sejumlah pejabat tinggi di DJKA.


Dugaan Skema Pengumpulan Dana Kampanye


Selain kesaksian Yofi, terdapat pula pengakuan dari pejabat Kementerian Perhubungan lainnya, Danto Restyawan, yang dalam sidang pada Senin (13/1/2025) mengungkap bahwa dirinya diperintahkan untuk mengumpulkan dana senilai Rp5,5 miliar untuk kepentingan Pilpres 2019. 


Ia mengatakan, sembilan PPK di berbagai wilayah diminta untuk menyetorkan uang masing-masing sebesar Rp600 juta yang diduga berasal dari proyek-proyek yang telah dikondisikan.


Danto juga menuturkan bahwa perintah pengumpulan dana ini berasal dari Menteri Perhubungan saat itu, Budi Karya Sumadi, meskipun tidak secara langsung. 


Awalnya, tugas tersebut diemban oleh Direktur Prasarana Kemenhub, Zamrides, yang kemudian menghilang setelah diduga termonitor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 


Danto pun ditunjuk untuk menggantikan peran tersebut dalam mengoordinasikan pengumpulan dana.


Hakim Menyoroti Penyalahgunaan Wewenang


Ketua Majelis Hakim Gatot Sarwadi merasa heran dengan adanya utang Pilpres yang terkait dengan proyek negara. 


“Saya, kok, heran, ini proyek negara untuk hutang Pilpres. Nanti negara ini mau bagaimana kalau hal-hal seperti proyek sudah dikondisikan untuk membayar urusan Pilpres,” ujar Hakim dalam persidangan. 


Pernyataan ini menegaskan bahwa praktik semacam ini berpotensi merusak tata kelola negara dan mengarah pada penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak yang terlibat.


Jokowi Menanggapi, Tetapi Tanpa Kejelasan Hukum


Menanggapi keterlibatan namanya dalam kasus ini, Jokowi menyatakan kesiapannya mengikuti proses hukum. 


Namun, pernyataan singkatnya, “Ya ikuti proses hukum sajalah,” yang disampaikan kepada wartawan di kediamannya di Surakarta pada Selasa (21/1/2025), tidak memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai keterlibatannya dalam skema pendanaan ilegal ini.


Meski begitu, pengakuan para terdakwa dan saksi dalam persidangan memberikan indikasi bahwa ada penyalahgunaan wewenang dalam proses pengadaan proyek yang berkaitan dengan pendanaan Pilpres 2019. 


Kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi penegak hukum untuk menggali lebih dalam dan memastikan bahwa setiap pelanggaran hukum yang terjadi ditindak dengan adil dan transparan.


Implikasi Hukum dan Politik


Jika terbukti bahwa proyek negara memang disalahgunakan untuk kepentingan kampanye, maka kasus ini tidak hanya mencoreng integritas pemerintah, tetapi juga dapat membuka ruang bagi konsekuensi hukum lebih lanjut terhadap pihak-pihak yang terlibat.


Sebagai kepala negara, Jokowi memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk menjelaskan apakah benar dana kampanyenya berasal dari sumber-sumber ilegal. 


Jika benar demikian, maka ini adalah bentuk nyata dari penyalahgunaan kekuasaan yang tidak hanya merugikan negara, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap demokrasi dan pemerintahan yang bersih.


Kesimpulan


Sidang perkara hukum ini menunjukkan bahwa ada indikasi kuat terhadap penyalahgunaan wewenang dalam proyek DJKA yang berkaitan dengan pendanaan Pilpres 2019. 


Kesaksian para terdakwa dan saksi memperlihatkan bagaimana proyek negara bisa dikondisikan untuk kepentingan politik tertentu, yang jika terbukti benar, merupakan pelanggaran hukum serius.


Kasus ini harus menjadi perhatian serius bagi aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat, termasuk tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan, dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai hukum yang berlaku. 


Jika dibiarkan tanpa penyelidikan yang transparan, maka ini akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.


Sumber: FusilatNews

Penulis blog